Kamis, 11 Februari 2010

PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA BATAM: SEBERAPA JAUH MENJANGKAU PENDUDUK MISKIN*

PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH KOTA BATAM:

SEBERAPA JAUH MENJANGKAU PENDUDUK MISKIN*

Oleh : Uba Ingan Sigalingging

Ketua LSM – Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)

“Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku
Hidupnya tak lagi punya tanda”
(1)

PENDAHULUAN

Setidaknya ada dua hal pokok yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini, yang pertama adalah tentang Pelayanan Publik; kedua adalah tentang Kemiskinan (baca; penduduk miskin). Kedua pokok bahasan tersebut memiliki perspektif yang sangat luas, itulah sebabnya penulis tidak memasuki wilayah teoritis tetapi lebih menenkankan aspek empirik tentang Pelayanan Publik dan Kemiskinan.

Berbicara tentang pelayanan publik (public service) berarti berbicara tentang bagaimana sebuah isntitusi khususnya Pemerintah menjalankan fungsi pelayanannya kepada masyarakat luas. Namun dalam praktek kesehariannya, banyak anggota masyarakat tidak mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan Pelayanan Publik. Seringkali pelayanan publik dimaknai sebagai sebuah pemberian yang sifatnya sosial, yaitu bantuan pemerintah secara cuma-cuma. Ketidaktahuan ini sering dimanipulasi oleh pemerintah daerah dengan memposisikan dirinya sebagai “sinterklas” yang memberikan bantuan langsung tunai kepada masyarakat. Peran pemerintah sebagai “sinterklas” merubah public service menjadi lip service.

Pemaknaan secara sempit tersebut telah mendistorsi fungsi pelayanan pemerintah sebagai penanggungjawab kebijakan publik. Hal ini tentu saja mengaburkan fungsi pelayanan publik yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah daerah. Sebagai contoh, pemerintah daerah terkesan menutup mata jika terjadi banjir yang diakibatkan oleh buruknya sistem drainase dan perencanaan tata kota, namun bertindak cepat memberikan bantuan sosial bagi masyarakat yang tertimpa bencana banjir tersebut. Contoh lainnya adalah tentang program multi years Pembangunan Pusat Pemerintahan Provinsi Kepri yang menghabiskan anggaran hampir Rp. 2 Triliun sementara APBD Kepri saat ini hanya sekitar Rp 1,3 Triliun. Sebuah logika pembangunan yang didasarkan atas konsep lip service.

Sebagaimana dipaparkan Haripinto, Anggota Komisi II DPRD Provinsi kepri di Harian Pos Metro, Senin 23 Februari 2009, bahwa Alokasi Anggaran Pemerintah Provinsi Kepri 20% untuk anggaran pendidikan, 30% anggaran rutin dan 40% dialokasikan untuk anggaran pembangunan pusat pemerintahan di Dompak. Itu artinya hanya tersisa 10% untuk anggaran belanja publik yang meliputi perbaikan pelabuhan, jaminan kesehatan, infrastruktur jalan, pembangunan dan perbaikan drainase. Disini, kelihatan jelas bahwa pemerintah daerah mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan APBD yang berfihak kepada publik, khususnya penduduk miskin. Padahal jumlah penduduk miskin di Provinsi Kepri cukup besar, yaitu berkisar 12,5% atau sekitar 149 ribu jiwa dari jumlah penduduk. Sedangkan jumlah penduduk nyaris miskin berkisar 25% atau sekitar 298 ribu jiwa (Batam Pos, Kamis 12 Maret 2009).

Minimnya informasi dan pengetahuan masyarakat mengenai anggaran pelayanan publik serta tidak transparannya pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) membuat pelayanan publik tidak terlaksana sesuai harapan. Ketidaktahuan masyarakat sering dijadikan pemerintah daerah sebagai pembenaran untuk memperkaya dirinya sendiri. Padahal “anggaran publik, baik itu anggaran pemerintah mau pun swasta dapat diartikan sebagai rencana keuangan yang mencerminkan pilihan kebijaksanaan untuk suatu periode masa yang akan datang. Anggaran bagi sektor publik meliputi anggaran bagi sebuah negara, suatu daerah otonom atau badan usaha milik negera atau akan lebih mudah disebut dengan anggaran publik. Makna anggaran publik adalah suatu kebijakan publik tentang perkiraan pengeluaran dan penerimaan yang diharapkan akan terjadi dalam suatu periode di masa depan serta data dari pengeluaran dan penerimaan yang sungguh-sungguh terjadi di masa yang lalu”.(2)

Anggaran publik pada prinsipnya adalah uang Negara yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa sesungguhnya Pemerintah hanya berperan sebagai pengelola keuangan Negara yang bertanggungjawab membuat perencanan dan kebijakan pembangunan bagi kepentingan masyarakat luas. Tertutupnya akses publik terhadap informasi tentang pengelolaan APBD tidak semata-mata karena pemerintah daerah ingin menutupi kegagalannya menjalankan program pelayanan publik bagi penduduk miskin, namun juga disebabkan oleh kecenderungan-kecenderunngan pemerintah yang menganggap bahwa APBD adalah miliknya sendiri. Kekeliruan yang disengaja tersebut justru mendapat dukungan mayoritas anggota DPRD setempat. Sehingga Pemda seenaknya mengalokasikan anggaran tanpa mempertimbangkan secara serius kepentingan publik.

Penjelasan di atas terjadi sinkronisasi dengan pernyataan yang pernah diungkapkan oleh Revrizon Bazwir, MA, pada tahun 1999, yakni; “..anggaran negara yang selama ini dipahami sebagai anggaran pemerintah. Istilah ini perlu diluruskan – dibenarkan, Sebab ada perbedaan pemahaman antara keduanya. Istilah anggaran pemerintah mengasumsikan pemerintahlah yang memilikki anggaran sehingga timbul kesan bahwa pemerintah bisa semaunya dengan anggaran yang dikuasainya, tetapi apabila menggunakan anggaran negara berarti anggaran rakyat. Jadi anggaran negara adalah amanat yang diberikan oleh rakyat pada pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk mengatur dan mengelola anggaran itu yang semuanya merupakan uang rakyat atau menjadi ‘hak’ rakyat”. (3)

Di balik persepsi yang salah tentang pengelolaan uang Negara menjadi uang pemerintah, kita melihat bahwa Otonomi Daerah berperan penting dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan di daerah. Harus diakui bahwa Otonomi daerah mempunyai potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan. (Selain potensi positif, pelaksanaan otonomi daerah juga mengandung potensi negatif terhadap kebijakan penanggulangan kemiskinan. Ini bisa terjadi antara lain jika pemerintah daerah menciptakan sistem sentralistiknya sendiri untuk melindungi kepentingan elite setempat).

Hal positif terjadi di beberapa daerah di Indonesia seperti, Kabupaten Jembrana (dengan program Pro-Poor Budgeting), Kabupaten Kutai Kertanegara dengan Program Pembangunan Desa. Pemkot Balikpapan telah melakukan pendataan ulang jumlah penduduk miskin menurut kriteria setempat. Berdasarkan data ini, mulai TA 2002 program penanggulangan kemiskinan seperti pengobatan gratis, pemberian beasiswa, dan sebagainya mulai dilaksanakan. Termasuknya beberapa daerah lainnya yang telah melakukan program dalam bentuk reformasi birokrasi, seperti daerah Sragen, Gorontalo, Sinjai, Purbalingga, Belitung Timur, dan Blitar.

Menguatnya tuntutan masyarakat atas pelayanan publik, khususnya bagi penduduk miskin serta pentingnya perumusan kebijakan publik secara transparan dan akuntabel merupakan tantangan bagi pemerintah daerah. Dalam konteks inilah kita melihat pentingnya penyikapan secara rasional dan kritis terhadap persoalan-persoalan pelayanan publik di Provinsi Kepri umumnya dan kota Batam khususnya. Tinggi-rendahnya kwalitas dan kwantitas pelayanan publik dapat dipandang sebagai cermin keseriusan pemerintah daerah menanggulangi penduduk miskin. Dengan kata lain, pelayanan publik harus dipandang sebagai program pembangunan untuk menggusur kemiskinan (to predicate poverty), bukan menggusur orang miskin (to eradicate the poor).

BATAM DAN PELAYANAN PUBLIK

Robert Dahl dalam bukunya Polyarchy : Partisipation and Oppposition, tentang apa yang harus dijamin oleh penguasa/pemerintah agar rakyat diberi kesempatan untuk : pertama, merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; Kedua, memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan ketiga, mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasarkan isi atau asal-usulnya.

Penegasan tentang pentingnya partisipasi rakyat dalam merumuskan preferensi bagi dirinya sendiri pada dasar telah dilakukan oleh Pemko Batam melalui kegiatan Musrenbangda. Masyarakat diberi kesempatan, dari mulai tingkat Kelurahan hingga kotamadya untuk menyampaikan aspirasi. Namun di dalam prakteknya, Musrenbangda tidak lebih dari sekedar seremonial yang berisi tentang keluh-kesah masyarakat. Keberadaan masyarakat di dalam kegiatan Musrenbangda hanya kamuflase untuk melegitimasi agar pembahasan rancana pembangunan daerah dipandang prosedural dan demokratis.

Terbukti dalam setiap pembahasan rancangan anggaran daerah di tingkat Panitia Anggaran DPRD Batam berbeda dengan apa yang disampaikan dalam Musrenbangda tersebut. Tidak mengherankan jika kebijakan pembangunan daerah debgab APBD tahun 2009 mencapai 1,2 Triliun lebih berfihak kepada kaum kaya daripada penduduk miskin, karena program pelayanan publik yang di usulkan masyarakat dari tinggkat yang paling bawah di sabotase oleh elit-elit politik di DPRD. Jika demikian halnya maka muncul pertanyaan penting bagi kita, khususnya yang terkait dengan kebijakan publik pemerintah daerah selama ini : dimana peran publiknya?

Pembuatan Peraturan Daerah (Perda), dan pembahasan anggaran daerah kota Batam selalu minus peran publik. Hal ini jelas membuat masyarakat bersikap apatis terhadap himbauan atau pun peraturan yang dikeluarkan Pemko Batam. Akhirnya Pemko Batam kesulitan di dalam menjalankan kebijakannya seperti persoalan perparkiran, maraknya taksi plat hitam dan penerapan Argo pada taksi resmi. Sementara kegiatan Musrenbangda yang dimulai dari mulai tingkat kelurahan hingga kotamadya yang melibatkan publik tidak lebih dari sekedar seremonial belaka. Peran publik hanya kamuflase yang untuk mendapatkan legitimasi atas rencana pembangunan daerah.

Pentingnya pemerintah secara sungguh-sungguh memperhatikan pelayanan publik karena pada rpinsipnya pemerintah bertanggungjawab terhadap hal tersebut. Apa yang dikatakan oleh Robert Dahl tersebut di atas sejalan dengan pendapat Giddens yang mengatakan bahwa keberadaan Pemerintah adalah untuk :

  1. Menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan-kepentingan yang beragam;
  2. Menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing itu;
  3. Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;
  4. Menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga Negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif;
  5. Mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam;
  6. Menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan publik;
  7. Mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam sistem pendidikan;
  8. Menopang sistem hukum yang efektif;
  9. Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi makro maupun mikro-ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;
  10. Membudayakan masyarakat - pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku secara luas, tetapi juga bias membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya.(4)

Pemaparan Giddens tersebut memungkinkan kita untuk melihat sejauhmana peran pemerintah dalam melakukan fungsi pelayanan publiknya dan sekaligus menunjukkan relevansi pemerintah sebagai penanggungjawab atas kepentingan-kepetingan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini menjadi sebuah penegasan penting, dimana “pasar tak dapat menggantikan pemerintah dalam bidang apa pun dalam daftar di atas, demikian juga gerakan-gerakan sosial atau organisasi non-pemerintah lainnya, tak peduli betapa pun signifikannya mereka”.(5)

Pentingnya peran pemerintah sebagaimana yang di sampaikan oleh Robert Dahl dan Giddens berkaitan keberadaan perusahaan Air dan Listrik di Batam yang sepenuhnya dikelola oleh fihak swasta. Pemko Batam sama sekali tidak berdaya menjaga kepentingan publik ketika perusahaan air minum PT ATB dan PLN Batam menaikkan tarif sesuka hatinya. Pemko Batam selalu berlindung di balik status PT. ATB dan PT. PLN yang swasta murni sehingga tidak bisa berbuat apa-apa untuk kepenting publik. Padahal PT. ATB dan PT. PLN secara terang-terangan memeras dan merampok rakyat. Tentang hal ini, penulis telah membahas secarang panjang lebar melalui sebuah tulisan yang berjudul “ATB Dan Piramida Kurban Manusia” di Harian Sijori Mandiri, Selasa 20 Juli 2007. Ketidakmampuan Pemko Batam melaksanakan fungsi pelayanan publiknya mencerminkan sebuah pemerintah - meminjam istilah John Foster Dulles, mantan Menteri Luar negeri AS - “seperti anak-anak yang tidak memiliki kapasitas untuk memerintah diri sendiri”. (6)

Terserapnya sebagian besar anggaran untuk belanja rutin menunjukkan bahwa Pemko Batam lebih mementingkan dirinya sendiri daripada masyarakat luas. Diluar anggaran rutin tersebut, sedikitnya 20 persen dari nilai proyek anggaran publik yang dialokasikan melalui dinas-dinas terkait habis terserap untuk PNS. Misalnya untuk panitia lelang, pengguna anggaran, bendahara, pemegang kas, perjalanan dinas, ATK dan lain-lain. Keseluruhan honorarium ini diambil dari biaya proyek tersebut. Menurut Yudi (anggota komisi II DPRD kota Batam, pen), jika saja masyarakat diberi kesempatan untuk membedah APBD Kota Batam, maka akan ditemukan begitu banyak penghamburan duit masyarakat untuk hal – hal yang tidak perlu. (Sijori Mandiri, 18 Desember 2008).

Sebagai contoh, besarnya anggaran pendidikan tahun 2008 (Rp.180,888,076,241,25,-) ternyata tidak menjamin penduduk miskin untuk mendapatkan akses pendidikan yang baik dan berkwalitas. Sedikitnya terdapat “175 warga berusia 05-50 tahun masih buta huruf (aksara). Mereka tersebar di daerah kantong kemiskinan seperti di wilayah hinterland. Sebagaimana dikatakan Aliyanto, Kepala Sub Dinas Pendidikan Luar Sekolah, hasil pendataan tahun 2008 menunjukkan masih banyaknya warga yang belum memiliki kemampuan baca tulis. Diperkirakan masih banyak lagi masyarakat buta aksara berlanjut hingga saat ini. "Pada umumnya mereka masih usia produktif," ujarnya, kemarin” (Sijori Mandiri,4 Maret 2009). Kebanyakan anggota masyarakat yang buta aksara tersebut tersebar di wilayah hinterland dan mainland seperti Sagulung, Sekupang dan Nongsa. Namun kemungkinan masyarakat yang buta aksara bisa lebih banyak jumlahnya karena jangkauan pelayanan pendidikan bagi penduduk miskin terutama yang berada di wilayah hinterland sangat terbatas.

Yang menarik justru keterbatasan pendanaan pemerintah kota Batam dijadikan alasan tidak maksimalnya upaya penegembangan fasiltas pendidikan bagi penduduk miskin tersebut. Hal ini tentu saja menimbulkan tanda tanya besar, bukankah alokasi APBD untuk anggaran pendidikan tersebut diatas seharusnya mampu menjamin pelayanan pendidikan bagi penduduk miskin? Seharusnya Pemko Batam dapat meniru kebijakan Pemkab Sinjai yang menerpkan jaminan pendidikan bagi rakyatnya. Anekdot ini mungkin dapat menggambarkan alasan-alasan tentang keterbatasan pendanaan tersebut, yaitu “perbedaan antara mafia dan pemerintah adalah : “yang pertama tak bisa ditolak, sementara yang kedua tak bisa dimengerti”.

Adapun pelayanan publik dalam bidang kesehatan bagi penduduk miskin masih jauh dari yang diharapkan. Berobat gratis bagi penduduk miskin yang selama ini coba diterapkan Pemerintah kota Batam ternyata hanya sebatas uji coba, belum menjadi sebuah kebijakan politik yang mampu menjamin hak-hak penduduk untuk mendapat pelayanan kesehatan secara baik.

Contoh kasus yang sangat merisaukan kita semua adalah ketika terjadi epidemik demam berdarah yang telah menewaskan 6 orang yang kebanyak penduduk miskin beberapa waktu lalu. Kepala Dinas Kesehatan kota Batam mengatakan bahwa hal tersebut belum termasuk kejadian luar biasa karena jumlah yang meninggal baru hanya 6 orang. Tidak adanya penyikapan secara serius dari pemerintah kota Batam menanggulangi bahaya penyakit DBD menjadi sebuah bukti tentang rendahnya kwalitas pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin.

Dinas Kesehatan kota Batam gagal mendefinisikan penduduk miskin serta tidak mampu merumuskan kebijakan tentang pelayanan publik bagi penduduk miskin. Seharusnya pemerintah kota Batam menggunakan jargon pembangunan yang berbunyi :”habis gelap terbitlah gelap” agar masyarakat tidak menuntut perlunya pelayanan publik yang bermutu.

Permasalahan tentang buruknya pelayanan publik lainnya adalah menyangkut lingkungan hidup. Keberadaan Limbah B3 dari Korea Selatan sebanyak 3.800 ton yang saat ini berada di area pemukiman penduduk di daerah Sagulung merupakan bukti nyata atas gagalnya Pemko Batam menjamin terciptanya lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Sejak bulan Februari hinga saat ini Limbah B3 tersebut masih dibiarkan terletak tanpa ada upaya pencegahan dari fihak-fihak yang terkait. Sangat jelas bahwa penimbunan Limbah B3 di wilayah pemukiman adalah sebuah tindakan yang bukan saja mengabaikan hak-hak masyarakat atas lingkungan yang sehat dan bersih, tetapi juga merupakan sebuah pameran arogansi kekuasaan atas penduduk miskin di pemukiman tersebut.

Keberadaan Limbah B3 tersebut hanya salah satu contoh dari sekian banyak kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup di kota Batam. Ketidakmampuan pemerintah kota Batam mengatasi persoalan pencemaran lingkungan hidup diperburuk oleh lemahnya pengawasan dari instasi yang terkait dengan masuknya Limbah B3 ke Batam. Namun yang paling absurd bagi masyarakat Batam terkait dengan kasus-kasus pencemaran lingkungan hidup adalah bahwa semua semua kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup berawal dari fakta, namun berakhir menjadi fiksi. Sudah terbukti dengan kasus masuknya Limbah B3 sebesar 1.300 ton yang yang dikelola oleh PT. APEL beberapa tahun yang lalu dan juga pengalokasian Hutan Lindung Dam Baloi. Tidak ada satu fihak pun yang bertanggungjawab. Kasus tersebut tersebut berubah menjadi fiksi.

Banyaknya kasus pencemaran lingkungan hidup baik yang terungkap ke publik maupun yang tidak terungkap – maupun tentang buruknya pelayanan publik lainnya, seperti penanganan banjir, kebersihan, pembuatan KTP, ijin usaha yang berbelit-belit, dan perusakan lingkungan hidup membuat pemerintah kota Batam kehilangan kepercayaan publik. Kondisi ini tentu saja berdampak atas hilangnya kepercayaan publik terhadap Pemko Batam. Pemerintah kota Batam takkan dapat meyakinkan masyarakat dan pasar dalam jangka panjang jika kebijakannya berlawanan dengan kebenaran. Kepercayaan itu penting, tapi kepercayaan tidak bisa dicomot begitu saja dari antah berantah, demikian kata Allan Greenspan. Itu artinya, pemerintah yang memang peduli kepada rakyat yang menimbulkan kepercayaan, bukan sebaliknya.(6)

MERUBAH CARA PANDANG

Keberhasilan beberapa daerah di Indonesia melakukan reformasi anggaran dan birokrasi patut diapresiasi oleh mereka yang menghormati perubahan. Mentalitas penguasa yang mempertuankan dirinya sendiri tidak akan mampu melaksanakan sebuah konsep pembangunan yang memiliki landasan demokrasi partisipatif. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penguasa yang tidak memiliki konsep pembangunan partisipatif akan selalu memiliki hubungan dengan kalangan usaha yang menindas dan mengenyampingkan kepentingan rakyat. Sebagaimana yang dikutip Robert W. McChesney (1998) dalam pengantar buku “Profit Over People : Neo Liberalism and Global Order” karya Noams Chomsky, “Tidaklah mungkin untuk menjadi pembela demokrasi partisipatif dan secara bersamaan membela kapitalisme atau sistem lainnya yang membagi masyarakat berdasarkan kelas”.

Penjelasan di atas memberikan pemahaman dan membuka perspektif kita tentang pelayanan publik bagi penduduk miskin. Pemahaman sempit Pemko Batam yang memandang kemiskinan hanya diukur dari ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan material dasar akan berdampak langsung terhadap fungsi pelayanan publik yang diembannya. Kemiskinan memiliki pengertian dan dimensi yang luas seperti halnya, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, tidak adanya jaminan masa depan, kerentanan (vulnerability), ketidakberdayaan, ketidakmampuan menyalurkan aspirasi, keterbatasan akses informasi, dan ketersisihan dalam peranan sosial. Tanpa memiliki konsep yang di dasari pengertian kemiskinan tersebut maka upaya Pemko Batam untuk memberikan pelayanan publik kepada penduduk miskin tidak akan pernah maksimal.

Pemko Batam dituntut merumuskan kembali kebijakan pembangunannya, terutama yang menyangkut tentang pelayanan publik bagi penduduk miskin. Jika selama ini penduduk miskin selalu dipandang sebatas persoalan statistik semata, maka cara pandang tersebut harus diubah karena penduduk yang dikategorikan miskin adalah manusia yang juga memiliki aspirasi dan harapan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya. Meredusir derajat kemanusiaan ke tingkat sekian kilo kalori perhari jelas merupakan sebuah pengingkaran dan penghianatan terhadap nilai-nilai kemanusian. Pertaruhan pelayanan publik untuk penduduk miskin sesungguhnya adalah pertaruhan tentang harkat dan martabat manusia.

Sebagai konsekuensi dari pengertian kemiskinan tersebut, maka dituntut adanya kemauan politik dan komitmen dari Pemko Batam agar pelayanan publik benar-benar dapat menjangkau penduduk miskin. Disamping itu, peran publik dalam melakukan pengawasan atas pengelolaan APBD menjadi sebuah keharusan karena dapat mendorong terciptanya transparansi dan akuntabiltas pengelolaan anggaran daerah. Untuk mengatasi jumlah penduduk miskin di kota Batam yang mencapai sekitar 143 ribu jiwa (Kompas, Jumat 17 Oktober 2008) maka diperlukan terobosan baru di dalam pengalokasian anggaran publik. Peran publik dapat mendorong Pemko Batam melaksanakan prinsip-prinsip penganggaran yang baik, seperti:

1. Transparan: Beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan antara lain:

(a) Dokumen anggaran dapat dengan mudah diakses oleh publik

(b) Dibukanya akses/partisipasi aktif publik dalam proses perumusan program dan pengambilan keputusan. Hal ini antara lain diindikasikan oleh:

  • Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang bagi keterlibatan publik secara langsung;
  • Adanya hubungan yang kuat antara program dan nilai alokasi anggaran dengan kondisi aktual kebutuhan masyarakat; dan
  • Prosentase usulan publik yang dijadikan acuan dalam penyusunan dan penetapan nilai anggaran. Hal ini akan tercermin dari nilai keputusannya itu sendiri, seperti seberapa besar penetapan anggaran mengakomodir kepentingan publik, khususnya masyarakat miskin dan masyarakat berpenghasilan rendah.

(c) Adanya kebijakan yang memberikan tempat/ruang kontrol dan monitoring oleh lembaga independen dan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelembagaan sebagai media “checks and balances”.

(d) Adanya prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan/pengelolaan keuangan (negara dan daerah) yang transparan dan menjamin hak informasi publik.

2. Rasional: Perhitungan besaran penerimaan dan pengeluaran dilakukan dengan cermat berdasarkan data yang akurat sesuai dengan kondisi aktual ekonomi makro dan mikro. Perhitungan dilakukan dengan metode yang jelas dan terukur, bukan dengan perkiraan-perkiraan dan kepentingan pihak tertentu.

3. Akuntabel: Adanya tanggungjawab yang tinggi dari pemerintah (daerah) dalam mengelola anggaran sebagai amanat rakyat. Hal ini dicerminkan oleh:

  • Adanya komitmen pemerintah untuk mengelola anggaran secara transparan;
  • Adanya jaminan yang jelas terhadap hak-hak masyarakat dalam pelaksanaan anggaran; dan
  • Adanya prosedur pertanggungjawaban anggaran oleh pemerintah kepada publik yang diatur dalam suatu kebijakan/peraturan (daerah).

4. Keadilan dan Proporsional: Anggaran dialokasikan secara proporsional pada sektor-sektor tertentu yang sifatnya mendesak dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas, sekaligus sebagai kompensasi pemerintah kepada kelompok masyarakat tertentu (miskin) untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang telah menciptakan ketidakadilan ekonomi. (8)

Prinsip-prinsip penganggaran yang baik harus didukung oleh terbukanya ruang untuk mengevaluasi pelaksanaan anggaran. Disini, setiap pelaksanaan anggaran harus dapat diketahui oleh publik, baik dalam hal pelibatan masyarakat maupun dalam bentuk laporan publiknya. Dengan mengacu pada beberapa prinsip anggaran (yang baik) tersebut, maka secara sederhana kebijakan anggaran dalam bentuk pelayanan publik bagi penduduk miskin dapat diterjemahkan sebagai praktek penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja ditujukan untuk mengakomodir suara dan kepentingan masyarakat miskin.

PENUTUP

Program pelayanan publik yang berbasis anggaran untuk rakyat miskin atau dikenal dengan istilah pro-poor budgeting bukanlah hal baru, beberapa daerah telah melakukannya. Persoalannya adalah apakah penguasa daerah memiliki kemampuan adaptif terhadap perubahan? Kebijakan pelayanan publik yang menjangkau penduduk miskin bukan hanya sekedar lip service melainkan sebuah praksis politik untuk membebaskan rakyat dari kemiskinan.

Kita menyadari sepenuhnya bahwa pelyanan publik yang dapat menjangkau penduduk miskin tidak pernah terlaksana jika pemimpin daerah tidak memiliki komitmen dan kemauan politik yang kuat. Perubahan cara pandang dan merubah cara berfikir dari seoarang penguasa menjadi seorang pemimpin adalah hal penting. Mungkin ini yang dimaksud oleh John Maynard Keynes (ahli ekonomi, dalam pengantar buku “The General Theory Of Employment, Interest and Money”, ketika mengatakan : “yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, tetapi bagaimana meninggalkan ide lama, yang telah menguasai setiap sudut benak kita”.

Dari ekslporasi pemikiran tentang kebijkan publik di atas kita dapat menyimpulkan bahwa pendekatan senralistik kekuasaan cenderung menafikan partisipasi publik di dalam proses pembangunan. Kekuasaan yang bersifat sentralistik tersebut selalu memandang rakyat miskin sebagai objek dan dianggap menjadi beban pembangunan. Untuk itu diperlukan kerjasama yang lebih luas dari berbagai elemen, termasuk media-massa agar dapat mendorong dan mengawasi pengelolaan anggaran publik. Agar penyimpangan dapat di elakkan dan program pelayanan publik bagi penduduk miskin terlaksana.

Pemborosan anggaran publik yang selama ini dilakukan oleh Pemko Batam telah menutup ruang bagi penduduk miskin untuk mendapatkan pelayanan secara adil dan manusiawi. Disamping itu, pemborosan tersebut memiliki inflikasi atas hilangnya kepercayaan publik kepada Pemko Batam. Masyarakat cenderung menilai bahwa Pemko Batam tidak memiliki integritas dalam melaksanakan program pelayanan publik untuk penduduk miskin. Pemerintah punya integritas, atau tidak punya integritas. Kita tidak bisa hanya punya integritas sedikit. Sebuah birokrasi berdiri atau tumbang bersama integritas pemerintah; sedikit saja integritas pemerintah berkurang kepercayaan publik langsung hilang. Tanpa kepercayaan publik, demokrasi tidak dapat berjalan. Kemudian tidak akan ada demokrasi. Dan itu mengerikan (Catherine I. Dales, Menteri Dalam negeri Belanda, tahun 1992).(9)

Catatan kaki :

1. Cuplikan dari Puisi Toto Sudarto Bachtiar yang berjudul “Gadis Peminta-Minta”.

2. John F. Due, Keuangan Negara, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1975. Lihat; Rinto Adriono (memantau anggaran public)….

3. Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto : Lembaga penelitian SMERU dalam : Kebijakan Publik Yang Memihak Orang Miskin)

4. Anthony Giddens, “Jalan Ketiga : Pembaruan Demokrasi Sosial”. Terj. Ketut Arya Mahardika, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.

5. ibid.

6. Noam Chomsky,“Memeras Rakyat : Neoliberalisme Dan Tatanan Global”. Ter. Ni’am Sa’diyah, Penerbit Profetik, Jakarta.

7. Joseph E. Stiglitz, “Dekade Keserakahan”. Terj. Aan Suhaeni. Penerbit Marjin Kiri, 2006.

8. Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto, ibid.

9. Jeremy pope, “Strategi Memberantas korupsi”. Terj.Masri Maris. Transparency Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2003.

* Makalah ini disampaikan dalam rangka Loka Karya yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers DR Soetomo (LPDS) bekerjasama dengan UNESCO. Batam, 24 Maret 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar