Kamis, 11 Februari 2010

MENCERMATI PRAKTEK PENDIDIKAN DI KOTA BATAM

MENCERMATI PRAKTEK PENDIDIKAN DI KOTA BATAM

(Sebuah Tinjauan Tentang Kebijakan Pendidikan Oleh Pemda

Dan Peran Pers Didalam Bidang Pendidikan)

(Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn*)

“Di muka bumi ini tidak satu pun menimpa orang-orang tak berdosa separah sekolah. Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Dipenjara, misalnya, Anda tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara” (Bernard Shaw dalam Parents and Children mengomentari dampak komersialisasi pendidikan)

Pendidikan adalah condition sine qua non (syarat mutlak) bagi sebuah negara. Maju mundurnya sebuah negara sangat ditentukan oleh kwalitas pendidikan yang melatarbelakangangi pembangunan sumber daya manusianya. Secara empiris terbukti bahwa tidak ada satu pun Negara di dunia ini yang dapat berkembang maju tanpa didukung oleh pendidikan. Dengan kata lain, terciptanya kesadaran tentang pentingnya (proses) pendidikan dan dibangunnya sebuah system pendidikan (yang dapat menjamin peningkatan kwalitas sumber daya manusia) menjadi syarat utama menuju bangsa yang cerdas dan bermartabat. Itulah sebabnya, membangun kesadaran kognitif dan afektif tentang pendidikan serta mendorong terciptanya sebuah proses pembelajaran bagi masyarakat menjadi tugas utama Negara disamping membangun infrastruktur pendidikan. Setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi acuan di dalam pembangunan bidang pendidikan yaitu, 1. Sub-struktur yang meliputi kesadaran manusia; 2. Infra-struktur yang meliputi sarana pendukung aktivitas pendidikan ; dan 3. Supra-struktur yang meliputi sumber daya manusia.

Ketiga bidang tersebut saling terkait satu sama lain, baik dalam pengertian struktural maupun dalam arti kultural. Namun jika kita cermati secara teliti ternyata pendekatan struktural lebih menonjol dibandingkan pendekatan kultural sehingga tampak ketimpangan di dalam pemaknaan pendidikan, baik dalam arti proses pembelajaran maupun sebagai sebuah proses pembebasan. Secara struktural, pendidikan menjadi bagian dari kebijakan politik dimana warga Negara berkewajiban mengikuti pendidikan. Undang-Undang Pendidikan Nasional adalah contoh bahwa pendidikan merupakan bagian dari kebijakan politik Negara. Pendidikan menjadi bersifat hirarkis karena terkait dengan struktur kekuasaan. Disini, tugas Negara berhenti pada persoalan politik pendidikan, tidak sampai ke persoalan penyadaran pendidikan. Hal ini dapat kita lihat dari bagaimana model pragmatisme menguasai lembaga-lembaga pendidikan di dalam menyikapi realitas sosial, pilitik, ekonomi, dan budaya. Penyikapan pragmatis tersebut membawa dampak atas hilangnya keseimbangan di dalam rangka pemaknaan nilai-nilai kehidupan. Tidak mengherankan apabila kebijakan pembangunan yang dilaksanakan justru membuat masyarakat teralieanasi dari realitas sosial-budayanya, karena pendidikan, sebagaimana dikatakan sosiolog C.Wright Mills, hanya mapu menghasilkan ‘robot yang berseri’(cheerful robots). Dan jika pun ada ada manusia ahli yang dilahirkannya kebanyakan berupa “ahli-ahli keserakahan tanpa hati nurani”.

Berbeda dengan pendekatan struktural yang dasarnya bersifat hirarkis, pendekatan kultural menitikbertakan sisi pemaknaan atas realitas. Dengan kata lain, pendidikan dipandang sebagai sarana pembebas dari berbagai bentuk penindasan dan pembodohan yang di dalam prakteknya sering dilakukan oleh lembaga pendidikan itu sendiri. Pendekatan kultural menjadi penting ketika pendidikan tidak lagi dipandang semata-mata tanggungjawab Negara, melainkan tanggungjawab individu dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan semangat amanat UU Sistem Pendidikan Nasional yang terdapat pada BAB XV Tentang Peran serta Masyarakat dalam Pendidikan. Pasal 54 berbunyi : (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseirangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Mayarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil Dengan munculnya kesadaran akan tanggungjawab individu serta kelompok masyarakat, maka pendidikan disamping memiliki kekuatan ilmu pengetahuan, ia juga sekaligus menjadi sarana penyadaran atas penindasan kebodohan dan kemiskinan yang membelenggu individu dan masyarakat. Dalam istilah Jurgen Habermas disebutkan sebagai – bebas dari kolonisasi dunia kehidupan (colonization of lifeworld).

Kolonisasi kehidupan, disamping menimbulkan ketidakseimbangan dalam tatanan sosial tetapi juga menjadi sebuah ancaman atas system kehidupan. Hal ini digambarkan lebih jauh oleh Jurgen Habermas dengan mengatakan, ““Kolonisasi ini menimbulkan gangguan-gangguan proses-proses reproduksi dalam dunia kehidupan ( distrubances in the reproduction procceses of lifeworld), suatu istilah lain bagi krisis atau patologi-patologi modernitas. Lebih lanjut dikatakannya bahwa, Krisis-krisis itu muncul ditiga fungsi reproduksi. Jika bidang reproduksi kultural terganggu, akan lahir krisis kebudayaan dalam bentuk hilangnya makna ( loss of meaning), krisis sosial dalam bentuk krisis legitimasi (withdrawl of legitimation), dan krisis kepribadian dalam bentuk krisis orientasi (crisis in orientation). Jika bidang integrasi sosial terganggu, akan lahir krisis kebudayaan dalam bentuk rasa ketidakpastian akan identitas kolektif (unsettling of collective identity), krisis social dalam bentuk anomi (anomie), dan krisis kepribadian dalam bentuk alienasi (alienation)” (Ibrahim Ali Fauzi, “Jurgen Habermas”, 2003).

Gambaran Habermas tersebut mempertegas pendapat yang mengatakan bahwa pembangunan, semulia apa pun tujuannya, tidaklah bebas nilai. Setiap bentuk dan jenis pembangunan akan menjadi monster bagi masyarakatnya jika ia ditempatkan di luar sistem nilai dan makna kebudayaannya. Didalam konteks inilah kita melihat permasalahan Pendidikan yang berkaitan dengan fungsi Pemerintah Daerah serta peran Pers di dalam meliput dunia pendidikan, khususnya di kota Batam.

Mencermati Kebijakan Pemerintah Daerah

Sebelum berbicara tentang kebijakan Pemerintah Daerah, kita akan melihat terlebih dahulu Visi dan Misi Dinas Pendidkan Kota Batam.

Visi :

Terwujudnya sumber daya manusia beriman, bertaqwa dan berbudaya yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Misi :

1. Melaksanakan Kurikulum Nasional yang diselaraskan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi

2. Memberdayakan siswa, guru dan pelaku pendidikan

3. Mengusahakan dan memanfaatkan anggaran pendidikan

4. Mengoptimalkan pengadaan dan memanfaatkan sarana dan prasarana pendidikan

5. Mewujudkan lembaga pendidikan yang dinamis, kreatif dan inovatif.

Adapun Maksud dan Tujuan Strategi Pembangunan Pendidikan Kota Batam antara lain :

(1) Merumuskan Visi, misi dan strategis pembangunan pendidikan kota Batam berdasarkan pada visi dan misi pembangunan kota Batam dan tujuan Pendidikan Nasional.

(2) Menjabarkan Visi, misi dan strategi pembangunan pendidikan kota Batam ke dalam bentuk program-program pembangunan yang relevan dengan situasi, kondisi, permasalahan dan potensi yang ada.

(3) Memberikan gambaran tentang kondisi secara umum mengenai Pendidikan kota Batam sebagai bagian dari upaya pencapaian Visi dinas pendidikan.

(4) Sebagai dokumen dasar perencanaan pembagunan bidang pendidikan yang dapat dijadikan acuan utama dalam menyusun program-program pembangunan pendidikan (Sumber : Profil Pendidikan Tahun 2006 Dinas Pendidikan Kota Batam).

Dari pemaparan Visi dan Misi Pendidikan kota Batam kita dapat melihat bahwa pendidikan belum menjawab tantangan masa depan terutama yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan adaptif. Pendidikan tampaknya dibebani dengan tujuan-tujuan yang bersifat teknis, seperti pembangunan fisik pendidikan. Beban teknis tersebut telah mengaburkan esensi pendidikan sebagai sarana pembebas dari belenggu kebodohan. Setidaknya, kita sulit menemukan perdebatan tentang arah dan kebijakan pendidikan. Kita juga tidak pernah mendengar perdebatan tentang model-model pendidikan partispatif, antisipatoris atau pun pendidikan emansipatoris. Yang ada hanya persoalan pembangunan fisik. Sebagai contoh, saat ini Pemerintah Kota Batam melalui Dinas Pendidikan kota Batam akan membangun sekolah unggul dengan biaya lebih-kurang Rp.31 miliar. Dengan kwalitas pendidikan yang pas-pasan saat ini apakah sekolah unggul tersebut beramfaat? Bukankah lebih tepat jika Dinas Pendidkan Kota Batam terlebih meningkatkan mutu pendidikan (baca; siswa dan guru) yang ada saat ini? Lagipula untuk membuat sekolah unggulan dapat berjalan sesuai dengan tuntutan program unggulnya diperlukan iklim belajar yang kondusif. Dinas Pendidikan Kota Batam sendiri sudah menyatakan bahwa ada lima permasalahan pendidikan yang dihadapi pemerintah yaitu : (1) Kondisi geografis kota Batam terdiri atas 212 buah Pulau dengan 92 buah pulaudiantaranya telah berpenghuni. Hal ini mempengaruhi rendahnya akses dalam bidang pendidikan ke daerah pulau tersebut. (2) Tingginya urbanisasi penduduk yang berimplikasi pada tidak meratanya penyebaran sarana dan prasarana pendidikan. (3) Belum optimalnya partisipasi masyarakat dalam upaya menumbuhkan iklim yang kondusif, bagi pemerataan dan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. (4) Masih kurangnya tenaga pengajar yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan yang diharapkan serta tuntutan kemampuan professional guru pada setiap jenjang pendidikan. (5) Masih kurangnya onfrastruktur pendidikan, pembangunan ruang kelas baru (RKB), ruang penunjang laboratorim perpustakaan (Sumber : Profil Pendidikan, Dinas Pendidikan Kota Batam 2006). Dari kelima permasalahan tersebut dapat kita simpulkan bahwa pembangunan sekolah unggul adalah kebijakan yang tergesa-gesa dan emosional.

Dialokasikannya 20% APBD untuk pendidikan di Provinsi Kepri dan Kota Batam menunjukkan bahwa Pemda Provinsi dan Pemko Batam memiliki komitmen yang tinggi atas Pendidikan. Namun di dalam pelaksanaannya ternyata alokasi anggaran pendidikan yang besar tersebut ternyata tidak diimbangi dengan peningkatan kwalitas pendidikan, baik itu bidang Sub-struktur, Infra-strukur, maupun Supra-strukturnya. Anggaran pendidikan kota Batam untuk tahun 2006 sebesar Rp.119.363.174.126,00,- ternyata belum mampu menjawab tantangan pendidikan, baik dari segi peningkatan kwalitas pendidikan maupun partispasi masyarakat. Setidaknya saat ini terdapat kekurangan tenaga pengajar sebanyak 1.277 orang dan lokal untuk belajar sebanyak 180 unit dari mulai tingkat SD hingga SMA (Batam Pos, Selasa 5 Juni 2007). Penggunaan anggaran pendidikan tampaknya tidak optimal, yang mana hal tersebut ditandai dengan terbatasnya ruang kelas baru untuk menampung sebanyak 3.374 siswa SD (Batam Pos, Sabtu 2 Juni 2007). Permasalahan lainnya yang sangat krusial adalah rendahnya tingkat kwalitas guru. Hal ini tercermin dari laporan hasil survey Abdul Malik, mantan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepri, terdapat 70,2 % guru tidak kualitatif (Sijori Mandiri, Jumat 8 Juni 2007). Permasalahan kwalitas dan ketersedian sarana dan prasarana penunjang kegiatan pendidikan akan semakin bertambah jika kita menghubungkannya dengan kondisi pendidkan di daerah Hinterland. Ketimpangan tampak nyata ketika kita membandingkan kondisi kwalitas dan kwantitas pendidikan antara daerah Mainland dengan Hinterland. Alokasi 20 % APBD untuk pendidikan ternyata tidak menjamin peningkatan kwalitas pendidikan.

Namun yang menjadi permasalahan utama bagi kita, khususnya di kota Batam- menurut hemat penulis- bukanlah terletak pada persoalan infrastruktur, melainkan terletak pada persoalan diabaikannya fungsi lembaga pendidikan sebagai sebuah sarana pembelajaran. Dengan kata lain pendidikan cenderung dianggap sebagai komoditi dagang yang dan menjadikan lembaga pendidikan berfungsi seperti “pasar pagi”, dimana kegiatan tawar-menawar menjadi sebuah keharusan. Sekolah menjadi badan usaha produk manufaktur, mulai dari menjual perlengkapan alat-alat sekolah, pembangunan gedung, sarana ekstra kurikuler hingga labelisasi standard internasional.

Hanya untuk belajar mengenal huruf A-B-C, belajar menggunakan seragam sekolah dan belajar baris-berbaris serta dibebani dengan biaya pembangunan sekolah para orang tua harus mengeluarkan jutaan, bahkan puluhan juta rupiah untuk dapat menyekolahkan anaknya! Padahal mahalnya biaya seragam dan gedung sekolah tak ada kaitannya dengan persoalan kecerdasan dan mutu pendidikan. Jenis pendidikan seperti ini mengingatkan kita atas apa yang pernah ditulis oleh Carl Philipp Moritz (1756-1793), seorang Jerman, ketika melakukan perjalanan ke Britania pada waktu itu: “Di sini bukannya tak biasa kita jumpai pintu-pintu (lembaga pendidikan, pen.) yang ditempeli berbagai tulisan berturut-turut:

· Menerima pendidikan anak-anak

· Menerima reperasi sepatu

· Menjual minuman keras inpor

· Melayani jasa pemakaman

Pendidikan seharusnya membebaskan siswa dari penindasan sekolah justru menjadi alat penindas yang menakutkan. Nilai-nilai humanisme di dalam pendidikan akhirnya terdistorsi oleh kepentingan “dagang” pengelola pendidikan. Dengan atas nama mencerdaskan kehidupan masyarakat (baca; siswa) lembaga pendidikan menjadi alat penindas itu sendiri, baik dalam pengertian ekonomi-politik maupun sosial-budaya. Pendidikan seperti ini cenderung mendehumanisasikan manusia karena cepat atau lambat akan menghasilkan produk yang menindas. Dalam bahasa Paulo Freire dikatakan manusia yang dididik dengan konsep penindasan akan berubah menjadi penindas kaum penindas. Dengan komersialisasi pendidikan dasar dan menengah seperti ini, tentu sulit bagi kita untuk berbicara tentang prinsip-prinsip keilmuan dan pembebasan masyarakat dari kebodohan. Pendidikan tanpa tanggungjawab dialektika pembebasannya adalah suatu bentuk pembodohan. Tugas dialektika pembebasan, demikian Herbert Marcuse katakan, berarti pembebesan dari sistem yang menindas, sistem yang buruk, sistem yang salah-entah itu sistem organik, sistem sosial, sistem mental maupun sistem intelektual”. Inilah titik pangkal yang menentukan: pembebasan yang lahir dari kontradiksi yang ada dalam sistem, yang terutama terjadi oleh karena sistem itu buruk dan salah. Jika keberadaan lembaga pendidikan mampu memainkan peranan strategisnya sebagai penggerak pembebasan dialektika maka keberadaannya patut untuk di dukung.

Pemerintah dituntut mampu mengawasi dengan benar penyelenggaraan pendidikan yang merugikan masyarakat terutama dalam hal komersialisasi pendidikan. Jika pemerintah tidak menyikapinya secara serius tentang komersialisasi pendidikan saat ini maka apa yang dikatakan oleh Bertrand Russel (1872-1970) dalam Sceptical Essay tentang pendidikan benar adanya, yaitu: “Kini kita dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal, bahwa pendidikan menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kecerdasan serta kebebasan berfikir”.

Sudahkah Pers Berperan dalam Bidang Pendidikan?

Secara umum peran Pers dalam hal pemberitaan tentang pendidikan sudah memadai terutama dari segi informasi. Setidaknya ada 3 jenis informasi peliputan Pers tentang Pendidikan, yaitu: 1. Menyangkut pembangunan infrastruktur pendidikan. 2. Menyangkut pelaksanaan program pendidikan. 3. Tentang kebijakan pendidikan. Dari ketiga peliputan tersebut, laporan tentang pembangunan infrastruktur pendidikan lebih dominan dibanding dengan yang lainnya. Namun satu hal yang patut diapresiasi adalah ketika Tribun Batam yang bekerjasasa dengan Telkomsel melakukan perjalanan dalam bentuk “Peduli Pendidikan Hinterland”. Perjalanan Pendidikan yang dilaporkan dalam 10 tulisan berturut-turut (mulai tanggal 25 Juli- 4 Agustus 2007) ini sangat membantu masyarakat untuk mengetahui apa dan bagaimana pendidkan di daerah Hinterland. Demikian juga halnya laporan Harian Batam Pos (5 dan 6 Juni 2007) yang berjudul “Kualitas Pendidikan di daerah Pesisir Batam” menambah informasi masyarakat tentang situasi dan kondisi pendidikan, khsusnya di daerah Hinterland.

Jika kita kaitkan dengan kondisi pendidikan di wilayah Mainland maka tampaklah perbedaan yang sangat menyolok. Namun dibalik perbedaan kondisi pendidikan antara Hinterland dan Mainland, sesungguhnya Pers ditantang untuk mampu melakukan peliputan investigasi tentang pelaksanaan pembangunan pendidikan di kota Batam khususnya dan Provinsi Kepri umumnya. Pers tidak cukup hanya menyampaikan laporan tentang kegiatan dan kondisi pendidikan, tetapi juga harus mampu memberikan perspektif atas kebijakan pendidikan, baik dalam rangka pengembangan model pendidikan maupun dalam konteks pemberdayaan masyarakat. Peran Pers di bidang Pendidikan akan menjadi lebih berat jika dikaitkan dengan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan terutama yang menyangkut penggunaan APBD untuk pendidikan.

Peliputan yang bersifat investigatif yang berkaitan dengan penyimpangan-penyimpangan proyek pendidikan sangat jarang dilakukan oleh Pers. Padahal, salah satu hambatan serius di dalam upaya pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan adalah terjadinya penyimpangan di dalam program pembangunan pendidikan. Akhirnya masyarakat selalu berada pada posisi yang dirugikan. Dalam percakapan panjang dengan Andre Malraux, Mao Tse-tung menyatakan, “Anda tahu, saya telah mempermaklumkan sejak lama bahwa kita harus mengajarkan kepada rakyat dengan segamblang-gamblangnya apa yang telah kita peroleh dari mereka secara samar-samar” Hal ini tentu berkaitan dengan tugas Pers, dimana informasi yang disampaikan kepada masyarakat harus jelas dan gamblang walaupun di dalam melakukan tugasnya wartawan mendapat bahan berita yang samar-samar.

Disamping perlunya peliputan Pers atas pelaksanaan program pendidikan dan pembangunannya, pers juga terlihat kurang memperhatikan tentang kecenderungan komersialisasi pendidikan di Batam. Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa modal pembangunan yang dikelola oleh lembaga pendidikan pada umumnya berasal dari siswa sekolah tersebut. Sementara Dinas Pendidikan yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pendidikan cenderung menutup mata atas komersialisasi pendidikan tersebut. Disamping tugas Pemerintah, Pers juga dituntut mampu mengawasi dengan benar penyelenggaraan pendidikan. Tanggungjawab ini menjadi penting karena kita menghadapi tantangan pendidikan yang berat. Apa yang dikatakan oleh Bertrand Russel (1872-1970) dalam Sceptical Essay tentang pendidikan menjadi bahan renungan kita bersama, yaitu: “Kini kita dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal, bahwa pendidikan menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kecerdasan serta kebebasan berfikir”.

Dari pemaparan singkat tentang peran pers dalam bidang pendidikan sesungguhnya banyak hal yang masih harus dikerjakan. Masyarakat menaruh harapan besar terhadap Pers ketika lembaga-lembaga yang seharusnya berfungsi mewakili kepentingan masyarakat gagal melaksanakan tugasnya. Mengingat pentingnya pendidikan, maka tidak berlebihan jika masyarakat berharap Pers dapat memainkan peran strategisnya di dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan. Karena kalau Pers menghindar dari tugas mulia tersebut maka kritik keras atas pers sebagaimana yang terjadi satu abad lalu (1859) akan terulang kembali.

Secara garis besar, kritik tersebut berbunyi :

1. Pers telah menggunakan kekuatannya yang perkasa hanya untuk kepentingan sendiri. Pemilik pers hanya mempropagandakan pendapatnya, terutama dalam masalah politik dan ekonomi, dengan mengorbankan pendapat yang bertentangan.

2. Pers telah menjadi alat pemuas bisnis-bisnis raksasa, dan pada suatu saat pers membiarkan pemasang iklan mengontrol isi redaksional sekaligus kebijaksanaan redaksionalnya.

3. Pers menolak adanya perubahan dalam masyarakat.

4. Pers lebih mengutamakan segi sensasi dangkal daripada segi-segi pentingnya peristiwa yang diliputnya (Theeodore Peterson, 1986).

(*) Uba Ingan Sigalingging, S.Sn

Pernah Mengajar di Universitas HKBP Nomensen Medan,

Ketua Forum Kerja Budaya dan

Ketua LSM Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar