Kamis, 11 Februari 2010

W A W A N C A R A UBA INGAN SIGALINGGING (Ketua Forum Budaya Batam) DENGAN P U T U W I J A Y A

W A W A N C A R A UBA INGAN SIGALINGGING

(Ketua Forum Budaya Batam)

DENGAN P U T U W I J A Y A

Peristiwa bencana alam di Aceh dan Nias tidak hanya menggoncang kesadaran kemanusiaan kita, tetapi juga menyisakan berbagai persoalan dan pertanyaann-pertanyaan tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi dan memaknai peristiwa itu. Disamping korban jiwa dan hancurnya berbagai bentuk infrakstruktur fisik, ia juga meninggalkan luka yang sangat dalam bagi saudara-saudara kita yang selamat dari bencana gempa dan tsunami itu. Dalam perspektif budaya, ada dua hal yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu: pembangunan segi budaya kebendaan (tangible) dan nilai-nilai (intangible). Di dalam rangka nilai-nilai tersebut, Forum Kerja Budaya Batam dan Komunitas Seni Pomponk Batam menggelar “Renungan Kebudayaan Untuk Aceh dan Nias” dengan mengundang Budayawan terpandang Indonesia, Putu Wijawa, pada hari Sabtu, 8 Januari 2005, di Lapangan Parkir Carnaval Mall Batam Center. Untuk melihat peristiwa Aceh dan Nias dari perspektif budaya serta untuk mengetahui lebih jauh tentang “nilai-nilai” seni-budaya dewasa ini, Forum Kerja Budaya Batam mewawancarai secara langsung mas Putu Wijaya (Minggu, 9 Januari). Dibawah ini adalah petikannya.

Uba Ingan Sigalingging (selanjutnya disingkat UIS) : Mas Putu, Anda datang ke Batam dalam rangka acara “Renungan Kebudayaan Untuk Aceh dan Nias”. Kemarin (sebelum acara dimulai) kita telah berbicara panjang lebar tentang berbagai hal, kemudian malamnya anda memberi “Orasi Kebudayaan” dan sekaligus mendeklamasikan dengan sangat bagus dua buah Cerpen (“Dialog antara Ayah, Ibu dan Anak”, serta “Kemerdekaan”). Dalam kesempatan yang singkat ini, saya ingin “merampok” sedikit pengetahuan dan pengalaman anda mengenai beberapa hal penting yang berhubungan dengan isu-isu kontemporer dewasa ini. Saya ingin meminta pendapat kebudayaan anda tentang peristiwa bancana alam di Aceh dan Nias, yaitu : “Bagaimana kita memaknai peristiwa tersebut, sehingga setiap individu merasa dan memandang bahwa rasa kemanusiaan dan kepeduliaan sosial itu adalah merupakan tanggungjawab kita bersama. Pertanyaan ini berangkat dari fenomena sosial-budaya masyarakat kita di era modern ini, ada kecenderungan bahwa kita “seolah-olah” menunggu bencana itu datang baru kemudiaan rasa kemanusiaan itu muncul. Nah, dari perspektif kebudayaan, bagaimana anda melihat dan memaknai bencana serta fenomena solidaritas kemanusiaan yang menyertainya?

Putu.Wijaya (Selanjutnya disingkat PW) : Kepedulian kemanusian itu, tidak mungkin datang tiba-tiba, ia harus dimulai dengan pembinaan, karena kalau datangnya tiba-tiba, pasti munculnya juga hanya tiba-tiba dan bersifat sementara. Solidaritas kemanusiaan diperlukan seperti di Aceh, bukan sebagaimana yang dirumuskan oleh mereka yang sedang bekerja sekarang yang menghitung berapa kerugiannya dengan angka, tetapi sebetulnya adalah penjumlahan dari seluruh kemungkinan yang akan memberikan bencana juga kepada mereka yang tinggal, yang dalam kurun waktu yang akan datang mungkin akan masih berkembang; antara lain adalah sesuatu yang tidak bisa dinilai dengan angka. Misalnya, perasaan-perasaan orang yang merasa ditinggalkan, perasaan orang-orang yang merasa tidak mempunyai perlindungan lagi, yang mungkin akan bertambah lama bertambah perih dimasa-masa yang akan datang. Perasaan-perasaan orang yang merasa kesepian, dimana suatu saat

nanti ada problem-problem yang muncul secara nasional maupun regional sehingga membuat orang tidak lagi memperhatikan persoalan ini sebagai masalah yang primadona. Ketika misalnya ada bom, misalnya PSSI menang, orang akan memperhatikan PSSI, tidak lagi memperhatikan ini. Tetapi bagaimana caranya agar dalam waktu yang lama masih tetap rasa kemanusiaan itu melekat? Hal itu tidak mungkin hanya karena torehan sesaat tetapi didasari oleh pengertian bahwa orang yang ada disana itu adalah bagian integral dari kita. Jadi kalau salah satu bagian yang sakit maka seluruhnya juga akan merasa sakit. Dalam hal ini, tidak ada masalah teritorial, tidak ada masalah suku, tidak ada masalah agama, tidak ada masalah kaya dan miskin. Meskipun dia kaya, lebih kaya dari kita, kalau dia berada dalam keadaan terpuruk, terkena bencana, maka yang sakit adalah sakit, dan kita pun ikut sakit. Itu hanya bisa terlaksana apabila dalam pendidikan kita dibelajarkan bahwa sebetulnya menghadapi orang lain itu sebagai bagian dari diri kita sendiri. Sesudah kita mencapai kemerdekaan yang dulu kita cita-citakan, sesudah musuh bersama kita yakni kolonialisme tidak ada, maka kita seperti seakan-akan tidak mempunyai motivasi untuk mengkristal menjadi satu. Kita malah mencoba untuk melestarikan hal-hal yang berbau kedaerahan yang sebelumnya bisa tertutupi karena adanya musuh bersama. Perasaan kedaerahan yang muncul perlahan-lahan itu sebetulnya wajar juga karena ia memang tidak bisa mati. Perbedaan itu, sebagaimana diakui oleh Bhinneka Tunggal Ika akan tetap ada. Namun ia merupakan komitmen untuk merasa bahwa dalam perbedaan itu ada persamaan-persamaan. Perbedaan-perbedaan yang tetap berbeda yang akan membuat kita melakukan langkah bersama yakni kita ingin bersatu. Kesadaran untuk berkomplot, kesadaran untuk berkompromi, kesadaran untuk saling bertenggang rasa, bertoleransi, yang sebetulnya oleh tradisi sudah diajarkan lewat kebijakan-kebijakan lokal yang hidup didalam sastra lisan kita. Sayangnya, hal itu tidak lagi dibelajarkan dan tidak lagi dipraktekan karena kita terpesona oleh referensi Barat yang mengajak kita mengagumi hal-hal yang mereka kagumi; yang tentu saja membuat bangsa mereka melangkah bagus karena itu memang sesuai dengan latarbelakang mereka, tetapi yang tidak sesuai dengan latar belakang kita. Misalnya saja antara lain, untuk menjelaskan ketika terjadi polemik kebudayaan dahulu, ketika Sutan Takdir Alisyahbana (STA) mengajak kita untuk menukar haluan yakni tidak lagi memuja alam tetapi menaklukan alam. Ketimuran mengajarkan orang untuk takut dan takluk terhadap alam, sementara peradaban barat mengajarkan orang harus menaklukan alam. Sekarang untuk mengejar ketinggalan, kita harus ke Barat sebagaimana misalnya, cerita Layar Terkembang. Tetapi pada waktu itu juga sudah mulai dibantah bahwa bukan itu saja yang harus dipikirkan. Karena didalam ketakutan yang diperkirakan oleh STA itu bukan ketakutan adanya, tetapi sebetulnya rasa sayang. Rasa sayang yang pada dasarnya adalah rasa yang memang tidak dimiliki oleh tradisi Barat, minimal kurang. Rasa itulah yang belakangan ini makin lama makin kita tumpulkan, karena kita masih tertalu percaya pada rasio tanpa diimbangi oleh rasa. Nah, rasa yang semakin lama makin tumpul itu menyebabkan kita menjadi manusia-manusia pintar menghitung, pintar membuat efisiensi dan efektifitas sebagaimana orang Barat, tetapi keropos didalam sehingga dalam hal solidaritas seperti ini tiba-tiba yang muncul adalah angka-angka saja. Karena itu saya kembali pada masalah pendidikan. Pendidikan moral, pendidikan budi pekerti yang selama ini dianggap bukan bagian daripada pendidikan tetapi hanya dipakai sebagai krida misalnya, yang harus dikembalikan lagi kesana, karena ilmu-ilmu yang diajarkan kepada kita itu merupakan semacam kiat-kiat untuk menyikapi berbagai fenomena. Harus disikapi dengan adanya polesan rasa yang menyebabkan ia tidak akan membuat manusia itu menjadi robot. Kalau terjadi lagi hal-hal semacam ini maka kita percaya bahwa di saat itu uang dibutuhkan, simpati sesaat dibutuhkan, kita akan dapat jaminan bahwa perasaan solidaritas itu akan terus datang tanpa komando.

UIS : Masyarakat telah mendengar secara langsung Orasi Kebudayaan yang anda sampaikan pada malam Renungan Untuk Aceh dan Nias. Namun saya ingin menggali lebih jauh pemahaman anda tentang bencana tersebut. Apa yang seharusnya kita lakukan untuk membangkitkan kepercayaan saudara-saudara kita di Aceh dan Nias yang kita tahu sangat menderita akibat bencana alam yang dasyat itu?

P W : Mengirimkan uang, dan relawan kesana usaha untuk menata kembali, semuanya bagus. Tetapi yang lebih perlu lagi mengirimkan pengamat-pengamat kesana untuk melihat dan memungut apa saja yang bisa kita lihat dari fenomena-fenomena ini, yang yang merupakan bagian dari harta yang sangat besar yang dapat kita pakai sebagai janji kita, yaitu sebuah janji bahwa kita akan mampu untuk mengatasinya. Kita memerlukan orang-orang yang datang kesana untuk memulihkan rasa mereka. Artinya, bahwa kelompok kesenian misalnya, nampaknya tidak secara langsung bisa merenovasi seluruh kerusakan yang ada di Aceh, tetapi dalam jangka panjang dia akan menemani. Jadi saya kira upaya untuk merehabilitasi secara konvensional yang sudah dilakukan sekarang mesti ditambah dengan plusnya, yaitu bahwa kita mesti menyembuhkan jiwa mereka yang sedang menderita itu. Dan itu caranya dengan memberikan aroma rasa kedalamnya. Tidak dengan cara-cara yang hanya dihitung dari uang misalnya, tetapi adalah penting untuk memperhatikan apa kebutuhan batin mereka sekarang ini. Apakah mereka betul-betul hanya kekurangan obat, makanan, tempat tinggal, dan sebagainya. Kekurangan seseorang yang menemani mereka, seseorang yang mengasihani mereka, seseorang yang akan menjadi teman mereka untuk selanjutnya bertahun-tahun kedepan dan, itu salah satu yang mungkin bisa dilakukian oleh kesenian.

Putu Wijaya adalah salah satu dari sedikit seniman yang paling produktif dan paling energik di Tanah Air. Karya-karyanya sudah dipublikasikan ke dalam bentuk buku, esai, cerpen di Koran dan Majalah, aksi-aksi dipanggung, dilayar kaca maupun layar lebar. Sudah sekitar 50 cerpen ia tulis. Novel ada 30-an, di antaranya: Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Stasiun, Keok, Sah, Ms, Ratu, Tak cukup Sedih, Tiba-tiba Malam, Sobat, Nyali, Lho, Aus, Byar, Pet, Mas, Putri, Pol, Perang, Teror.

Drama: Aduh, Dor, Gerr, Aum, Dag-ig-Dug, Tai, Front, Aib, Wah, Lautan Bernyanyi, Orang-Orang Malam, Dalam Cahaya Bulan, Aduh, Edan, Anu, Hum Pim Pah, Bah, Hat, Jpret, Lho, Awas, Blong, Jembatan Emas, Los, Zat, Dar-Der-Dor. Kumpulan Cerpen: Gres, Es, Bom, Sigzag, Yel, Blok, Gong, dan lain-lain. Skenario filimnya yang mendapat piala Citra adalah : Perawan Desa (1980), Kembang Kertas (1985). Sinetron ada banyak: ada PAS 52 seri, NONE 39 biji, WARUNG TEGAL 20 biji, JARI-JARI CINTA, Keluarga Rahmat, Intrik, Ballada Dangdut, Kemerdekaan Dalam Merdeka, Sejuta Makna Dalam Kata, Pantang Menyerah, Bulan Berkaca, dan lain-lain. Film pertama yang ia sutradarai: Cas-Cis-Cus (1990) mendapat 9 nominasi dalam FFI 1990”.

UIS : Agak menyimpang dari tema kita tentang Aceh dan Nias. Saya dengar Mas Putu baru pertama kali ke Batam? Dengan waktu yang sangat singkat ini, anda sudah melihat sekilas kota Batam dan sudah pula melakukan perjalanan ke camp Vietnam di Galang. Dapatkah anda menceritakan pengalaman yang sangat singkat itu?

P W : Pertama, bayangan saya tentang Batam ternyata berbeda dengan apa yang saya lihat. Ketika Batam masih dalam imajinasi saya, saya membayangkan ini adalah kota yang kita harapkan menjadi tandingan Singapura. Untuk menandinginya, maka kita harus membuat tata kota yang bagus dengan memindahkan imej Singapura kemari sehingga orang-orang Indonesia sendiri tidak perlu lagi ke Singapura. Disini mungkin semacam Szhen-szen di Cina ketika dia akan menerima Hongkong, maka untuk membuat peralihan itu soft maka dibuatlah suatu kota tandingan yang seakan-akan sama dengan kemajuan di Hongkong. Dimana penduduknya dilarang untuk datang kesana kecuali yang spesial. Artinya, mereka yang mempunyai income yang baik yang mempunyai swadaya manusianya bagus, rumah-rumahnya bagus teknologinya tinggi bahkan pembayarannya dengan dollar pada waktu itu. Itu disengajakan untuk adanya tujuan tertentu. Saya tertarik kepada itu. Tetapi begitu saya sampai kemari, di airport saya masih merasa bahwa ini upaya untuk menuju sebuah airport internasional, lama-lama begitu masuk kota saya tercengang! Tanpa mengurangi hormat saya dengan apa yang sudah terjadi di Batam ini, tiba-tiba saya berpikir, tak lama lagi Batam akan menjadi Glodok yang ke dua. Kalau itu tujuannya, yah, tidak apa-apa. Cuma kemudian, saya menjadi kecewa begitu. Itu yang pertama. Yang kedua, saya mendapat informasi bahwa sebagai sebuah daerah dimana berbagai kultur akan bertemu dan akan membentuk suatu kultur baru, Indonesia baru, tradisi baru, dimana seluruh unsurnya meluluh, atau mungkin mengkristal sendiri-sendiri tetapi tetap saling hormat-menghormati. Sedikit terhambat oleh cita-cita lain yang mencoba untuk melestarikan suatu sektor budaya daerah. Nah dua hal yang bertentangan ini harus segera dirembuk kalau tidak akan terjadi konflik. Apakah kita akan membuat ini seperti gado-gado atau salad atau seperti permen nano-nano yang rasanya ramai? Ataukah kita kembali akan membuat ini menjadi mini kultur dengan kebanggaan multikultur? Padahal bukan multikultur keadaannya disini. Kalau dibiarkan, tidak dirembuk sekarang akan menjadi masalah. Kalau dirembuk sekarang tetap menjadi masalah, tetapi kita akan segera tahu bagaimana menyelesaikannya. Sebab kalau tidak diselesaikan sekarang, maka dia akan menjadi semacam hutang yang suatu ketika bisa meledak menjadi masalah yang secara fisik bisa menimbulkan kekacauan.

Resminya ia bergelar SH jurusan Perdata FH UGM. Sempat pula kuliah di Akademi Seni Drama dam Film (Asdrafi, 3 tahun) dan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI, 1 tahun). Semuanya di Yogyakarta. Bergabung dengan Bengkel Teater Rendra di Yogya (1967-1969). Hijrah ke Jakarta, bergabung dengan Teater Kecil Arifin C. Noer (1970); sempat main sekali dengan Teater Populer Teguh Karya. Selanjutnya bikin group sendiri; Teater Mandiri (1971). Pernah menjadi Redaktur Ekspres, lalu Tempo (1971-1979); redaksi pelaksana ZAMAN (1979-1985) dan dosen tamu pada Univesitas Wisconsin AS (1985-1986). Pernah tujuh bulan (1973) ikut rombongan Teater Swaraj hidup di lingkungan masyarakat komunal petani di Itoen, Kyoto-Jepang, yang menganut falsafah: kerja sebagai ibadah. Mengikuti International Writing Programme selama 8 bulan di IOWA-AS (1974-1975; main di Festival Teater Sedunia di Nancy-Perancis (1975); Menjadi dosen di IKJ Jakarta; balik lagi ke AS sebagai dosen dan sutradara tamu atas undangan yayasan Fulbright (1985-1988). Disana, di Madison-Connecticut ia pentaskan “GEER”; “AUM” di New York; juga mengusung “Yel” keliling Amerika dalam rangka KIAS 1991. Menerima Anugrah Sea Write Award (Bangkok 1980, Anugrah Seni Depdikbud 1991). Beberapa kumpulan cerpen, novel dan dramanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa: Arab, Belanda, Jerman, Jepang, Perancis, Rusia, dan Inggris.”

UIS : Mencermati apa yang baru saja anda katakan, saya melihat ada sebuah tantangan yang akan selalu kita hadapi, yaitu prinsip-prinsip keseimbangan di dalam masyarakat majemuk. Setelah bergulirnya Otonomi Daerah, kita melihat ada suatu kecenderungan menguatnya isu-isu primoridialisme. Di dalam konteks penyikapan atas perbedaan-perbedaan itu, kita tidak saja dituntut untuk melakukan pendekatan Antrpologis tetapi juga secara cerdas dituntut untuk mampu melakukan pendekatan dialogis melalui pendekatan budaya sehingga konflik dapat di hindarkan. Nah, belajar dari kasus dari berbagai kasus yang pernah terjadi di Indonesia, dapatkah anda menjelaskan fenomena primordialisme tersebut?

P W :: Saya tidak berbicara secara konkrit, tapi yang ingin saya sampaikan untuk masalah seperti itu ada dua hal yang bisa kita lakukan. Pertama, kita melakukan shock therapy dan kita harus berani menanggung resikonya. Kemungkinan akan sembuh cepat, kemungkinan akan gagal. Tapi yang kedua, yang lebih senang saya lakukan sendiri adalah kita menerimanya dulu. Itulah kenyataannya. Dengan menerima secara perlahan-lahan kita bisa masuk ke dalamnya dan mengubahnya mengikuti apa yang kita inginkan, dan ini memerlukan waktu. Sanggup tidak kita, masih berani tidak kita membuang-buang waktu kita untuk menunggu hasilnya yang barangkali bukan kita yang menikmatinya, tetapi satu generasi didepan, satu generasi berikutnya. Kalau saya kira, saya sendiri mesti sanggup, mesti harus berani karena kita masih dalam proses terus.

UIS : Anda sudah menjelaskan banyak hal dari perspektif kebudayaan. Namun ijinkanlah saya untuk memaksa anda agar bersedia menuntaskan perjalanan dialog budaya ini, sehingga pemahaman saya yang “agak dangkal” dapat terpuaskan. Anda tahu bahwa salah satu persoalan yang muncul sehubungan dengan menguatnya Primordialisme adalah issue tentang “putra daerah”. Sebuah istilah yang sangat sederhana namun dapat menimbulkan kesalahpahaman dan perselisihan yang berkepanjangan. Nah, sebagai pertanyaan terakhir, saya ingin meminta anda untuk menjelaskan makna “kebalian” di dalam perspektif kultural yang anda alami, baik di ruang lokal maupun dalam konteks globalisasi yang saya yakini anda memahaminya dengan sangat baik.

P W : Saya gembira sekali anda menanyakan hal ini karena ini juga merupakan konsen saya. Saya pernah menulis di Media Indonesia tentang hal ini dan, benar-benar merasa perlu banyak yang diterangkan. Sejak adanya Otonomi Daerah maka tiba-tiba isu putra daerah melonjak lagi, sementara itu kita ketahui bahwa ada banyak perkembangan di Indonesia ini. Kalau dulu orang Jawa tinggal di Jawa. meskipun banyak orang Jawa tinggal di luar Jawa, meskipun kita bisa mendeteksi orang Jawa sifat-sifatnya begini dan tinggal di Jawa, orang Bali sifat-sifatnya begini dan tinggalnya di Bali. Tetapi sesudah jaman kemerdekaan kita melihat banyak sekali orang Batak tinggal di Jogya dan menjadi sangat Jogya, lebih halus dari orang Jogya seperti, Maruli Sitompul almarhum teman saya itu, halusnya bukan main. Itu orang Batak tetapi halus sekali. Saya kenal orang Jawa salah seorang guru saya di SMA yang tinggal di Bali, dia seperti Bali sekali. Lebih Bali dari orang Bali. Demikian juga orang Bali yang tinggal di Jawa dan tiba-tiba bukan hanya caranya ngomong, cara berpikirnya sudah lain dan sebagainya. Dan orang Indonesia yang tinggal di luar negeri juga demikian. Jadi kalau kemudian kita mengatakan orang Jawa, orang Batak, orang Bali atau orang Sunda, tiba-tiba kita berpikir yang lahir di Jawa, di Bali, di Sunda atau orang yang orang tuanya adalah asli orang setempat atau orang yang memiliki budaya Jawa, Sunda, Bali dan sebagainya, sehingga kita menyebutkan dia adalah orang Bali. Ketika ada seminar tentang Kebalian maka pada waktu itu, ada orang merasa bahwa Kebalian itu diukur misalnya, dia beragama Hindu bahwa dia lahir dari orang tua Bali. Waktu itu saya sudah menentang. Jangan itu ukurannya. Karena kebalian adalah sikap budaya. Sikap budaya yang bisa saja datangnya bukan dari orang Bali. Sebagaimana yang saya katakan tadi, guru saya adalah orang Jawa tapi dia Bali sekali, sering lebih Bali daripada orang Bali. Sementara orang Bali yang bukan orang Bali lagi karena dia tinggal di luar Bali sehingga tidak terasa kebaliannya lagi. Dia tidak merasa lagi seperti orang Bali. Maka dari itu, apa yang saya sebut sebagai putra daerah itu mesti diberikan reinterpretasi, diberikan satu pengertian lain,untuk kemudian melakukan reposisi. Hal ini yang kita lakukan kembali dalam kongres kebudayaan akhir tahun 2003 di Bukittinggi, Sumetera Barat. Salah satunya adalah melakukan reintepretasi dan reposisi terhadap tradisi. Tradisi sering diartikan dengan aturan-aturan yang menjadi penjara buat anak-anak muda, sehingga anak-anak muda benci kepada tradisi. Contoh yang paling dekat adalah orang-orang Jepang, mereka merasa bahwa tradisi mereka begitu mencekam sehingga mereka lari dan menoleh kepada Amerika. Amerikanisasi orang-orang Jepang yang baru. Di Indonesia juga bisa terjadi seperti itu, karena itu kita mesti merevisi tradisi itu. Ia bukanlah aturan-aturan, tetapi tradisi itu adalah kebijakan lokal. Seperti penduduk dipulau Simeuleu yang mewarisi tradisinya secara lisan dan kemudian mendapat kebijakan bahwa apabila air laut surut tiba-tiba, itu artinya akan terjadi sesuatu, maka larilah kau ke atas dan, selamatlah. Ini membuktikan bahwa bagaimana dia menghidupkan tradisi itu. Nah, kembali kepada putra daerah, saya kira sudah waktunya melakukan reintepretasi terhadap apa pengertian putra daerah itu. Kalau tidak maka negeri Indonesia yang sudah kita lebur dari Sabang sampai Merauke, dari suku-sukunya, kelompok etnisnya menjadi satu kesatuan dibawah bendera Merah Putih dengan Sumpah Pemudanya akan mulai mentah lagi. Kita harus mengartikan putra daerah itu dengan intepretasi baru, saya menawarkan pengertian bahwa putra daerah adalah semua orang, siapa pun yang berasal dari Indonesia yang melakukan sesuatu untuk daerahnya dan berjuang untuk daerah itu. Kalau saya orang Bali, saya berjuang di Batam ini, saya menunjukkan kesetiaan saya membuat tanah ini maju saya adalah putra daerah Batam meskipun saya ini orang Bali. Anda orang Batak meskipun anda tidak tinggal di Batak, anda tinggal disini anda adalah putra daerah. Jadi kalau tiba-tiba misalnya di Batam ini Gubernurnya adalah orang Jawa apa salahnya, asal dia kemudian benar-benar berjuang untuk nama putra daerah. Saya kira dengan cara intepretasi ini tidak akan terjadi semacam kesalahan yang terjadi seperti sekarang. Sekarang urusan-urusan otonomi daerah ini membuat orang merasa di daerah hanya boleh ada birokrat-birokrat orang daerah. Sehingga orang-orang bodohpun bisa menjadi birokrat hanya karena dia adalah dalam tanda kutip putra daerah. Itu harus dibuang sekarang. Kalau dia hanya berasal dari daerah dan tidak mampu memimpin jangan diberikan kepemimpinan. Kalau dia berasal dari luar dan mampu memimpin, siap menunjukkan dedikasinya, dia adalah putra daerah setempat karena dia berjuang untuk tempat itu. Nah dengan cara pengertian seperti ini maka saya kira otonomi daerah tidak akan membuat kita melakukan kesalahan yang baru. Sekianlah pidato Saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar