Kamis, 11 Februari 2010

TANTANGAN PROVINSI KEPRI : DARI EMANSIPASI KULTURAL MENUJU KONSENSUS Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn. Ketua LSM GERAKAN BERSAMA RAKYAT (GEBRAK) “

TANTANGAN PROVINSI KEPRI :

DARI EMANSIPASI KULTURAL MENUJU KONSENSUS

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

Ketua LSM GERAKAN BERSAMA RAKYAT

(GEBRAK)

Setiap perjuangan memang ada resiko. Begitu juga dalam perjuangan Provinsi Kepri ini. Demi kepentingan masyarakat seluruh Provinsi Kepri, saya siap dipenjara,” kata Huzrin Hood. (Koran5, Selasa, 21 September 2004).

Proses terbentuknya Provinsi Kepri sangat berbeda dengan keberadaan provinsi baru lainnya di Indonesia. Pertikaian dengan Provinsi Riau (induk) membuat proses pembentukannya lebih lama dan akhirnya menimbulkan biaya-biaya ekonomi dan sosial-politik.

Sebagai tokoh sentral perjuangan, Huzrin Hood berhasil melakukan langkah taktis maupun strategis guna memperjuangkan terbentuknya Provinsi Kepri.. Sesuai perkembangannya, kita melihat bahwa keberhasilan yang telah dicapai tersebut harus dibayar mahal dengan dimasukkannya Huzrin Hood ke LP Sukamiskin, Bandung. Sungguh ironis! Bukan saja karena konsekuensi hukum dan politik yang ditanggung Huzrin Hood di dalam memperjuangkan terbentuknya Provinsi Kepri, tetapi tidak ada banyak suara, kecuali BP3KR, yang memberikan dukungan secara terbuka kepada dirinya, baik secara moral maupun bentuk dukungan lainnya. Inilah harga sebuah perjuangan ditengah-tengah menguatnya tarik-menarik kepentingan politik, baik di ruang lingkup lokal maupun nasional. Namun begitu pun, ada sebuah pertanyaan yang mengusik rasa kemanusiaan, yaitu : Apa arti sebuah keberhasilan bagi kita (dengan terbentuknya Provinsi Kepri) kalau keberhasilan tersebut tidak dapat membebaskan seorang Huzrin Hood?

MEMPERTIMBANGKAN AGENDA PEMBANGUNAN

Jika rasa hormat kepada manusia ditanamkan dalam hati manusia, barulah manusia akan berhasil membangun sistem politik, sistem sosial, dan sistem ekonomi yang menghormati dasar-dasar kemanusiaan itu” (Saint-Exupery).

Terbentuknya Provinsi Kepri menandai babak baru proses pembangunan dan pengembangan seluruh potensi Sumber Daya Manusia (SDM) maupun Sumber Daya Alamnya (SDA). Salah satu tujuan yang ingin dicapai dengan terbentuknya Provinsi ini adalah terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera. Di lihat dari perspektif sosial-politik, terbetuknya Provinsi Kepri tentu akan mempermudah komunikasi antara daerah dan pusat karena bersifat langsung. Berbeda misalnya jika Kepri masih berada dibawah naungan Provinsi Riau, hubungan ke tingkat pusat harus melalui provinsi induk yang mana hal tersebut cenderung memperlambat proses pembangunan. Dalam perspektif administrasi, persoalan ruang dan waktu dapat di minimalisir karena rentang kendali pemerintahan relatif lebih sempit dan tentunya mempermudah interaksi serta komunikasi antara Provinsi dan daerah-daerah di tingkat II. Efektivitas komunikasi tidak hanya memperlancar tetapi juga akan mempercepat proses pembangunan di seluruh wilayah Provinsi Kepri.

Terlepas dari persoalan pro-kontra di dalam menyikapi keberadaan Provinsi Kepri dewasa ini, kita menghadapi tantangan pembangunan yang sangat berat. baik ditinjau dari segi kesiapan sumber daya manusia (SDM) maupun dari segi keterbatasan biaya pembangunan infrastrukturnya. Saat ini kita berhadapan seperti apa yang disebut oleh Syahzinah SE (anggota BP3KR Jakarta) dengan belenggu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan kesehatan yang terpuruk atau disingkat menjadi 4 K (Batam Pos, Selasa, 27 September 2004). Jika hal tersebut benar adanya, tentu persoalannya tidak hanya menyangkut pembangunan fisik melainkan juga kwalitas kehidupan masyarakatnya. Kondisi yang sangat menyedihkan ini tidak terlepas dari kebijakan politik pembangunan di Indonesia yang sangat sentralistik itu. Ketidakadilan pembangunan dan pembodohan masyarakat yang dilakukan oleh rejim Orba tidak hanya menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi bagi masyarakat di Provinsi Kepri, tetapi yang lebih berbahaya adalah hilangnya kesadaran masyarakat atas hak-hak pendidikan, ekonomi dan politiknya. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Taufik Ikram Jamil (Sastrawan dan Ketua Dewan Kesenian Riau) di harian Kompas beberapa waktu yang lalu, “ Spanyol mengambil sumber daya alamnya dari negara-negara Amerika Latin dan negara-negara disana dapat bahasanya, yaitu bahasa Spanyol. Sementara Riau (daratan dan kepulauan) diambil bahasa dan timah hitamnya, tetapi Riau justru mendapatkan kebodohan dan kemiskinan.”

Daerah menjadi korban penjarahan dan masyarakat teralienasi dari realitas pembangunan di sekelilingnya. Ini adalah sebuah bentuk, yang dalam bahasa Jurgen Habermas disebut sebagai kolonisasi dunia kehidupan (colonization of lifeworld). “Kolonisasi ini menimbulkan gangguan-gangguan proses-proses reproduksi dalam dunia kehidupan ( distrubances in the reproduction procceses of lifeworld), suatu istilah lain bagi krisis atau patologi-patologi modernitas. Lebih lanjut dikatakannya bahwa, Krisis-krisis itu muncul ditiga fungsi reproduksi. Jika bidang reproduksi kultural terganggu, akan lahir krisis kebudayaan dalam bentuk hilangnya makna ( loss of meaning), krisis sosial dalam bentuk krisis legitimasi (withdrawal of legitimation), dan krisis kepribadian dalam bentuk krisis orientasi (crisis in orientation). Jika bidang integrasi sosial terganggu, akan lahir krisis kebudayaan dalam bentuk rasa ketidakpastian akan identitas kolektif (unsettling of collective identity), krisis social dalam bentuk anomi (anomie), dan krisis kepribadian dalam bentuk alienasi (alienation)” (Ibrahim Ali Fauzi, “Jurgen Habermas”, 2003). Gambaran Habermas tersebut mempertegas pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan, semulia apa pun tujuannya, tidaklah bebas nilai. Setiap bentuk dan jenis pembangunan akan menjadi monster bagi masyarakatnya jika ia ditempatkan di luar sistem nilai dan makna kebudayaannya.

MEMBONGKAR BELENGGU KULTURAL

Terpolanya persepsi masyarakat terhadap kekuasaan adalah salah satu faktor penghambat bagi terciptanya komunikasi yang sehat antara penguasa politik dan masyarakat. Hambatan tersebut memiliki implikasi yang luas bagi masyarakat di dalam rangka pengembangan potensi dirinya. Hal ini setidaknya dapat kita lihat dari ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah di dalam masalah-masalah sosial-budaya, ekonomi dan politik. Ketergantungan itu sendiri adalah suatu bentuk ketidakberdayaan.menghadapi dan memahami realitas komkritnya. Untuk itu sangat diharapkan upaya dari pemerintah provinsi membangun komunikasi dengan masyarakatnya agar seluruh-- potensi yang ada dapat dikembangkan secara maksimal.

Salah satu langkah penting dan strategis yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah Provinsi saat ini adalah melakukan emansipasi kultural melalui kebijakan politik penyadaran. Upaya penyadaran ini bisa dimulai dengan membuka ruang komunikasi politik secara timbal-balik, yaitu antara pemerintah dan masyarakat. Ada tiga tujuan yang dapat dicapai dengan politik penyadaran tersebut yaitu :

1. Melepaskan beban-beban kultural (yang berkaitan dengan persoalan-pesoalan eksistesi) dan sekaligus membangun kesadaran kognitif agar masyarakat dapat mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimilikinya. Di dalam perspektif psikologis, hal ini berarti membongkar persepsi kultural berupa keterbatasan-keterbatasan serta belenggu yang bersifat struktural dan historis.

2. Dengan terbangunnya kesadaran kultural tersebut akan membuka jalan bagi menuju (program) perbedayaan masyarakat (empowerment). Di dalam perspektif sosiologis, perbedayaan menjadi penting karena karena ia mencakup hal-hal yang berhubungan dengan konsep ilmu sosial, sosial ekonomi, budaya dan politik secara konprehensif..

3. Berjalannya proses pemberdayaan masyarakat akan mempermudah kita untuk membangun konsensus. Di dalam perspektif politik, konsensus memiliki arti strategis karena menyangkut prinsip-prinsip keseimbangan dan keterwakilan.

Ketiga perspektif tersebut akan membantu kita untuk memahami realitas kebudayaan, baik dalam konteks agenda pembangunan maupun pemaknaan atas simbol-simbol kebudayaanya. Kebesaran sejarah dan filosofi kehidupan yang dimiliki masyarakat di Kepulauan Riau misalnya, seharusnya menjadi dasar pijakan untuk melakukan lompatan ke depan. Kenyataannya, kebesaran sejarah seringkali justru menjadi beban bagi kebanyakan masyarakat karena memang pemahaman tentang hal tersebut telah direduksi sedemikian rupa oleh rejim Orba melalui kebijakan politik kebudayaannya yang sangat sentralistik itu. Sehingga apa yang dikatakan oleh Al Azhar, Budayawan dan Presiden Riau Merdeka (di dalam sebuah perbincangan di Batam beberapa waktu yang lalu) menarik untuk disimak, kurang lebih adalah “bahwa masyarakat Riau Kepulauan memiliki beban tanggungjawab sejarah yang berat, dan, karena terlalu beratnya beban tersebut sehingga akhirnya ditimpah oleh kebesaran sejarah yang membesarkannya.”.

Apa yang dimaksud dengan beban disini tidak lain adalah keterbatasan-keterbatasan persepsi; yang mana hal tersebut muncul sebagai akibat dari kebijakan politik kebudayaan rejim Orba yang menutup ruang bagi upaya penerjemahan dan pemaknaan simbol-simbol kebudayaan. Sebagai contoh, keberadaan dan Pulau Penyengat (sebagai sebuah pusat kebudayaan) cenderung dilokalisir di dalam batas-batas wilayah geografisnya. Pembatasan ini dengan sendirinya akan mempersempit ruang penafsiran yang lebih luas, baik dalam pengertian simboliknya (persoalan ruang), maupun dalam hal kesejarahannya (persoalan waktu). Kenapa misalnya, kita tidak mengatakan bahwa Pulau Penyengat adalah milik masyarakt dunia, bukankah nilai dan makna yang terkandung di dalam kebesaran sejarah tersebut melampaui batas-batas ruang dan waktu? Ataukah kita, meminjam istilah Erich Fromm (tokoh psikoanalisa) hanya berada di tingkat “memiliki” kebudayaan dan belum “menjadi” bagian dari kebudayaan tersebut? Demikian juga halnya pemaknaan atas keberadaan Laut yang selalu dipandang hanya dari sisi kebendaannya; Laut adalah sebuah metafora tentang keluasan, keterbukaan, kedalaman dan ketidakterbatasan. Laut menjadi sebuah pengertian tentang kebesaran, kedalaman, keterbukaan dan ketidakterbatasan (di dalamnya sudah pasti terdapat sumber-sumber mineral dan sumber daya alam lainnya). Metafora ini menjadi penanda bagi kita bahwa susungguhnya masyarakat di Kepulauan Riau memiliki filosofi kehidupan yang sangat luas artinya.

Di dalam konteks kehidupan modern dewasa ini, dasar atau filosofi kehidupan tersebut membantu kita untuk dapat melakukan adaptasi terhadap modernitas dan globalisasi dewasa ini.. Filosofi tersebut menjadi dasar pemahaman yang membantu kita untuk masuk dan bermain di wilayah-sebagaimana Anthony Giddens menyebutnya- kampung global (global village), dan bukan sebaliknya, berada diluar yang justru menjadi korban dari penjarahan global (global pillage).

Emansipasi kultural tidak lain adalah respon terhadap proses pembangunan yang “memanusiakan manusia”. Dengan kata lain, manusia beserta nilai-nilai kemanusiaannya harus menjadi tujuan dari pembangunan. Masyarakat harus menjadi bagian penting (subjek) dari proses pembangunan, bukan sebaliknya, sebagaimana diktator Soeharto menempatkan manusia sebagai objek pembangunannya. Model yang selama ini digunakan yaitu, ‘program pembangunan dari atas’ (top down planning) cenderung menggunakan pola penyeragaman strategi pembangunan masyarakat. Istilah-istilah Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Tekhnis (Juknis), atau Petunjuk Bapak Presiden (Harmoko) tidak lain adalah peristilahan yang mengacu kepada pengertian bahwa masyarakat hanya sekedar objek pembangunan dan pelaksana program yang telah dirancang sebelumnya oleh pemerintah. Sudah terbukti bahwa bangunan ekonomi dan politik yang dilaksanakan oleh rejim Orba itu sangat rapuh terutama di tinjau dari sisi partisipasi masyarakat terhadap proses pembangunan. Wajarlah jika individu-individu yang muncul dari rejim Orba tersebut, persis seperti yang di gambarkan oleh sosilog C.Wright Mills, sebagai ‘robot yang berseri’(cheerful robots). Kalaupun ada manusia ahli yang dilahirkannya kebanyakan berupa “ahli-ahli keserakahan tanpa hati nurani”. Akibatnya adalah, bangsa ini menjadi kerdil dan parahnya,Indonesia sekarang ini sudah menjadi negara kuli” (Jeffrey Winters, Forum Keadilan, No.15. 28 Juli 2002). Sehingga jadilah kita sebuah bangsa yang oleh sosiolog Daniel Bell dilukiskan dengan sangat baik, yaitu “Suatu bangsa tidak hanya terlalu kecil untuk mengatasi masalah-masalah besar, tetapi juga terlalu besar untuk menyelesaikan masalah-masalah kecil.”

Pertanyaan yang muncul (di dalam konteks pembangunan Provinsi Kepri dewasa ini) adalah : mampukah Ismeth Abdullah Sebagai Gubernur Kepri beserta jajaran kabinetnya meletakkan dasar pembangunan yang konprehensif serta mengakomodir tuntutan emansipasi kultural dan pemberdayaan (baca; bukan memperdayai) masyarakat ? Kita ingin mengetahui apa dan bagaimana bentuk program atau kebijakan yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi untuk membuka jalan bagi upaya pembebasan atas keterbatasan-keterbatasan dan belenggu yang bersifar struktural dan historis tersebut?

MEMBANGUN KONSESNSUS

Realitas kehidupan masyarakat yang ditandai oleh berbagai ragam bentuk kepentingannya (sosial, ekonomi, politik dan budaya) menjadi acuan bagi pemerintah Provinsi Kepri untuk membangun konsensus. Kompleksitas dan tingginya tingkat problematika pembangunan di wilayah Provinsi Kepri menuntut adanya kesepahaman, baik untuk penentuan arah dan tujuan pembangunan juga menyangkut strategi kebijakan pembangunannya. Kebijakan pembangunan yang bersifat sektoral bukanlah pilihan yang tepat jika pemerintah provinsi ingin mengatasi masalah yang sangat kompleks tersebut. Sebagai contoh, pembangunan ekonomi tidak lagi memadai jika hanya dilaksanakan melalui sudut pandang atau perspektif ekonomi semata, karena pada dasarnya setiap pembangunan memiliki dimensi lainnya diluar kepentingan-kepentingan ekonomi.

Agar tercipta keseimbangan, paradigma pembangunan ekonomi haruslah diimbangi oleh paradigma pembangunan sosial dan budaya. Michael Todaro (1994) mengatakan bahwa “… sistem ekonomi perlu dianlisis dan didudukkan pada konteks sistem sosial secara keseluruhan di negara-negara tertntu, dan tentu saja, juga dalam konteks global-internasional. Sistem sosial yang yang dimaksud adalah hubungan-hubungan yang saling terkait antara faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi”. Hal ini perlu digaris bawahi mengingat pengalaman pembangunan di Batam yang terlalu berorientasi ekonomi (economy oriented) sehingga menimbulkan ekses sosial yang sangat kompleks, seperti masalah rumah liar (ruli), premanisme, perjudian, prostitusi, kemacetan lalu-lintas, dan lain sebagainya. Demikian juga halnya kesenjangan budaya seperti persoalan-persoalan Pluralitas (plurality), Keragaman (diversity), dan Multikultural (multicultural). Lebih jauh tentang ini baca, “Ismeth Abdullah Di Persimpangan Jalan” (Uba Ingan Sigalingging, Batam Pos, Selasa 14 dan 15 September 2004). Sebuah model pembangunan yang cenderung menempatkan manusia sebagai alat produksi semata. Pembangunan yang dijalankan terkesan jauh dari prinsip-prinsip humanitariannya. Padahal sangat jelas bahwa Program pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNDP) menempatkan manusia sebagai ukuran pembangunan yaitu, dengan menetapkan standard berupa Human Development Index (HDI); dan bukannya Industry atau Economy Development Index. Standard tersebut mempertegas bahwa perkembangan industri dan pertumbuhan ekonomi (sehebat apa pun hasilnya) hanyalah suatu sarana kehidupan dan bukan tujuan yang kehidupan yang “memanusiakan manusia”.

Sistem desentralisasi yang merupakan amanat Undang-undang No.22 tahun1999/2000 tentang Otonomi Daerah merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah provinsi guna menyikapi masalah-masalah pembangunan di daerahnya masing-masing. Sistem desentralisasi tersebut mengisaratkan kepada kita bahwa diperlukan adanya aparat pemerintah daerah yang cerdas dan kreatif serta berwawasan luas sehingga mampu menerjemahkan secara luas prinsip-prinsip pembangunannya. Mendaur-ulang kebijakan-kebijakan lama tanpa disertai penafsiran baru apalagi hanya sekedar memamah-biak kebijakan-kebijakan yang telah usang, jelas tidak akan dapat mengatasi berbagai bentuk kesenjangan pembangunan.

Membangun dan mengembangakan potensi masyarakat dan wilayahnya dapat dilaksanakan secara maksimal jika terlebih dahulu pemerintah provinsi membangun konsensus. Pertimbangan tentang pentingnya konsensus tersebut didasarkan atas kepentingan pembangunan, terutama di tinjau dari sisi keterwakilan dan perimbangan-perimbangan kepentingan yang melatarbelakanginya. Kita semua mengharapkan adanya perubahan dan kita akan segera melihat ada atau tidak adanya konsensus ternyata merupakan hal yang paling menentukan bagi sukses atau gagalnya upaya pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah provinsi Kepri. Mengabaikan semua ini (realitas kebudayaan dan kesejarahannya di dalam rangka emansipasi kultural, pemberdayaan masyarakat dan membangun konsensus) berarti mengingkari hakekat pembangunan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar