Kamis, 11 Februari 2010

UMK BATAM 2005 : POTRET BURAM BURUH DAN GAGALNYA FUNGSI MEDIASI PEMERINTAH

UMK BATAM 2005: POTRET BURAM BURUH DAN

GAGALNYA FUNGSI MEDIASI PEMERINTAH

Oleh Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua Forum Kerja Budaya Batam)

Realitas social manusia begitu kompleks dan tidak bisa direduksi sebagimana realitas alam yang sederhana. Oleh karena itu, metode ilmu-ilmu alam tidak bisa digunakan untuk menangkap realitas manusia dan kemanusiaan. Penelitian terhadap manusia dan kemanusiaan harus secara total (Habermas).

Aksi penolakan atas penetapan UMK Kota Batam (sebesar Rp.635.000,-) oleh Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menarik perhatian berbagai kalangan, mulai dari serikat pekerja, buruh, pemerintah, media-massa, pengusaha, LSM, aparat keamanan, dan anggota legislatif. Aksi ini menarik perhatian karena dua hal: Pertama, ia mampu memobilisasi gerakan massa (buruh) dalam jumlah yang relatif besar dan menjadi fenomena sosial-politik di kota Batam. Fenomena ini penting karena ia menunjukkan kepada kita bahwa sehebat apa pun gagasan/ide pembagunan atau koreksi atas sebuah kebijakan yang merugikan masyarakat tanpa menggerakan massa maka akan dianggap sebagai “lelucon” belaka. Dalam suatu kesempatan Seminar GAMKI kota Batam beberapa waktu yang lalu, Soerya Respationo, Ketua DPRD kota Batam, pernah mengatakan bahwa (setidaknya untuk saat ini) melakukan sesuatu yang baik di Batam sulit terwujud jika tidak dengan menggunakan cara-cara preman (kekerasan?). Walaupun berbeda pandangan dengan Soerya Respationo soal cara menyikapi “kelambanan dan ketulian” pemerintah, tetapi penulis membenarkan pendapat tersebut. Kedua, aksi buruh ini memiliki dimensi yang luas terhadap kehidupan masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan dunia industri terutama menjelang Pilkada langsung Gubernur Kepri dan Walikota Batam. Dinamika perburuhan yang selama ini hanya sebatas retorika organisasi buruh berubah wujud menjadi sebuah aksi yang mendobrak kesadaran sosio-ekonomi kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa aksi demo yang dimotori oleh FSPMI ini menjadi suatu gerakan yang secara signifikan dapat menaikkan posisi tawar buruh di tingkat para pengambil keputusan, baik itu untuk Pemko, Pemprov, maupun dunia industri. Dalam skala organisasi, aksi demo ini menjadi pertanda atas hilangnya legitimasi moral dan politik organisasi perburuhan yang ada, seperti SPSI dan SBSI yang nota bene bagian dari unsur Tripartit yang memutuskan UMK kota Batam. Hak otoritatif yang dimiliki unsur-unsur Tripartit kehilangan makna politis dan sosio-ekonominya karena ia tidak saja gagal menerjemahkan secara cerdas tuntutan Undang-undang Ketenagakerjaan tetapi lebih ekstrem lagi adalah ia menjadi sebuah “pameran kebodohan yang “dihormati”. Dengan kata lain, penulis ingin mengatakan bahwa, “potret buram buruh” sesungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh kegagalan Pemerintah Kota Batam menjalankan fungsi mediasinya, namun yang terpenting adalah gagalnya peran emansipatoris organisasi perburuhan di dalam rangka memperjuangkan kepentingan buruh secara keseluruhan. Organisasi perburuhan, seperti halnya SPSI dan SBSI tidak memiliki militansi di dalam memperjuangkan tuntutan dasar para buruh. Kondisi ini digambarkan oleh Herbert Marcuse sebagai sikap konservatif: para buruh, bahkan mereka menunjukkan kepentingannya terhadap kemapanan yang bersifat semu itu. “Sebenarnya dalam masyarakat industri modern buruh pun tetap diperbudak, hanya bentuknya saja yang sekarang dirubah. Energi fisik yang dibutuhkan untuk bekerja memang semakin berkurang, tetapi irama kerja yang monoton, terkurung dalam masing-masing bidangnya, menimbulkan keteganagan-keteganagan psikis. Usaha memperbesar produktivitas membuat jam kerja tetap panjang, dan bahkan lebih intensif. Mekanisasi tidak hanya menentukan kuantitas barang-barang produksi, melainkan juga kecepatan kerjanya, serta tuntutan-tuntutan keahlian tertentu, membuat manusia diperbudak oleh mesin. Budak-budak dari peradaban industri modern merupakan budak-budak yang terselubung, tetapi bagaimanapun juga mereka tetap budak, karena perbudakan tidak ditentukan oleh ketaatan pada majkan atau kerasnya pekerjaan, melainkan oleh keberadaannya sebagai alat dan pemerosotan martabat manusia menjadi benda(Marcuse, “One Dimensional man, London, 1964).

Salah satu dampak yang muncul dari aksi tersebut adalah menguatnya daya tolak terhadap kandidat Gubernur dan Walikato Batam di dalam Pilkada langsung 2005. Hal ini sangat jelas terlihat dari pernyataan masing-masing fihak yang berkaitan langsung atas penetapan dan penolakan UMK kota Batam, yaitu antara kalangan pengusaha (baca; Apindo) dan kalangan buruh (baca; FSPMI). Kalangan pengusaha (diwakili Apindo) akan menggugat Pejabat Gubernur Kepri kepengadilan jika Gubernur tidak menandatangani hasil kesepakatan Tripartit yang telah menetapkan UMK kota Batam sebesar Rp.635.000,- Lihat misalnya pernyataan Abidin sebagai yang mewakili Apindo, : “Kalau Gubernur merubah hasil keputusan triparti maka pihaknya akan menempuh jalur hukum dengan memPTUN kan Kepetusan Gubernur. Tidak ada alasan bagi Gubernur tidak menandatangani kesepakatan yang telah direkomendasikan oleh Walikota” (Batam FTZ, No.VII, 2005). Sebaliknya, kalangan buruh (yang diwakili oleh FSPMI) akan menggugat pejabat Gubernur Kepri kepengadilan jika Gubernur menandatangani ketetapan UMK yang telah disepakati oleh Tripartit. FSPMI mengatakan lebih jauh: “Dan, saat Pilkada Walikota dan Gubernur secara langsung, seluruh Buruh akan mengkampanyekan untuk tidak memilih pejabat yang tidak menyetujui UMK tersebut, seperti Walikota batam sekarang Drs. Nyat Kadir, disusul pejabat Gubernur Kepri saat ini Drs. H.Ismeth Abdullah, jika ia berkenan menerima dan merekomendasikan UMK senilai Rp.635.000.- Mereka akan terancam, dan itu pasti akan kita kampanyekan” (Batam FTZ, No.VII, 2005). Masing-masing fihak menyatakan tidak akan mendukung calon Gubernur dan Walikota yang tidak mampu mengakomodir kepentingan ke dua belah fihak yang berbeda tuntutan tesebut. Situasi ini memaksa pejabat pemerintah, Walikota dan Gubernur Kepri untuk lebih cerdsas menyikapi persoalan hubungan Industrial. Kalau tidak maka Pemda akan selalu berada dalam posisi dilematis. Tantangan Pemda saat ini persis seperti yang dipaparkan seorang sosiolog berikut ini : “Dimana keputusan merupakan pilihan-pilihan antara berbagai alternatif jalannya tindakan yang menjurus kepada hasil-hasil A dan B, seseorang aktor dapat dikatakan mempunyai jumlah ‘kekuasaan’ tertentu jika, dengan bertindak pada orang-orang lain, ia mengubah kemungkinan relatif bahwa hasil-hasil ini akan terjadi. Jumlah kekuasaan yang dimiliki aktor itu dalam situasi ini dinyatakan oleh besarnya perubahan-perubahan yang diantarkannya” (Nelson W.Polsby, “Community Power and Political Theory”, 1963)

Membaca Fenomena

Yang membuat kita peduli dengan berbagai ketimpangan… adalah rasa lapar orang yang kelaparan, kebutuhan orang yang membutuhkan… kenyataan bahwa mereka kurang dihargai dibandingkan tetangga-tetangga mereka adalah penting. Tetapi penting di sini bukan dalam arti semua itu merupakan kekejaman ketidaksetaraan. Relevansinya adalah dalam menunjukkan bahwa kelaparan mereka lebih parah, kebutuhan mereka lebih mendesak, penderitaan mereka lebih menyiksa, dan karena itu kepedulian kita pada persamaanlah yang membuat kita memprioritaskan mereka” (filsuf Oxford Joseph Raz : The Morality of Freedom., Oxford, 1986).

Kutipan ini ingin mengatakan bahwa persamaan adalah yang terpenting karena hal itu relevan dengan kesempatan-kesempatan, kesejahteraan, dan harga diri masyarakat luas. Ada alasan lain mengapa kita mempedulikan persamaan. Masyarakat yang sangat tidak seimbang merugikan dirinya sendiri dengan tidak memanfaatkan bakat-bakat dan kapasitas warganya secara maksimal. Selain itu, ketimpangan bisa mengamcam kohesi sosial dan bisa menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang secara sosial tidak diinginkan( seperti menyebabkan tingginya angka kejahatan). Adalah benar bahwa ada masyarakat dengan ketimpangan yang besar tetapi tetap stabil -sistem kasta tradisional India, misalnya. Dalam era demokrasi massa, segala sesuatunya sangat berbeda. Masyarakat demokratis yang membangkitkan ketimpanagan dalam skala besar kemungkinan besar menciptakan ketidak puasan dan konflik yang meluas. Jika kita kaitkan kutipan tersebut diatas dengan isyu UMK kota Batam (Rp.635.000,-) yang notabene tidak mencukupi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Hal ini menimbulkan pertanyaan-pertanyaan: Apa yang menjadi dasar pertimbangan Tripartit sehingga memutuskan UKM kota Batam yang senyatanya tidak saja bertentangan dengan semangat kemanusiaan dan prinsip keadilan melainkan juga bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, Pasal 89? Bagaimana mungkin Walikota Kota Batam dan kemudian Gubernur Kepri menyetujui kesepakatan UMK yang senyatanya melanggar ketentuan Undang-undang Ketenagkerjaan? Untuk mendapat jawaban yang luas dan lengkap tentu memerlukan sebuah kajian teoritis yang bersifat konprehensif, baik dari segi analisa ekonomi, sosial, dan budaya, maupun dari sisi dampak politisnya. Namun secara praktis penulis melihat bahwa ada ketimpangan posisional di dalam Tripartit, yaitu dimana pengusaha berperan sebagai “majikan” yang memberi perintah dan, organisasi pekerja serta pemerintah kota berperan sebagai “kuli” yang harus menerima perintah majikan. Melihat hasil yang dtetapkannya maka tidak sulit bagi kita mengetahui bahwa hukum yang berlaku di dalam Tripartit tersebut didasarkan atas prinsip-prinsip yang “menguasasi dan dikuasai”. Kalau demikian halnya, lantas apa lagi yang mau diperdebatkan? Dalam konteks UMK ini, Emile Durkheim-seorang sosiolog empiris yang keras kepala- benar adanya ketika mengatakan bahwa manusia pada umumnya harus puas dengan nasib mereka”. Tidak perlu mereka memiliki lebih banyak atau lebih sedikit, ‘tetapi mereka diyakinkan bahwa mereka tidak mempunyai hak untuk memperoleh lebih banyak’. Dan untuk ini, mutlak perlu ada suatu otoritas yang superioritasnya mereka akui, dan yang meletakkan hukumnya. Karena tidak pernah individu yang mengalami tekanan dari kebutuhan-kebutuhannya mengakui bahwa ia telah mencapai batas-batas haknya yang ekstrem”. (Lebih jauh, baca; Durkheim, The Division of Labour in Society, 1949). Yang tersisa dari persoalan UMK kota Batam adalah fenomena gerakan massa dalam bentuk demonstrasi penolakan atas ketetapan UMK tesebut. Gerakan ini diharapkan menjadi stimulus bagi organisasi Buruh pada umumnya sehingga posisi tawar-menawar yang nantinya mereka miliki mampu menjadi faktor penyeimbang di dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan para pekerja. Buruh memang memerlukan adanya sebuah lembaga superioritas yang memiliki integritas dan legitmasi moral yang dapat dipertanggungjawabkan di dalam memperjuangkan hak-hak dasar mereka.

UMK Dan Pilkada Itu

Kita harus menghindari perangkap yang sangat menggoda untuk mengatakan bahwa karena kemiskinan mengandung arti pendapatan per kepala yang rendah, maka pembangunan berarti pertumbuhan ekonomi. Kita hampir tidak dapat mengatakan bahwa pembangunan telah terjadi dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu, dalam pengertian bahwa suatu bangsa telah bergerak ke arah situasi yang lebih baik, apabila pendapatan rata-rata meningkat tetapi bersamaan dengan itu ketimpangan menjadi makin gawat, pengangguran meningkat, tingkat pendidikan merosot dan kebebasan politik berkurang” (Dudley Seers, “Other Ways in which Rich Countries Affect Development”, Journal of Trade Law, 1970).

Perdebatan UMK yang marak belakangan ini ternyata-secara politis- memiliki langsung dengan Pilkada Gibernur Kepri dan Walikota Batam. Kenyatan ini tak dapat dihindari karena merupakan konsekuensi logis atas kebijakan pemerintah yang oleh sebagian besar pekerja dianggap gagal. Pemko Batam dan Provinsi Kepri terbukti tidak mampu memainkan peran strategisnya sebagai perencana dan pembuat kebijakan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang No.13 Tahun 2003, Bab IV, Pasal 7 dan 8. Pada prakteknya, pemerintah cenderung berperan sebagai “calo” pengupahan atau pun sebagai “broker” hubungan industrial sehingga tidak mungkin bisa menghasilkan sebuah kebijakan ketenagakerjaan yang bermutu. Pemerintah memposisikan dirinya sebagai “dukun kekuasaan” yang bebas dari tanggungjawab moral atas kekagagalan kebijakan ketenagakerjaan. Pemerintah, dalam situasi ini – meminjam istilah Ivan Illich- hanya mampu memodernisasi kemiskinan. Sebuah contoh yang baik tentang perilaku yang buruk dan tidak bertanggungjawab. Kemiskinan yang dimodernisasi, kata Ivan Illich di dalam bukunya “Menggugat Kaum Kapitalis”),“muncul ketika ketergantungan atas kekuatan pasar mencapai suatu ambang tertentu. Secara subjektif, inilah keadaan dimana kemewahan yang mengecewakan yang dialami seseorang karena kepercayaan mereka terhadap orang kaya pemilik produktivitas industri. Bagi mereka yang terkena pengaruhnya hal tersebut menghilangkan kebebasan dan kekuatan untuk bertindak sendiri, untuk hidup secara kratif; juga membuat masyarakat hanya dapat bertahan hidup apabila mereka mengikatkan diri kepada hubungan terhadap pasar. Dan secara tepat ketidakmampuan ini begitu merasuk sehingga sulit untuk diungkapkan. Misalnya, kita adalah saksi dari perubahan bahasa yang sebenarnya jelas terlihat: kata kerja yang dulunya menyatakan tindakan-tindakan yang memuaskan telah digantikan oleh kata benda yang diperuntukkan bagi konsumsi pasif. Dan masyarakat awam bukan satu-satunya yang sulit secara tepat mengemukakan keadaannya. Para ekonom juga tidak mampu mengenali kemiskinan yang tidak dapat ditutupi oleh alat-alatnya yang kuno” Demikianlah misalnya ketika berhadapan dengan pengusaha, mereka (baca;pemerintah) seakan-akan fasih berbicara tentang kwalitas kemanusiaan, namun ketika berhadapan dengan buruh, mereka beranganggapan bahwa itu hanyalah persoalan tekhnis, yaitu penjumlahan orang-orang yang hanya memiliki arti statistik (angka-angka) semata. Kondisi ini tentu saja akan menguntungkan para pengusaha (Apindo) yang memang berkeberatan atas upah Kebutuhan Hidup layak (KHL) sebagaimana yang diinginkan para pekerja. Dengan mudah para pengusaha (baca; Apindo) mengatakan bahwa keputusan Tripartit telah diputuskan secara demokratis dimana pemerintah merupakan salah satu unsurnya. Didalam konteks Pilkada langsung nanti, maka sudah sepantasnya para buruh tidak memilih calon yang nyatanya tidak melahirkan kebijakan Pro Buruh. Persoalannya adalah mampukah Organsasi Buruh mengkonsolidasikan kekuatan pekerjanya untuk tidak memilih mereka yang kontra atas peningkatan kwalitas hidup para pekerja industri? Penulis mengkhawatirkan hal itu, karena kebanyakan para pekerja industri tidak memiliki ikatan rasional terhadap dunia ketenagakerjaan yang digelutinya. Getulio Vargas (memimpin revolusi yang menggulingkan Presiden Brazil Washington Luis pada 1930) menyampaikan himbauan secara obejektif kepada kaum buruh dalam sebuah pidato kenegaraannya di Stadion Vasco de Gama, 1 Mei 1950 : “Saya membutuhkan saudara-saudara untuk menggalang suatu barisasn yang kuat dan erat untuk emndampingi pemerintah sehingga ia (serikat buruh, pen.) aka memiliki kekuatan yang diperlukannya untuk mengatasi kesulitan saudara. Saya membutuhkan persatuan saudara sehingga saudara dapat mengganyang para sabotir, sehingga saudara tidak akan menjadi mangsa kepentingan para spekulan serta para bajingan yang rakus yang merugikan kepentingan-kepentingan rakyat… Saatnya telah tiba untuk menyeru kaum buruh; bersatulah dalam serikat-serikat kalian sebagai kekuatan yang bebas dan bersatu…sekarang ini tidak ada pemerintah yang dapat bertahan atau menolak kekuatan yang cukup untuk mencapai tujuan-tujuan sosialnya jika ia tidak mempunyai dukungan dari organisasi-organisasi kaum buruh” (dikutip dari, Paulo Freire “Pedagogy of the Oppressed”, 1972)

Dengan kata lain, tidak adanya kesadaran kelas- sebagaimana yang terjadi di banyak negara- adalah merupakan faktor penting yang menentukan hasil akhir perjuangan politik para pekerja. Lihat saja hasil Pemilu Legislatif tahun 2004 yang lalu, Partai yang mengatasnamakan Buruh justru keok tanpa ampun di seluruh Indonesia. Ini adalah suatu bukti bahwa Organisasi Buruh tidak memiliki kekuatan politis untuk melakukan tekanan terhadap penguasa dan pengusaha sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan hidup pekerjanya. Padahal untuk kota Batam misalnya, suara pekerja industri sangat signifikan guna menentukan kemenangan seseorang yang mengikuti proses Pilkada Gubernur dan Walikota. Untuk dapat mempengaruhi proses penentuan suara Pilkada nanti maka tidak ada jalan lain, yaitu membangun komitmen tanpa pamrih dari seluruh pekerja industri agar penolakan terhadap calon yang dianggap tidak mendukung kebijakan Pro-Buruh dapat terlaksana. Tidak cukup hanya sekedar mengkampanyekan penolakan atas calon-calon yang dianggap tidak mampu membawa aspirasi para pekerja, organisasi buruh juga harus mampu meyakinkan masyarakat luas bahwa tidak memilih adalah merupakan piliham rasional, bukan semata-mata didorong sikap emosional. Hal ini sangat penting artinya jika dikaitkan dengan fungsi dan legitimasi politik yang dimiliki pemerintah. Apalagi menghadapi tema-tema tentang globalisasi dan demokratisasi dalam dunia kontemporer saat ini, maka pemerintah dituntut untuk mampu melaksakan dan mengembangkan partisaspasi masyarakat secara luas. Karena keberadaan pemerintah –sebagaimana Anthony Giddens paparkan di dalam bukunya yang terkenal “The Third Way” – adalah untuk:

- menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan-kepentingan yang beragam;

- menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing ini;

- menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, di mana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;

- menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesehjateraan kolektif;

- mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan ketika monopoli mengancam;

- menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan;

- mendukung perkembangan SDM melalui peran utamanya dalam sistem pendidikan;

- memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi makro maupun mikro-ekonomi, plus penyediaan infrastruktur serta menopang sistem hokum yang efektif;

- membudayakan masyarakat-pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya;

Disamping persoalan UMK kota Batam 2005 yang kontroversial itu, kita juga bisa melihat sejauhmana keberhasilan dan atau kegagalan pembangunan yang dilakukan oleh Pemko Batam dan Pemprov Kepri sesuai dengan deskripsi Anthony Giddens tersebut diatas. Namun secara objektif, penulis melihat bahwa keberedaan pemerintah daerah lebih sering berperan sebagai Problem Maker daripada Problem Solver. Itu sebabnya penolakan kaum buruh terhadap mereka yang tidak memiliki integritas pada Pilkada nanti menemukan momentum strategisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar