ATB DAN PIRAMIDA KURBAN MANUSIA
(Sebuah Kritik Atas Kenaikan Tarif Air)
Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian Sijori Mandiri, 10 Juli 2007.)
Penulis adalah Alumni Institut Seni
“Sederhana saja, penyebabnya justru karena keadilan dan kesejahteraan telah kehilangan pelindungnya. Benar, keadilan dan kesejahteraan dijadikan janda dan harus pula ditambahkan dengan satu pernyataan kebenaran lain:“Keadilan dan kesejahteraan adalah janda kita semua”. Kalau demikian halnya pastilah masyarakat kita belum benar-benar merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. “Tanpa kemerdekaan, industri besar mungkin dapat disempurnakan, tetapi keadilan dan kesejahteraan tidak”. (Albert Camus)
Sudah banyak langkah-langkah yang dilakukan oleh fihak-fihak terkait sehubungan dengan rencana kenaikan air tersebut, mulai dari pembahasan tentang Pelayanan, Konsesi dan Kenaikan Tarif Air yang melibatkan Otorita Batam (OB), Pemko Batam, DPRD Batam hingga pengkajian masalah air yang dilakukan oleh BPP-SPAM. Perjalanan panjang pembahasan rencana kenaikan air ini sepertinya tampak logis dan prosedural karena melibatkan banyak fihak, termasuk juga kalangan LSM, akademisi dan lembaga konsumen. Apa yang ingin ditampilkan melalui pembahasan panjang ini adalah : “seolah-olah” persoalan kenaikan tarif sudah dilaksanakan sesuai aturan perundang-undangan dan mekanisme politik melalui lembaga DPRD sebagaimana di iklankan oleh PT.ATB Dan OB di media
Perjalanan panjang bagaikan episode “opera sabun”, sejak awalnya tampak di setting agar kenaikan tarif air tampak logis dan rasional. Lihat saja tentang dugaan kasus “suap” Pansus Air DPRD Batam menjadi bagian dari absurditas kenaikan tariff air. Cerita yang ditampilkan bukan untuk membuat orang mengerti dan memahami tentang “sesuatu” dibalik rencana kenaikan tarif air tetapi hanya untuk meyakinkan orang bahwa cerita kenaikan air itu memang penting.
Setidaknya kita bisa melihat bagaimana PT.ATB dan
Didalam konteks inilah kita memandang bahwa persoalan kepemimpinan dan aktualisasi nilai-nilai demokrasi menjadi penting artinya, terutama di dalam proses penentuan kebijakan pembangunan Batam ke masa depan.
Memeras Rakyat
Setetelah melewati ambang batas tertentu, pemaknaan air sebagai komoditas ekonomi menyebabkan ketidakmampuan memaknai air sebagai sumber kehidupan. Fungsi sosial dan budaya yang tercakup di dalam air telah kehilangan hak istimewanya karena air yang merupakan hak asasi manusia telah berubah menjadi hak ekonomi semata. Ketika Profesor Habibie menandatangani Konsesi Pengelolaan air pastilah didasarkan atas pertimbangan rasa hormat terhadap nilai-nilai air sebagai sumber kehidupan yang memiliki aspek ekonomi, sosial dan budaya.
Setidaknya, hal ini dapat kita lihat dari bagaimana pengaturan atas Konsesi air tersebut dibuat, baik yang bersifat teknis dan non-teknis yang menyangkut proyeksi dan kalkulasi atas pengelolaan air. Sebagai contoh, di dalam Konsesi (Tabel 5.1 tentang Proyeksi Kebutuhan Air dan Kapasitas IPA) disebutkan bahwa pada tahun 2007 penduduk Batam mencapai 735 ribu jiwa. Hal itu berarti PT. ATB bertanggungjawab untuk mendistribusikan air untuk jumlah penduduk sesuai dengan proyeksi yang ditulis di dalam Konsesi tersebut. Demikian juga halnya dengan pembatasan keuntungan yang diraih, namun faktanya, PT. ATB justru mengingkari kesepakatan dengan dalih bahwa Konsesi Air tersebut hanya sebuah model sehingga bebas mengambil keuntungan sesuai dengan seleranya.
Keinginan masyarakat untuk mendapatkan sambungan baru selalu terkendala karena PT. ATB beralasan tidak ada dana untuk melakukan investasi. Kondisi ini mengingatkan kita pada sebuah cerita yang dipaparkan oleh Ivan Illich dalam bukunya, “Menggunggat Kaum Kapitalis”, yaitu tentang seorang wanita yang akan melahirkan anak ketiganya. “Karena sebelumnya sudah pernah melahirkan dua orang anak, ia merasa yakin akan kemampuan dan pengalamannya. Ia berada di ruma sakit merasakan bahwa bayinya akan segera lahir. Ia segera memanggil perawat yang bukannya membantu, malah mengambil kain steril untuk mendorong kepala si bayi masuk kembali ke dalam rahim dan menyuruhnya untuk berhenti mengejan karena, “tunggu dulu bu, dokter belum datang…..”.. Cerita ini tentu menarik jika dikaitkan dengan keinginan masyarakat untuk mendapat sambungan air. Sesungguhnya PT. ATB mampu melakukan penyambungan baru, namun petugasnya mengatakan, “tunggu dulu, tarif air belum naik”. Meninjam istilah Peter L.Berger- pemaksaan atas kenaikan tarif air melahirkan biaya-biaya manusia. Salah satu bentuk konkrit dari piramida kurban manusia.
Untuk menjamin kelangsungan distribusi air, PT. ATB terlebih dahulu melakukan efisiensi dengan meningkatkan kwalitas manajemen produksi. Sebut saja misalnya, (1) mendisain sebuah power supply yang bisa menghemat listrik hingga setengah dari biaya produksi. (2) Menggunakan biang kimia untuk mengatasi ketergantungan pada bahan kimia produk jadi yang tentu biayanya lebih mahal. Sepengetahuan penulis PT.ATB sudah pernah mencoba menggunakan biang kimia namun tidak dilanjutkan. (3) Menggunakan tekhnologi yang efisien. (4) Mengatasi system distribusi, yaitu dengan menanggulangi kebocoran air yang bebannya lebih besar dari rencana kenaikan tarif air. (5) Membenahi system manajemen perusahaan. Setidaknya ada 3 orang asing yang tetap dan 3 lainnya tidak tetap yang gajinya –menurut perkiraraan- sama dengan 350 orang pekerja lokal padahal mereka tidak terlalu dibutuhkan.
Ketidaksediaan PT.ATB untuk melakukan penyambungan baru jelas merupakan pengingkaran atas hak rakyat, yaitu hilangnya kesempatan mendapatkan air. Rakyat memang bebas mengajukan permintaan untuk penyambungan air, tapi tidak ada kesempatan untuk menikmati air karena investor tidak memiliki modal investasi. Inilah yang dimaksud Noam Chomsky ketika mengatakan, “Kebebasan tanpa kesempatan adalah hadiah dari setan, dan penolakan untuk menyediakan kesempatan merupakan kejahatan”. Sementara OB yang merupakan representasi Negara yang duduk sebagai wakil pemerintah telah gagal menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 serta amanat Komite Ekonomi, Sosial dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam memberikan jaminan atas ketersediaan (availability), kualitas (quality), dan keterjangkauan (accessibility) air bagi rakyat. Keserakahan yang dipertontontonkan PT. ATB dengan paradigma air sebagai barang ekonomi semakin mempertegas wajah kapitalismenya. Wajah buruk PT. ATB ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Felix Guatttari di dalam Capitalism: a Very Special Delirium (1995) “hanya pada permukaannya saja yang tampak rasional, yaitu pada cara ia merumuskan kebutuhan masyarakat dan cara merealisasikannya (produksi, industrialisasi, modernisasi) dengan menggunakan kalkulasi, perhitungan, dan prediksi-prediksi. Akan tetapi, di balik permukaan yang tampak rasional tesebut ada kekuatan-kekuatan irasional yang sesungguhnya mengendalikan kapitalisme dari dalam, yaitu kekuatan hasrat (desire): nafsu pembiakan modal, gairah ekspansi, dan ekstasi pelipatgandaan keuntungan (spekulasi) yang pada tingkat tertentu lebih dominan kekuatannya” (Yasraf Amir Piliang, “Hantu-Hantu Politik Dan Matinya Sosial.
Faktor-faktor lain yang memperburuk wajah PT.ATB adalah tidak adanya tanggungjawab sosial yang diwujudkan dalam bentuk Community Development (CD) dan Corporate Social Responsibility (CSR). Keangkuhan PT.ATB mungkin disebabkan karena mereka tidak membutuhkan masyarakat sebagai bagian dari stakeholder yang bertanggungjawab atas pengelolaan air di Batam. Masyarakat hanyalah konsumen yang pasti bergantung kepada PT.ATB. Sementara lingkungan yang memberi kontribusi besar atas kwalitas air tidak menjadi perhatian PT. ATB karena merasa bahwa hal itu bukan menjadi tanggungjawab perusahaannya.
Tidak ada ceritanya PT. ATB mengeluarkan biaya ekonomi untuk menjaga kwalitas lingkungan hidup sebagai bentuk tanggungjawab dari Community Development. Tidak ada juga ceritanya PT.ATB membagi sedikit keuntungannya untuk pengembangan masyarakat, baik dalam bentuk pendidikan, kegiatan sosial, seni, budaya, dan olahraga. Dari gambaran ini jelas menunjukkan bahwa paradigma air sebagai komoditas ekonomi yang digunakan PT. ATB hanya demi keuntungan yang sebesar-besarnya. Padahal jelas dipahami bahwa “tanggung jawab perusahaan secara social adalah komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan, komuniti-komuniti setempat dan masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan” (The World Business Council for Sustainable Development).
“Pemerintah punya integritas, atau tidak punya integritas. Kita tidak bisa hanya punya integritas sedikit. Sebuah birokrasi berdiri atau tumbang bersama integritas pemerintah; sedikit saja integritas pemerintah berkurang kepercayaan publik langsung hilang. Tanpa kepercayaan publik, demokrasi tidak dapat berjalan. Kemudian tidak akan ada demokrasi. Dan itu mengerikan” (Catherine I.Dales, Menteri dalam Negeri Belanda, tahun 1992)
Air merupakan salah satu sumberdaya alam dan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh Negara, sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 33. Dimana konsep “dikuasai oleh Negara” harus ditafsirkan ke dalam konsepsi kedaulatan rakyat atas segala sumber daya kekayaan alam yang ada; bahwa rakyat yang berdaulat itu memberikan amanat kepada Negara untuk membuat kebijakan dan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan atas seluruh kekayaan alam, termasuk air.
Air merupakan kebutuhan fundamental bagi setiap orang dalam kehidupannya. Tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa air dan air tidak dapat digantikan oleh barang yang lain. Dengan demikian, sangat jelas bahwa hak atas air (right to water) merupakan sesuatu yang tidak mungkin dipisahkan dari hak asasi manusia (HAM), seperti yang telah ditegaskan oleh Komite Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, sebagai penafsiran pasal 11 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Amanat pengelolaan air oleh Negara berarti Negara harus memberikan jaminan agar air memiliki fungsi sosial dan pemenuhan hak asasi manusia, yang tidak dikalahkan oleh paradigma air sebagai barang ekonomi.
Peran Negara menjadi penting ketika kepentingan demi hajat hidup orang banyak dipertaruhkan. Swastanisasi dapat memperlancar proses distribusi namun hal tersebut tidak bisa menggantikan peran Negara sebagai penanggungjawab kepentingan publik. Itulah sebabnya perlu dipertanyakan kembali sejauh mana peran Negara di dalam menjaga kepentingan hajat hidup orang banyak, seperti air misalnya. Perlu kiranya pemerintah - meminjam istilah Joseph E.Stiglizt - “mendahulukan kepentingan rakyat” (“putting the people first”), bukan mendahulukan kepentingan swasta yang senyatanya memeras rakyat.
Yang menarik dibalik gonjang-ganjing rencana kenaikan tarif air adalah digunakannya tameng investasi sebagai upaya pembenaran atas kenaikan tarif air. Argumentasi yang selalu disampaikan oleh PT. ATB dan secara khsusus
Sebagai representasi Negara,
Bukan rahasia lagi jika para developer harus menyediakan sendiri pipa agar PT. ATB menyalurkan air ke perumahan yang dibangunnya. Hal ini tentu saja berimplikasi terhadap biaya produksi para developer yang pada akhirnya dibebankan kepada pembeli, yaitu rakyat Sebuah perilaku perusahaan yang sangat tidak etis dan cenderung menindas. Namun apa yang yang kita harapkan bahwa
Dibalik ketidakmampuan
Dari pemaparan tersebut diatas kita dapat menyimpulkan bahwa air merupakan kebutuhan dasar yang memiliki dimensi ekonomi, sosial dan budaya. Rencana kenaikan tarif air tidak bisa dipandang hanya persoalan ekonomi semata, tetapi juga mempertimbangkan secara serius aspek-aspek sosial-budaya yang melatarbelakanginya. Kalkulasi dan kajian ekonomi hanyalah satu bagian dari sekian banyak variabel yang patut diperhitungkan, baik oleh ATB maupun
Satu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa peningkatan kapasitas produksi dan melakukan penyambungan air itu sepenuhnya tanggungjawab investor, yaitu PT. ATB dan bukan tanggungjawab rakyat. Integritas Otorita Batam sebagai wakil pemerintah dihadapkan pada pilihan antara menjaga kepentingan dan kepercayaan publik atau mengorbankan integritasnya demi keuntungan sekelompok orang di PT.ATB. Ini adalah tantangan serius bagi
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar