Kamis, 11 Februari 2010

WACANA DEMOKRASI DIBALIK PERANAN PERS DALAM PILKADA

WACANA DEMOKRASI DIBALIK PERANAN PERS

DALAM PILKADA

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Pemerhati Pers Dan Ketua Forum Kerja Budaya Batam)

“The most important thing in the Olympic Games is not to win but to take the part, just as the most important thing in life is not the triumph but the struggle. The essential thing is not to have conquered but to have fought well.” (Olympics Credo)

(Persoalan penting bukanlah menang-kalah dan penaklukan, tetapi menjadi bagian dari pertandingan itu. Esensinya adalah perjuangan, karena itulah yang membuat hidup kita menjadi penting dan berarti).

Pilkada adalah momentum strategis untuk membangun tatanan demokrasi politik di era Otonomi Daerah. Salah satu indikator berjalannya proses demokrasi politik adalah dengan melihat sejauhmana tingkat apresiasi dan partisipasi masyarakat dalam Pilkada. Indikator tersebut menjadi penentu setiap keberhasilan atau pun kegagalan demokrasi. Jika suatu daerah berhasil melaksanakan Pilkada (dengan tingkat partisipasi publik yang tinggi) maka pemerintah akan memiliki legitimasi politik yang kuat untuk melaksanakan program pembangunannya. Sebaliknya, jika suatu daerah gagal melaksanakan Pilkada (baca; rendahnya tingkat partisipasi publik) akan berimplikasi terhadap legitimasi politik dan kepercayaan publik kepada pemerintah daerahnya.

Ketidakmampuan KPUD melaksanakan sosialisasi Pilkada secara maksimal menjadi pertimbangan atas pentingnya peranan pers. Rendahnya tingkat partisipasi dan apresiasi publik dalam Pilkada menjadi petunjuk bahwa KPUD gagal melaksanakan tugas sosialisasinya ke tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, kegagalan ini dapat dimaknai sebagai suatu bentuk ketidakpercayaan publik terhadap prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas serta integritas dan independensi KPUD Provinsi. Kosekuensi kegagalan tersebut dapat menurunkan legitimasi politik atas produk kerja yang di hasilkannya. Namun di balik posisi strategis pers sebagai “Pilar ke empat demokrasi” muncul pertanyaan, yaitu : Bagaimana sesungguhnya media-massa melakukan tugas jurnalistiknya di dalam pertarungan politik Pilkada? Bagaimanakah kecenderungan-kecenderungan yang ditunjukkan media-massa di Batam dalam mewacanakan realitas politik saat ini?

Membungkam Wacana Publik(?)

“Tak ada otoritas kalau tidak ada demokrasi”. (Anthony Giddens)

Tertutupnya ruang bagi perdebatan intelektual (wacana publik) sebagai bentuk penyikapan atas realitas politik saat ini menimbulkan dampak luas terhadap kwalitas demokrasi. Tak bisa disangkal bahwa publik tidak terlibat secara langsung untuk merumuskan kebijakan-kebijakan umum selama Pilkada berlangsung. Masyarakat dipaksa menjadi penonton pasif atas peristiwa demokrasi saat ini. Berbagai bentuk kekuasaan yang ada cenderung menutup ruang bagi masyarakat untuk secara aktif terlibat di dalam merumuskan sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik. Tidak berlebihan jika masyarakat mempertanyakan kredibilitas, integritas dan independensi KPUD di dalam merumuskan seluruh aturan main Pilkada. Disini, masyarakat berharap bahwa pers dapat menstimulus dan mendorong terciptanya wacana demokrasi, terutama yang menyangkut partisipasi publik di dalam merumuskan sebuah kebijkan. Namun sangat disayangkan pers justru terjebak melakukan simplifikasi atas berbagai bentuk permasalahan yang menyangkut Pilkada. Dengan berlindung dibalik kaidah konvesi profesional jurnalistik, media massa menunjukkan keberfihakan kepada kekuatan tertentu. Simplifikasi tersebut dapat kita cermati dari penyusunan (framing) berita yang disampaikan kepada masyarakat.

Secara teoritis frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep framing bagi kalangan konstruksionis adalah suatu proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya terjadi dalam wacana media, tetapi juga dalam struktur kognisi individu. Adapun wacana media massa mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu yang hadir dalam wacana publik. Dalam pengertian umum, framing dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan agar aspek itu menjadi lebih nyata (noticeable), bermakna (meaningful), dan mengesankan (memorable) bagi khalayak. (Hanson, 1995, dalam Agus Sudibyo, “Politik Media dan Pertarungan Wacana”).

Dominasi framing dalam wacana berita yang ditawarkan oleh media massa di Batam selama Pilkada menunjukkan adanya keterkaitan secara langsung dalam proses produksi berita yang melibatkan unsur-unsur redaksional : reporter, redaktur, dan lain-lain. Dalam konteks ini, awak media lazim menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri. Mereka juga menjabarkan frame interpretatif mereka sendiri, serta retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan atau kecenderungan tertentu. Media massa secara sadar menggunakan pendekatan framing sebagai senjata ampuh bagi elit politik untuk melakukan rekayasa opini publik. Dengan mempertajam paket (package) tertentu tentang sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau konvergen dengan “klaim kebenaran” mereka. “Kebenaran” opini publik sangat rentan terhadap pengaruh framing yang digunakan oleh media massa di Batam saat ini.

“Kebenaran” teredusir oleh rekayasa framing oleh fihak-fihak yang terlibat dalam wacana media. Padahal kaidah-kaidah objektivitas jurnalistik mengajarkan bahwa dalam menghadirkan suatu wacana berita, fihak media harus dapat bersikap akomodatif dan netral terhadap semua fihak atau perspektif yang terlibat dalam wacana itu. Namun seringkali sengaja atau tidak sengaja, jurnalis membiarkan pemaksaan basis interpretasi atau package tertentu oleh fihak-fihak yang di istilahkan Entman dalam bukunya “Framing: Toward Clasification of a Fractured Paradigm”, sebagai manipulator media.

Paradox Demokrasi Pers

Kebenaran adalah apa yang harus ditertawakan”. (Jean Baudrillard)

Keberfihakan media-massa terhadap kekuatan tertentu selama berlangsungnya Pilkada berdampak luas atas kepentingan pembaca pada umumnya. Pers cenderung mereduksi informasi demi kepentingan tertentu, baik dalam bentuk adventorial maupun penyusunan beritanya. Pers melakukan simplifikasi permasalahan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok yang berkempentingan di dalam rangka Pilkada. Keberadaan pers saat ini hampir-hampir tidak berhubungan dengan “hak masyarakat untuk mengetahui”. Pemilik pers hanya bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan menjadikan persnya sebagai sebuah produk manufaktur. Pembaca bukan lagi tujuan dari kerja pers melainkan menjadi persoalan “statistik” semata. Anehnya, kalangan pers itu sendiri merasa nyaman sebagai “humas” bagi kepentingan politik kandidat tertentu. Tak mengherankan jika masyarakat tidak menemukan adanya perdebatan wacana dan analisa kritis tentang realitas sosial-politik. Pers tidak menggunakan hak investigatifnya untuk mendapat gambaran tentang keseluruhan proses Pilkada. Pers tidak pernah mempertanyakan secara serius apakah pelaksanaan Pilkada saat ini berada di jalan yang benar dan waktu yang tepat, atau sebaliknya, apakah Pilkada harus ditunda untuk memberi kesempatan kepada KPUD mempersiapkan diri secara maksimal?

Dalam sebuah percakapan panjang dengan Andre Malraux, Mao Tse-tung menyatakan, “Anda tahu, saya telah mempermaklumkan sejak lama bahwa kita harus mengajarkan kepada rakyat dengan segamblang-gamblangnya apa yang telah kita peroleh dari mereka secara samar-samar

Masyarakat tidak pernah mengetahui secara jelas apa mamfaat Pilkada, kecuali sekedar mendengar himbauan “samar-samar” dari KPUD Provinsi yang mengatakan bahwa Pilkada adalah pesta demokrasi. Oleh karena itu KPUD Provinsi meminta kepda masyarakat pro-aktif untuk mendaftarkan dirinya sendiri kepada “fihak yang berwajib”. Himbauan KPUD ini adalah “lelucon” yang artinya kurang-lebih sama dengan nasehat “orang tuli” kepada siswa sekolah dasar yang mengatakan: “cara makan yang baik adalah, jangan masukkan sendok ke mata temanmu”. Akibatnya hampir tidak ada ruang bagi wacana publik untuk secara objektif memahami apa itu Pilkada; bagaimana keterkaitan Pilkada dan Otonomi Daerah, serta sejauhmana urgensinya untuk kepentingan masyarakat.

Dengan tidak memaparkan realitas secara objektif maka media-massa kehilangan makna strategisnya sebagai “pilar ke empat demokrasi”. Kondisi pers seperti ini pernah terjadi dan mendapat kritik keras lebih dari satu abad yang lalu (1859). Secara garis besar, tema kritik pada abad XX itu adalah :

1. Pers telah menggunakan kekuatannya yang perkasa hanya untuk kepentingan sendiri. Pemilik pers hanya mempropagandakan pendapatnya, terutama dalam masalah politik dan ekonomi, dengan mengorbankan pendapat yang bertentangan.

2. Pers telah menjadi alat pemuas bisnis-bisnis raksasa, dan pada suatu saat pers membiarkan pemasang iklan mengontrol isi redaksional sekaligus kebijaksanaan redaksionalnya.

3. Pers menolak adanya perubahan dalam masyarakat.

4. Pers lebih mengutamakan segi sensasi dangkal daripada segi-segi pentingnya peristiwa yang diliputnya (Theeodore Peterson, 1986).

Kita semua bertanggungjawab melakukan politik penyadaran guna meningkatkan kesadaran dan pehamanan masyarakat dalam menyikapi realitas kehidupannya. Kita tidak perlu menunggu munculnya fanatisme sebagaimana digambarkan Fransisco Weffert dalam kata pengantarnya pada buku Paulo Freire yang termashyur itu “Educacao como Practica da Liberdade” (Pendidikan Kaum Tertindas) : “Bangkitnya kesadaran kritis membuka jalan ke arah pengungkapan ketidakpuasan sosial secara tepat karena ketidakpuasan itu adalah unsur-unsur yang nyata dari sebuah situasi yang menindas.”

Pilkada Provinsi usai sudah dan kita sependapat bahwa kita tidak mempersoalkan siapa yang menang dan siapa yang kalah, sebagaimana isi dari Credo Olimpiade tersebut diatas. Yang perlu kita cermati adalah bahwa Pilkada bukan semata-mata persoalan tekhnis dan adminitrasi, melainkan juga menyangkut peran publik karena hal tersebut berkaitan dengan upaya bersama mengembangkan wacana tentang nilai dan makna untuk membangun tatanan demokrasi yang sehat dan bermutu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar