Kamis, 11 Februari 2010

RUU ANTI PORNOGRAPHI DAN PORNOAKSI DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN

RUU ANTI PORNOGRAPHI DAN PORNOAKSI

DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, SSn.

(Ketua Forum Kerja Budaya Batam)

“Kalimat kita yang pertama tanpa ragu-ragu suatu maksud akan konsensus yang universal dan tidak dipaksakan” (J. Habermas)

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) yang saat ini digodok oleh Komisi VIII DPR RI mendapat tanggapan pro dan kontra dari berbagai elemen masyarakat. Bagi yang pro, RUU APP tersebut dapat mencegah atau mengatasi krisis moralitas yang sedang di alami bangsa kita. Disamping itu, RUU ini dipandang sejalan dengan semangat reformasi mentalitas masyarakat, terutama dalam hal perilaku sosial. Sebaliknya bagi kalangan yang kontra memandang bahwa RUU APP ini sarat dengan muatan politik dan menafikan keragaman budaya bangsa serta bertentangan dengan HAM. Dalam pandangan masyarakat yang kontra, kebebasan berekspresi (seni) dan aktivitas kebudayaan lainnya akan terancam karena RUU APP tersebut menutup ruang bagi terciptanya proses kreatif. Disamping itu, RUU APP ini dipandang tidak mencerminkan semangat emansipatoris terhadap peningkatan martabat perempuan di Indonesia.

Dibalik pro-kontra tersebut, penulis mencoba menyikapi secara kritis RUU APP melalui pendekatan budaya. Walaupun disadari terdapat ambiguitas mengenai konsep budaya yang kita kenal saat ini. Beberapa antropolog beranggapan bahwa budaya adalah perilaku sosial. Bagi yang lain, budaya sama sekali bukanlah perilaku, melainkan abstraksi perilaku. Bagi sebagian orang, kapak batu dan barang-barang keramik, tarian dan musik, mode dan gaya merupakan budaya. Sementara, tak ada objek material bisa menjadi budaya bagi orang lain. Dalam kesempatan ini penulis mencoba menggunakan pendapat tentang budaya dari antropolog Inggris, Sir E.B. Taylor (1832-1917) yang diambil dari baris-baris pembukaan bukunya, Primitive Cultures (1871) : “Budaya adalah kompleksitas dari keseluruhan hal yang, meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Naivitas Ke Monopoli Moralitas

Secara umum terlihat bahwa RUU APP cenderung mengobjektivasikan hal-hal yang bersifat subjektif. Namun, dari sekian banyak hal yang tidak jelas dan tidak pasti di dalam RUU APP itu, ada juga hal yang cukup pasti. Misalnya, setiap orang dewasa dilarang dengan sengaja telanjang di muka umum (Pasal 26); setiap orang dilarang melakukan masturbasi atau onani di muka umum (Pasal 29). Tapi siapa yang mau telanjang dan melakukan onani di muka umum? Kemudian ini: setiap orang dilarang menjadikan dirinya sebagai model aktivitas hubungan seksual antara orang dengan orang yang sudah meninggal, dan antara orang dengan hewan (Pasal 20). Lagi-lagi, siapa yang mau melakukan hubungan seksual dengan hewan dan orang yang sudah meninggal? Apakah pasal-pasal ini ditujukan untuk pejabat negara dan politisi korup yang karena kasus korupsinya membuat mereka seperti telanjang atau ditelanjangi dimuka umum?

Sebagaimana dikatakan Nursyahbani Katjasungkana (anggota Komisi III DPR RI), “bahwa dari sisi legal drafting, RUU APP itu sendiri melanggar UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembentukan UU. Penyusunannya tidak memenuhi standar ilmiah karena beberapa pengertian tidak didefinisikan secara jelas serta ada pencampuradukan pengertian antara seksualitas, erotika dan percabulan (obscenity). Perbuatan pidana yang dirumuskan juga asumtif dan multitafsir. Hal seperti ini tidak dapat dibenarkan dalam hukum pidana”. Argumentasi Pansus Komisi VIII DPR RI yang datang ke Batam bulan Maret 2006 lalu sungguh naif, mereka berbicara seakan-akan RUU APP tersebut sudah disahkan menjadi UU. Tampak sekali bahwa target politik lebih dominan daripada niat untuk membuat UU demi kebaikan. Karena “kebaikan tak punya deadline, tapi politik punya”, demikian bahasa Ayu Utami di Harian Kompas beberapa waktu lalu.

Secara politis, apa yang dilakukan oleh Pansus RUU APP sah-sah saja, karena DPR RI memang merupakan lembaga politik. Namun jika persoalan etika dan moralitas pribadi warga negara menjadi target UU tentu akan menimbulkan permasalahan yang berkempanjangan, sebab hal itu menyangkut privasi warga negara. Kecuali memang negara ingin menunjukkan kekuasaan yang tujuannya untuk memaksakan sistem nilai dan makna yang bersifat tunggal bagi seluruh warga negara. DPR RI seakan-akan tidak lagi punya agenda strategis yang lebih penting di dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sehingga terlalu naif jika permasalahan yang diluar domain kekuasaan politik, seperti cara berpakaian, ekspresi seni-budaya dicampuri oleh negara. Bukankah Pemerintah dan DPR lebih cerdas jika membuat RUU Anti Kemiskinan dan Kebodohan, sehingga keberadaan DPR RI benar-benar bermanfaat bagi masyarakat, terutama dalam mencerdaskan rakyat? Seharusnya DPR lebih memfokuskan dirinya untuk mendorong terciptanya tranformasi struktural dan kultural sehingga masyarakat mampu keluar dari belenggu kemiskinan dan kebodohan. Persoalan ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan peningkatkan kesejahteraan rakyat adalah tantangan terberat bangsa kita. Tantangan kemanusian ini digambarkan secara cerdas oleh Albert Camus yang mengatakan bahwa: “Sederhana saja, penyebabnya justru karena keadilan dan kesejahteraan telah kehilangan pelindungnya. Benar, keadilan dan kesejahteraan dijadikan janda dan harus pula ditambahkan dengan satu pernyataan kebenaran yang lain: “keadilan dan kesejahteraan adalah janda kita semua”. Kalau demikian halnya pastilah masyarakat kita belum benar-benar merdeka dari kemiskinan dan kebodohan.“Tanpa kemerdekaan, industri besar mungkin dapat disempurnakan, tapi keadilan dan kebenaran tidak”

Mestinya ke sasaran-sasaran masalah lebih besar dan lebih urgen serta koreksi diri itulah DPR mengerahkan waktu, energi, dan perhatian sebesar mungkin. Ada korelasi langsung antara kanker megakorupsi di kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif dengan merajalelanya apa yang disebut “pornografi” dan “pornoaksi” itu- dua-duanya bersumber pada parahnya impunitas, kerdilnya rule of law, dan melimpahnya teladan korup-hina dari petinggi negara. Berdasarkan laporan International Transparency Report 1998-2004 Indonesia selalu juara di dalam peringkat negara terkorup dunia (pada tahun 1998 Indonesia menduduki peringkat ke 6 terkorup dari 85 negara dunia, tahun 1999 menempati peringkat ke 3 negara terkorup dari 98 negara dunia, lalu tahun 2000 Indonesia mendapat peringkat ke 5 negara terkorup dari 90 negara, tahun 2001 peringkat ke 4 dari 91 negara, tahun 2002 ke 6 dari 102 negara, tahun 2003 menduduki peringkat ke 6 dari 133 negara, dan tahun 2004 Indonesia “berhasil” duduk diperingkat ke 5 negara terkorup dari 146 negara dunia).

Di dalam konteks RUU APP ini, apa yang disinyalir Wapres M. Jusuf Kalla baru-baru ini terkait dengan buruknya kwalitas DPR mendapat pembenaran, yaitu tiadanya kompetensi atau ketercerahan intelektual pada banyak anggota DPR dalam menyusun undang-undang. Tiadanya ketercerahan intelektual-atau tiadanya kompentensi untuk melihat masalah secara komprehensif-pada para penggagas dan penyusun RUU APP terbaca : tatkala mereka menafikan ke anekaragaman subkultur bangsa kita dan dengan begitu mengusik solidaritas nasional. Ia melecehkan kedewasaan moralitas bangsa kita pada umumnya dan sekaligus menciutkan ruang ekspresi serta dinamika kreativitasnya. Ia menyumpekkan kiprah kelompok-kelompok minoritas, kalangan terdidik, dan kaum perempuan, bukan hanya lantaran emansipasi pascakolonial, melainkan karena kaum perempuan Asia Tenggara memang sudah berkiprah sejajar dengan kaun lelaki paling tidak sejak lima-enam abad lampau (Reid, 1998; Lombard, 1990; Pelras, 1996)

Seharusnya perangkat-perangkat hukum yang sudah ada seperti KUHP, UU Pers, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), UU Perfilman, UU No. 9/1990 Tentang Kepariwisataan, UU Perlindungan Anak, cukup untuk mengatur permasalahan pornografi dan pornoaksi. Namun, kelihatannya DPR ingin mengatur dan menyeragamkan cara berfikir warga masyarakat, yaitu dengan cara menentukan sistem nilai dan makna tentang yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah melalui RUU APP. Ini jelas merupakan sebuah pengingkaran terhadap rasionalitas berfikir yang sehat. Hal ini menjadi tantangan serius karena “dengan kekakuan monopoli moralitasnya, RUU APP, dalam bentuk revisi drastis sekalipun, tetap akan menggiring bangsa kita ke malapetaka perbenturan politiko-kultural yang-mengingat rubungan masalah politik, ekonomi, dan psiko-kultural bangsa kita saat ini- amat sangat berbahaya” (baca; Mochtar Pabottinggi, Majalah Tempo 16 Maret 2006)

Membongkar Kebekuan Berfikir

“Asumsi pendekatan kultural di dasarkan pada pertimbangan teori kebudayaan, bahwa sistem nilai mempengaruhi pembentukan sistem simbol, dan sistem simbol itu pada akhirnya mempengaruhi sistem-sistem sosio-kultural” (Kuntowijoyo).

Kita semua telah maklum bahwa transformasi budaya menyangkut dua jalur transformasi besar yang saling berkaitan. Yaitu transformasi budaya kita yang menarik budaya etnik ke dalam tatanan budaya negara-kebangsaan, serta transformasi kita yang menggeser budaya agraris tradisional ke tatanan budaya industri modern. Transformasi budaya yang pertama adalah konsekuensi dari komitmen kita untuk bersedia bersatu bernaung dibawah satu negara-kebangsaan yang berbentuk satu republik kesatuan. Yang kedua adalah konsekuensi dari komitmen untuk mengubah sistem ekonomi pertanian tradisional menjadi suatu sistem ekonomi industri dan perdagangan. Pada jalur transformasi budaya etnik menjadi budaya negara-kebangsaan tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan kondisi yang sehat serta menguntungkan bagi terciptanya dialog budaya antar nilai-nilai etnik dengan nilai-nilai negara-kebangsaan.

Adapun nilai-nilai etnik adalah nilai-nilai tradisional yang diwarisi oleh lingkungan etnik dari pemantapan struktur masyarakat-masyarakat yang mendahului mereka. Sedang nilai-nilai negara-kebangsaan adalah nilai-nilai kontemporer yang diletakkan oleh persyaratan minimal untuk membangun sosok struktur negara kebangsaan tersebut. Namun persoalannya adalah: dapatkah dibayangkan suatu kondisi dialog yang bersemangat, demikian pemikiran Umar Kayam pada Pidato Kebudayaan di TIM Jakarta tahun 1989, “to take and give yang sehat antara masyarakat etnik dengan negara-kebangsaan? “Kondisi yang timpang dan tidak sejajar dari berbagai sistem nilai tradisional yang disebabkan oleh tidak sejajarnya laju pertumbuhan budaya, sosial, ekonomi, maupun populasi dari masyarakat-masyarakat etnik cenderung mendorong terciptanya ketimpangan dan ketidak-sejajaran dialog, baik antara masyarakat-masyarakat etnik maupun antara masyarakat etnik dengan negara kebangsaan.

Pada bagian lainnya kita melihat bahwa heterogenitas budaya bangsa Indonesia kerapkali dijadikan alasan-alasan penghambat bagi kemajuan. Padahal berbagai bentuk entitas budaya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia seharusnya dapat saling melengkapi satu sama lain guna melakukan kerja kebudayaan seara luas. Kenyataannya, kita cenderung menghindari setiap pembicaraan tentang kebudayaan baik sebagai jalan hidup (way of life), pandangan hidup (view of life) maupun sebagai sistem nilai dan makna. Bukankah seluruh aspek kehidupan yang berkaitan dengan kerja tekhnologi, ekonomi, sosial-politik, budaya dan pendidikan adalah merupakan bagian dari kebudayaan? Keunggulan bangsa Jepang yang sangat membingungkan bangsa-bangsa maju misalnya, justru lebih disebabkan oleh kemampuan mereka melakukan tranformasi budaya, dimana prinsip-prinsip semangat hidup dan semangat berkompetisi menjadi landasan hidup masyarakatnya. Pada akhirnya mereka tiba pada kesimpulan bahwa keberhasilan Jepang tidak dapat ditiru oleh bangsa-bangsa lain, karena faktor-faktor bagi suksesnya Jepang yang paling fundamental ternyata terletak pada tata nilai dan kebudayaannya.

Kebijaksanaan Lokal

Ketika Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah bergulir, maka ketika itu pula harapan masyarakat untuk bebas dari berbagai bentuk kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi, dan belenggu budaya. Harapan tersebut tidak terlepas dari latarbelakang sejarah politik Indonesia di masa pemerintahan diktator Soeharto; yang memperlakukan keseragaman nilai sebagai dasar dari politik kebudayaannya. Melalui keseragaman sistem nilai maka terciptalah jargon politik yang sangat sakral dan sakti, yaitu “Persatuan dan Kesatuan”.

Secara etimologis, kedua kosa-kata tersebut berasal dari kata dasar sama, yaitu “satu”. Di dalam prakteknya, jargon tersebut secara nyata mengabaikan keragaman nilai-nilai budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat mulai dari Sabang sampai Merauke. Konsep dan praktek pembangunan-isme yang didengung-dengungkan rejim Orba tidak saja gagal membebaskan manusia Indonesia dari belenggu kemiskinan, baik yang bersifat struktural dan kulturalnya, namun juga membunuh keragaman nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh berbagai suku-bangsa di Indonesia. Bahasa politik kita tidak mengenal istilah budaya tandingan (counter-culture) yang dapat digunakan sebagai penyeimbang atas hegemoni politik kebudayaan selama Orba berkuasa. Padahal satu-satunya harapan yang dimiliki masyarakat yang dapat membebaskan mereka dari belenggu struktural dan kultural berbagai bentuk ketidakadilan adalah kebudayaan, baik dalam pengertian ekspresi seni-budaya maupun dalam rangka aktualisasi kebebasan dan kemerdekaannya. Itulah sebabnya ketika UU Otonomi daerah digulirkan muncul semangat kedaerahan, apakah itu dalam bentuk ekspresi seni-budaya, maupun yang berkaitan dengan tuntutan kewenangan serta hak-hak yang berada di wilayah sosial-ekonomi dan sosial- politik.

Kita melihat bahwa saat ini ada keberanian dari masyarakat untuk mengekspresikan serta mengaktualisasikan identitas kedaerahannya tanpa dibayangi rasa takut akan berurusan dengan fihak yang berwajib (baca; penguasa militer setempat). Keberanian mengekspresikan diri yang bersifat kedaerahan ini jika disikapi secara rasional dapat mendorong kreativitas masyarakat terutama dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan agenda kerja kebudayaannya. Otonomi Daerah memungkinkan masyarakat untuk mereaktulisasi, merevitalisasi, merekonstruksi, meredefinisikan dan meropisisi kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai, makna, simbol, bentuk-bentuk dan semangat kebudayaan daerahnya. Hal-hal tersebut sangat penting dilakukan karena tatanan nilai dan makna pada akhirnya akan berhadapan dengan tantangan kebaruan dan semangat jaman. Sebagai contoh, kita tidak menemukan adanya kegiatan kaum perempuan di provinsi Kepri untuk mengkaji semangat emansipotoris yang terkait di dalam pemikiran dan perjuangan Engku Putri Raja Hamidah. Kita tidak melihat adanya upaya merevitalisasi, dan merekonstruksi serta meredefinisikan semangat perjuangan Engku Putri Raja Hamidah, sehingga menjadi pedoman di dalam menjawab tantangan jaman. Padahal kita kebesaran Engku Putri Raja Hamidah dan perjuangan emansipasitorisnya justru lahir di dalam situasi yang sulit pada masa penjajahan Belanda.

Disnilah agenda kerja kebudayaan yang akan dilaksanakan (baca; pembangunan secara holistik) mengacu kemasa depan. Walaupun di dalam praktek kebudayaan, membangun kesadaran masa depan ternyata jauh lebih sulit dibandingkan dengan membangun monumen kebudayaan tentang masa depan itu sendiri. Karena untuk membangun kesadaran masa depan diperlukan preferensi kultural dan rasionalisasi dalam hal tindakan komunikasi. Preferensi kultural tersebut merupakan sebuah keharusan karena ia membongkar keterbatasan-keterbatasan kognitif dan sekaligus membuka jalan terciptanya sebuah proses adaptif terhadap perubahan yang diharapakan.

Makna Perbedaan

Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai bentuk pemaksaan dari negara. Apabila pluralitas sekedar mepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan dan diperlukan sama oleh negara.

Jika RUU APP mensyaratkan keseragaman maka perbedaan merupakan syarat atas prinsip-prinsip keragaman. Kita sudah melihat uraian di atas tentang RUU APP yang cenderung mengobjektivasikan hal yang bersifat subjektif. Disinilah kita perlu mendapatkan gambaran tentang prinsip-prinsip keragaman yang sejak ratusan bahkan ribuan tahun telah mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Ada tiga hal penting yang berkaitan dengan landasan kehidupan sosial-budaya masyarakat kita yaitu, 1.Pluralitas (Plurality), 2. Keragaman (Diversity), 3. Multikultural (Multicultural). Ketiga unsur itu sesungguhnya tidak mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ‘ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih dari satu’, keragaman menunjukan bahwa keberadaan yang ‘lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Didalam konteks pariwisata, sesuatu yang berbeda itu menjadi keharusan karena ia membuka jalan bagi keragaman budaya. “Hakikat kepariwisataan-demikian I Gede Ardika (mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata)-adalah berdasar pada keunikan, kekhasan, dan perbedaan. Tanpa adanya perbedaan, tak mungkin ada kepariwisataan. Tanpa adanya yang unik, berbeda dan bersifat lokal, tidak akan ada orang yang akan melakukan perjalanan. Uniformitas, penyeragaman, akan mematikan kepariwisataan” (Kompas Sabtu, 4/4/06).

Kesepahaman dalam menyikapi adanya keragarman budaya akan menjadi stimulus bagi peningkatan daya produktivitas dan kreativitas masyarakat jika keragaman tersebut ditempatkan secara proporsional, baik dalam kehidupan sosial maupun di dalam konteks pembangunan. Itulah sebabnya kita tidak bisa menafikan bahwa Republik ini dibangun di atas pondasi keragaman budaya sehingga diperlukan keberanian dan ketekunan untuk terus-menerus menjaganya agar kita tidak menjadi bangsa yang kehilangan kebudayaannya. Namun, mengingat luasnya dimensi kebudayaan sehingga diperlukan suatu poses komunikasi dan ruang dialog dimana pembicaraan tentang berbagai isyu-isyu kebudayaan dapat dilakukan secara menyeluruh. Tindakan komunikasi itu sendiri akan berperan dalam tiga fungsi, yaitu: perkembangan pemahaman bersama, meningkatkan integrasi sosial dan solidaritas serta sosialisasi sebagai pembentukan identitas diri. Komponen-komponen struktural yang berkaitan dengan tiga fungsi tersebut adalah kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian. Ketiga fungsi ini dapat dikatakan sebagai fungsi komunal karena akan mengacu pada integrasi sosial, peranan konsensus, kooperasi, dan komunikasi. Di dalam konteks inilah diperlukan adanya sebuah penyikapan yang cerdas dan rasional terhadap RUU APP karena hal ini tidak saja menyangkut eksistensi kebudayaan tetapi juga berkaitan dengan pemahaman tentang keragaman budaya itu sendiri. Bukankah menafikan keragaman budaya itu sama dengan mengatakan bahwa NKRI adalah sebuah utopia?

(Catatan : Tulisan dengan Judul “Kontroversi RUU APP Dalam Perspektif Kebudayaan” adalah makalah Penulis dalam “Dialog Kebudayaan” tentang RUU APP yang dilaksanakan pada tanggal 26 April 2006 di Batam oleh Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Tj. Pinang).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar