Kamis, 11 Februari 2010

TUAN! RAKYAT BUKAN TUMBAL DEMOKRASI

TUAN! RAKYAT BUKAN TUMBAL DEMOKRASI

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

Ketua LSM - Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)

Apa yang salah dari sisi moral tidak pernah bisa benar dari sisi politik. (Abraham Lincoln).

Pemilihan Umum (Pemilu) tidak lama lagi, semua Calon Legislatif (Caleg) berebut simpati rakyat agar dalam Pemilu Tanggal 9 April 2009 nanti mendapatkan suara yang besar sehingga bisa duduk di kursi empuk sebagai anggota Legislatif, baik di daerah maupun di Pusat. Berbagai cara mengkampanyekan diri dilakukan oleh masing-masing Caleg, dari sekedar memperkenalkan hingga menyampaikan jargon-jargon poltik yang tentunya diharapkan dapat mempengaruhi persepsi rakyat atas diri Caleg tersebut. Yang menarik untuk disimak didalam konteks kampanye para Caleg saat ini adalah penggunaan kata-kata “Rakyat” sebagai mantra politik. Rakyat menjadi pusat gravitasi Caleg dalam meperebutkan suara pada Pemilu 2009. Para Caleg seakan-akan berlomba untuk menghormati Rakyat.

Bertaburnya spanduk, banner, dan baliho caleg di setiap sudut jalan sama sekali tidak memberikan gambaran kepada Rakyat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana para Caleg untuk membebaskan Rakyat dari penindasan, kebodohan dan kemiskinan. Kita berharap bahwa pesan politik yang disampaikan dengan berbagai bentuk sarana komunikasi seharusnya memberikan jawaban terhadap tantangan atas peningkatan kwalitas hidup manusia. Disatu sisi, demokrasi mengandung makna emansipatoris untuk tujuan perubahan agar keadilan yang menyangkut kebebasan, persamaan dan persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) dapat terwujud. Disisi lain, Rakyat tidak mendapatkan sesuatu untuk menambah dan meningkatkan pemahaman tentang demokrasi dari bertaburnya alat peraga kampanye tersebut. Praktek kampanye saat ini menjelma menjadi tirani spanduk yang melanggar hak-hak masyarakat untuk mendapat kenyamanan di ruang publik dan sekaligus merusak estetika kota. Demokrasi menjadi sebuah arena pertarungan “kata-kata” tanpa makna.

Terkait dengan hal tersebut diatas, muncul pertanyaan kritis: Dapatkah para Caleg memberikan pendidikan politik kepada Rakyat sementara Partai Politiknya sendiri gagal melakukan pendidikan politik bagi anggota partainya? Bagaima Rakyat menjadi tujuan perjuangan kebanyakan para Caleg jika pemaknaan atas Rakyat tidak lebih dari sekedar “kata benda” yang dimanipulasi dan diperjualbelikan demi kekuasaan? Mungkinkah Rakyat dihormati jika di dalam upaya mencapai target politiknya kebanyakan dari para Caleg tersebut menghabiskan banyak waktunya untuk menyembah dan menjilat penguasa? Jika sejak awal Caleg sudah menyembah membungkuk-bungkukkan dirinya di depan penguasa yang koruptif, lantas bagaimana dia menyampaikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat sebagai Tuannya? Bukankah perilaku manipulatif bertentangan dengan prinsip-prinsip Demokrasi yang mengatakan bahwa “suara Rakyat adalah suara Tuhan” (Vox populi vox Dei)? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong kita untuk melahirkan komitmen bersama bahwa demokrasi itu sesungguhnya adalah “dari dan untuk (kepentingan) Rakyat.

PARASIT DEMOKRASI

Gagalnya Partai Politik menjalankan fungsi pendidikan politiknya memiliki implikasi serius terhadap komitmen kerakyatan para Caleg yang akan bertarung memperebutkan kursi pada Pemilu 2009 nanti. Ketika Partai Politik kehilangan landasan rasional di dalam menerjemahkan nilai dan makna demokrasi, maka ketika itu pula para Caleg yang mewakili Partainya dalam Pemilu kehilangan makna pembebasannya. Demokrasi menjadi tanpa substansi. Caleg bertarung tanpa tujuan karena berada diruang hampa dengan slogan kosong kerakyatannya. Tidak mengherankan jika saat ini sebagian besar para Caleg terjebak pada demokrasi permukaan yang hanya mengutamakan tampilan atau visualisasi diri. Pemilu menjadi arena kontes wajah dan pameran kata-kata omong kosong. Tidak ada program dan pertanggunjawaban publik tentang keberpihakan kepada Rakyat. Kita tidak pernah mengetahui kwalitas para Caleg karena substansi, yaitu kinerja in actu, keberpihakan pada rakyat, dan komitmen konkret terhadap prinsip pemerintahan yang demokratis dan terbuka.

Buruknya kinerja kebanyakan anggota legislatif yang saat ini masih duduk di lembaga Legislatif, DPRD kota Batam dan DPRD Provinsi Kepri patut menjadi acuan untuk meningkatkan kwalitas anggota Legislatif di masa yang akan datang. Lihat saja misalnya, bagaimana DPRD kota Batam yang dengan gagahnya menyetujui kenaikan tarif air dan tarif listrik padahal kita semua bahwa PT. ATB selaku perusahaan pengelola air minum dan Perusahaan Listrik Nasional (PLN) Batam mengalami keuntungan yang besar. Kebijakan politis DPRD Batam seringkali tidak mewakili kepentingan rakyat pada umumnya. Hal ini terjadi mungkin karena tidak adanya transparansi dalam komunikasi politik oleh sebagian besar anggota DPRD. Pelibatan masyarakat dalam memutuskan kebijakan publik hanya kamuflase agar DPRD dipandang demokratis. Dalam hal ini menarik untuk menyimak ulasan Robert Dahl dalam bukunya Polyarchy : Partisipation and Oppposition, tentang apa yang harus dijamin oleh penguasa/pemerintah agar rakyat diberi kesempatan untuk: pertama, merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; Kedua, memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan ketiga, mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasarkan isi atau asal-usulnya.

Studi banding dan kunjungan kerja dilakukan oleh anggota dewan kita yang terhormat ke daerah Sragen, Sinjai, Purbalingga, Bandung, Belitung Timur, Blitar, Lamongan, Gorontalo. Bahkan studi banding atau pun kunjungan kerja di lakukan ke Kabupaten Jembrana yang sejak tahun 2001 telah melakukan kebijakan anggaran untuk rakyat miskin (Pro Poor Budgeting). Tetapi hasil dari studi banding dan kunjungan kerja tersebut nihil. Tidak ada agenda reformasi birokrasi di Pemko Batam, tidak ada kebijakan efisiensi anggaran sebagai konsekuensi studi banding dan kunjungan kerja tersebut. Justru yang terjadi sebaliknya di Pemko Batam, pembuatan KTP bermasalah, pengelolaan sampah dan pasar induk berantakan. DPRD gagal mendorong Pemko Batam untuk melakukan reformasi birokrasi serta mewujudkan prinsip-prinsip good government dan clean governance. Satu-satunya prestasi yang menonjol dari Pemerintah kota Batam adalah menaikkan kurang-lebih 40% APBD untuk anggaran belanja aparaturnya. Anehnya, tahun 2008 tersisa dana lebih dari 180 milyar rupiah dana pembangunan yang gagal diserap Pemerintah kota Batam. Bukankah uang sebesar itu seharusnya dapat mengatasi kemiskinan di kota Batam? Demikian halnya dengan DPRD Provinsi Kepri tidak memiliki sense of crisis ketika beramai-ramai menyetujui pembangunan pusat pemerintahan di Dompak yang menelan biaya hampir 2 Triliun rupiah. Terserapnya sebagian besar anggaran untuk pembangunan tersebut tidak saja menguras anggaran tetapi juga mengabaikan peningkatan kwalitas hidup rakyat di wilayah provinsi Kepri. Membangun kantor gubernur adalah penting, akan tetapi menghabiskan anggaran lebih-kurang 2 Triliun rupiah pastilah menimbulkan tanda tanya besar. Bagaimana mungkin daerah yang baru berdiri sebagai provinsi menghabiskan kira-kira 40% dana dari APBD untuk membangun pusat pemerintahan. Hal ini belum termasuk anggaran untuk belanja aparatur. Lantas kita dihadapkan kepada sebuah pertanyaan serius, berapa alokasi anggaran untuk belanja publik yang di alokasi pemerintah provinsi Kepri untuk rakyatnya? Kalaupun sekarang anggaran untuk pusat pemerintahan dikurangi hingga mencapai lebih kurang 1, 3 triliun rupiah, tetap saja tidak menambah anggaran untuk belanja publik. Sementara pembangunan untuk rehabilitasi dan pengembangan Pulau Penyengat sebagai pusat keagamaan dan kebudayaan tak kunjung dilaksanakan. Padahal keberadaan Pulau Penyengat berada di depan mata anggota DPRD Provinsi yang terhormat itu. Sulit untuk membantah pendapat yang mengatakan bahwa semakin besar belanja sebuah proyek pembangunan akan semakin besar pula “fee” yang akan diterima oleh fihak-fihak tertentu untuk mengamankan proyek tersebut.

Ketidakberfihakan sebagian besar anggota legislatif kepada rakyat menjadi kontraproduktif atas penerapan otonomi daerah dan desentralisasi kebijakan pembangunan. Padahal sebagian besar anggota dewan yang terhormat itu mengetahui bahwa desentralisasi seharusnya membawa tujuan-tujuan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan yang lebih dekat pada masyarakat lokal. Tetapi sangat disayangkan, tujuan-tujuan desentralisasi dipas­tikan terancam gagal ketika diserobot oleh barisan elite yang kuat, sebab tindakan itu memotong jalur delivery kebijakan redistributif dan menutup akses ekonomi-politik masyarakat terutama kaum miskin dan kelompok-kelompok marginal.

Sikap kritis Rakyat terhadap elit-elit penguasa menjadi sebuah keharusan karena “Negara bukan hanya berkarakter pemangsa (predatory) tetapi juga soft karena institusi negara digerogoti oleh penyerobotan elite (elite capture) melalui politik patronase yang mengakar. Elite capture hadir dalam bentuk korupsi (mencuri uang negara), berbagai aktor-aktor dalam negara membuat kebijakan dan kegiatan yang menguntungkan mereka, maupun kebijakan yang kon­tradiktif dengan hak-kepentingan kaum miskin maupun kelompok-kelom­pok marginal” (Sutoro Eko, Pro Poor Budgeting : Politik Baru Reformasi Anggaran Daerah untuk Pengurangan Kemiskinan. Institut for Research and Empowerment (IRE) Yogyakarta, 2008).

Negara pemangsa (predatory state) yang dipertontonkan para elit politik melalui kebijakan manipulatif yang memiskinkan rakyat menjadi sebuah ancaman serius terhadap demokrasi. Disinilah parasit demokrasi berperan dalam pemiskinan rakyat dan gagal mendorong terciptanya pembangunan partisipatoris, dimana rakyat sebagai subjek pembangunan. Parasit demokrasi tidak saja memarjinalkan rakyat dan menjadikannya tumbal demi kekuasaan, tetapi pasti merusak tatanan etika dan moralitas politik. Bukankah etika dan moralitas politik berada di atas undang-undang? Kegagalan dalam mempertanggungjawabkan kepercayaan Rakyat merupakan pembenaran atas kutipan di awal tulisan bahwa Apa yang salah dari sisi moral tidak pernah bisa benar dari sisi politik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar