Kamis, 11 Februari 2010

PERS BERMARTABAT? (Membaca Fenomena Pers Kita)

PERS BERMARTABAT?

(Membaca Fenomena Pers Kita)

Oleh Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua Forum Kerja Budaya Dan Anggota Forum Kecil Batam)

Ingatlah, saudara-saudara yang tertjinta, bahwa besarlah pengaroehnya journalistiek itoe bagi pergerakan oemoem. Akan tetapi hendaklah djoega kita mengetahoei bila pengaroeh itoe ada jang memoeliakan, poen ada joega yang membinasakan. Djika kita kaoem journalist koerang ati-ati, artinja koerang berdasar iman atas perboeatan kita, maka moedahlah kita mendjatoehkan kemadjoean kita bangsa Hindia. Akan tetapi djikalau kita berboeat soetji dengan alasan yang sempoerna maka njatalah kita akan menang dalam perang kehidoepan kita di doenia ini” (Suardy Suryaningrat, ‘ s-Gravenhage, Nederland-Belanda, 25 Juli 1914).

Surat yang merupakan dukugan moral, ditulis oleh Suardy Suryaningrat (atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara) ditujukan untuk Marco Kartodikromo, seorang wartawan, pemimpin majalah Doenia Bergerak (terbit tahun 1914 sampai 1915), dan pendiri Inlandse Journalisten Bond. Usianya sendiri masih sangat mudah (23 tahun) ketika ia dibuang oleh pemerintah Belanda ke Boven Digul. Ia meninggal di tempat pembuangan sebelum sempat melihat kemerdekaan bangsa yang ikut diperjuangkannya (Soebagijo I.N.,“Jagat Wartawan Indonesia”, 1981).

Membicarakan Pers adalah membicarakan masyarakat, keduanya memiliki hubungan mutualisme-simbolis. Pada prinsipnya, tidak akan ada pers yang bermutu tanpa masyarakat yang cerdas, demikian sebaliknya, tak ada masyarakat cerdas tanpa pers yang bermutu dan bermartabat. Peranan pers sangat menentukan bagi masyarakat karena keberadaannya membantu kita untuk mengetahui berbagai ragan informasi dan perjalanan sejarah bangsa-bangsa di dunia (melalui berbagai macam bentu media). Tidak berlebihan jika pers ditempatkan secara terhormat di dalam sistem atau tatanan masyarakat dunia, yaitu sebagai pilar ke empat demokrasi (tiga lainnya adalah lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif).

Setidaknya ada tiga tulisan tentang dunia kewartawanan di harian ini, yang ditulis oleh pekerja pers. Pertama adalah tulisan Hasan Aspahani, “Pers Perkakas Bangsa Yang Demokratis” (Batam Pos,19 Oktober 2004); Kedua, tulisan Erwan Buntaro, “Menuju Wartawan Profesional”: Sebuah Tinjauan Perspektif (Batam Pos, 30 dan 1 November 2004); Ketiga tulisan Socrates, “Wartawan Profesional: Sebuah Harga Mati” (Batam Pos, 2 November 2004). Ketiga tulisan tersebut membuka wacana dan cakrawala pemikiran kita tentang kehidupan dunia pers, khususnya kewartawanan di Batam dan sekitarnya.

Tulisan Hasan Asphani, berbicara mengenai eksistensi pers sebagai motor penggerak nilai-nilai demokrasi. Pers adalah salah satu pondasi yang sangat menentukan mati-hidupnya demokrasi. Hasan Aspahani melihat bahwa peranan wartawan sangat menentukan mati-hidupnya pers. Ia mengatakan, “Tanpa wartawan yang bermartabat, rasanya tak akan mungkin diciptakan pers yang berkualitas”. Penulis setuju saja dengan pendapat diatas, karena wartawan memang harus bermartabat. Namun penulis ingin menambahkan bahwa tanpa pemilik modal yang bermartabat, tak akan ada pers yang bermutu. Memang benar, bahwa sikap pragmatis dan kompromistis yang berlebihan dari seorang wartawan dapat merusak sistem kerja pers. Namun menempatkan wartawan “seolah-olah” menjadi penentu mati-hidupnya pers adalah naif; karena, sehebat apa pun kerja seorang wartawan, ia hanyalah salah satu bagian dari sistem kerja pers secara keseluruhan. Menurut hemat penulis, pemilik modal dan top menejer adalah bagian terpenting karena mereka menentukan arah dan tujuan kebijakan pers tersebut. Mereka adalah penentu apakah pers itu bermutu dan bermartabat, atau sebaliknya, hidup tanpa kehormatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kepentingan perusahaan pers menjadi prioritas utama daripada mencari kebenaran dan keadilan. Idealisme jurnalistik menjadi pertimbangan ke sekian di banding kepentingan bisnis persuahaan pers, yang justru sering tidak berhubungan dengan tanggungjawab pers sebagai pilar ke empat demokrasi. Wartawan hanya menjadi pelengkap, atau meminjam istilah Hasan Aspahanih- perkakas pers. Hanya beberapa perusahaan pers yang memperlakukan pekerjanya secara profesional- dua diantaranya adalah Harian Kompas dan Berita Mingguan Tempo.

Dalam perspektif ekonomi, siapa yang bertanggungjawab untuk mengarahkan pemilik modal pers agar para wartawannya bermartabat? Undang-Undang Pers No.40 Tahun 1999 tentang Pers secara tegas berbicara mengenai kesejahteraan wartawan. Lengkapnya terdapat pada Bab IV, Pasal 10, berbunyi:“Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.” Di bagian penjelasan tentang pasal 10 dikatakan: “Yang dimaksud dengan “bentuk kesejahteraan lainnya” adalah peningkatan gaji, bonus, pemberian asuransi dan lain-lain. Pemberian kesjahteraan tersebut dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara manajemen perusahaan dengan wartawan dan karyawan pers.” Namun prakteknya, hanya sedikit perusahaan pers yang menjalankan ketentuan Undang-Undang tersebut sehingga menimbulkan ketidakseimbangan antara tanggungjawab dan hak pekerja pers. Kondisi ini membuka peluang terjadinya “perselingkuhan” dengan “sponsor gelap” dan berimplikasi atas hilangnya kebebasan pers. Ketidakberanian pers mengungkap kebenaran substantif menimbulkan kesan bahwa sebagian besar pemilik modal dan pekerja pers memang mengadakan “hubungan gelap atau perselingkuhan” dengan sumber-sumber pemberitaan, terutama dengan aparat pemerintahan dan pengusaha yang bermental korup. Inilah yang membuat Pers tidak berkembang dan akibatnya, masyarakat sangat dirugikan karena tidak mendapatkan berita bermutu, baik yang informatif maupun investigatif. E.B. White (penulis esai dan negarawan terkemuka dalam sastra Amerika) pernah mengkritik majalah Esquire yang terkenal itu dengan mengatakan bahwa,” Sponsor (gelap, pen) di dalam pers adalah undangan untuk korupsi dan penyalahgunaan. Godaannya sangat besar dan selalu ada oportunis di balik setiap belukar”.

Tanggung jawab Profesional

Pada bagian lainnya, Erwan Buntaro secara tegas dan gamblang menyatakan bahwa, “Wartawan profesional, adalah orang yang hidup dan matinya melakukan tugas jurnalistik secara benar dan tepat. Lalu ia hidup dari hasil kerjanya itu. Orang-orang macam ini, tak pernah menyerah, meski dihadapkan dengan segepok uang. Mereka bekerja untuk panggilan jurnalistiknya. Dia mengemas berita apa adanya”. Pendapat ini kembali dipertegas lagi oleh Socrates melalui tulisannya yang berjudul:”Wartawan Profesional: Sebuah harga mati”. Inti dari kedua tulisan tersebut –sepanjang yang penuli pahami- mengatakan bahwa wartawan profesional adalah mereka yang bertempur di garis kebenaran. Mereka adalah wartawan yang memiliki independensi, integritas, idealisme , tanggung jawab moral dengan kemampuan intelektualitas yang memadai. Kata kuncinya adalah totalitas. Preferensi tersebut menjadi penting karena menyangkut tugas wartawan mencari kebenaran. Ini sejalan dengan salah satu dari empat belas Deklarasi Talloires yang berbunyi: “Tanggungjawab Profesional pers adalah mencari kebenaran”. Sebagaimana kita ketahui bahwa, pada bulan Mei 1981, 62 anggota media swasta dari 21 negara maju dan yang sedang berkembang yang bertemu di Talloires, Perancis, untuk membicarkan arus informasi di seluruh dunia dan membuktikan tekad mereka untuk menentang setiap campur-tangan terhadap kebebasan jurnalistik. Persoalan bagi kita, khususnya yang menyangkut isu-isu lokal adalah: Apa definisi kebenaran yang akan di usung pers ke tengah-tengah masyarakat? Pertanyaan ini mengacu kepada realitas “jual beli kebenaran” yang mewarnai kehidupan dan sekaligus mempengaruhi cara berfikir kita dewasa ini. Istilah-istilah seperti : Maju tak gentar membela yang bayar, atau maju gentar karena ada yang bayar, sangat sering kita dengar.

Paradox Pers Kita

Sejak skandal Watergate, bisnis berita telah menuntut pengungkapan penuh dari para pemimpin kita. Tak seorang pun boleh atau akan mencemarkan peran penting yang dimainkan pers dalam mengungkapkan kebobrokan. Namun, sekarang telah diciptakan ilusi bahwa kabut rahasia ditebarkan di atas setiap tindakan pemerintah untuk menutupi alasan-alasan buruk” ( Walter B. Wriston, mantan ketua Citibank, bank komersial terbesar kedua di A.S.) Sering kita dengar ungkapan yang mengatakan, “wartawan boleh berbicara tentang yang hal-hal yang benar tetapi jangan memberitakan kebenaran”. Pers cenderung bersikap setengah hati menjalankan fungsi kontrolnya, terutama jika berhadapan dengan pusat kekuasaan. Pers hanya “bermain-main” diwilayah kebenaran abstrak yang terlepas dari realitas sosial masyarakat. Misalnya, berita yang mengatakan bahwa aparat Bea dan Cukai atau pun aparat Kejaksaan Negeri tidak menggunakan seragam Pramuka. Berita ini tentunya benar karena pada prinsipnya tak ada yang perlu dibuktikan dengan kebenaran tersebut. Namun jika berhadapan dengan pertanyaan : Apakah aparat dari kedua instansi tersebut benar menjalankan tugas profesionalnya? Maka jawabannya adalah: Yaitu. Penulis yakin bahwa wartawan kita memiliki integritas di dalam menjalan tugas jurnalistiknya, khususnya yang berkaitan dengan pencarian substansi kebenaran. Namun, benturan yang melatarbelakangi kepentingan bisnis pers sering menghambat tugas profesional wartawan di dalam mencari kebenaran. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pers cenderung mengeliminir berita-berita penyimpangan yang dilkukan oleh kalangan atas. Padahal penyimpangan yang terjadi jelas bertentangan dengan kepentingan publik. Kita lihat misalnya, kasus Mark-up pembangunan gedung DPRD Batam; pengalokasian lahan Hutan Lindung Baloi Dam yang dilakukan oleh Badan Otorita Batam; masuknya limbah B3 ke Pulau Galang melalui PT. APEL yang ditengarai melibatkan pejabat Bea dan Cukai serta Pemkot Batam. Kasus ini berawal dengan fakta dan berakhir dengan fiksi. Mayarakat pembaca berharap bahwa pers melakukan investigasi untuk mencari kebenaran di balik kasus-kasus tersebut. Peranan pers sangat strategis untuk menyampaikan kebenaran yang ada dibalik peristiwa karena didukung oleh Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999. Khusus untuk Pasal 6 (d) berbunyi: melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Sebagai pilar ke empat demokrasi, sudah seharusnya pers kita memperbaiki dan memperbaharui sikapnya. Keterbukaan di dalam melakukan dan menerima koreksi adalah sebuah langkap positf dan cerdas. Ketiga tulisan dari kalangan pers yang disebut diatas menunjukkan kepada masyarakat bahwa, pers memiliki komitmen memperbaiki kekurangannya untuk menciptakan pers yang bermartabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar