Kamis, 11 Februari 2010

PEMILU DAN TRANSFORMASI POLITIK

PEMILU DAN TRANSFORMASI POLITIK

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

Ketua L S M Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)

Dilaksanakannya pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999 dan tahun 2004 menjadi dasar untuk melaksanakan konsolidasi demokrasi, baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Rangkaian Pemilu yang di ikuti oleh ratusan pemilihan di tingkat daerah sejak tahun 2005 menujukkan bahwa Indonesia menjadi sebuah Negara yang stabil dengan sistim pemerintahan yang demokratis dan terdesentralisasi. Konsolidasi demokrasi tersebut sekaligus membuka ruang bagi berkembangnya kebebasan pers, dilakukannya reformasi institusi-institusi hukum dan restrukturasi institusi-institusi politik untuk menjadikan pemerintah lebih demokratis dan bertanggungjawab. Keberhasilan konsolidasi demokrasi ini, mendapat pujian dari Freedom House pada tahun 2007, yang menyebutkan Indonesia sebagai satu-satunya Negara yang sunggguh-sungguh bebas dan demokratis di Asia Tenggara dewasa ini.

Perubahan-perubahan signifikan dalam sistim pemilihan dan konstitusi pada beberapa tahun terakhir ini menjadi bagian dari proses reformasi yang telah mengubah sistim pemerintahan dan cara keterwakilan rakyat Indonesia, dari suatu sistim dimana para pemimpin politik tampil dari antara segelintir orang menjadi suatu demokrasi yang terbuka dan representatif. Namun berbagai bentuk perubahan konfigurasi politik, struktur sosial, tata ekonomi, demokratisasi jika dikaitkan dengan agenda reformasi ternyata masih jauh dari harapan. Satu dekade perombakan yang dilancarkan selama ini, ternyata belum menjangkau substansi perubahan; yakni mewujudkan demokrasi politik dan kesejahteraan rakyat. Meminjam istilah Doktor Yudi Latif, rakyat merdeka tapi tidak sejahtera. Bahkan, sejumlah indikasi yang menujukkan kian merosotnya kwalitas demokrasi tampak semakin nyata. Sebut saja misalnya, kekuasaan yang cenderung korup sebagaimana terjadi di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif serta makin meruncingnya sengketa antar kelompok (dalam arena politik) yang bermuara pada kekerasan dalam penyelengaraan momentum Pilkada yang dianggap sebagai episode proses demokrasi. Disisi lain, Indonesia telah memiliki suatu demokrasi yang lebih partsipatif, namun layanan-layanan bagi masyarakat masih kurang. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan yang jujur dan adil pun belum menyebabkan peningkatan yang signifikan dibidang kesehatan, pendidikan, dan penciptaan lapangan kerja.

Kegagalan elit politik di dalam menjalankan amanat demokrasi, baik di pusat maupun di daerah melahirkan reaksi keras berupa ketidakpercayaan (distrust) masyarakat pada arus perubahan yang terselenggara dalam skema “seolah-olah demokrasi”. Konsolidasi demokrasi yang dilakukan saat ini tidak dimbangi dengan terciptanya aparatur Negara yang bersih dari korupsi. Jika krisis kepercayaan politik yang berimbas pada keretakan sosial ini dibiarkan berlarut-larut, maka bangsa ini sedang mengalami masalah serius yakni ancaman kebangkrutan (Arie Sujito, Membangkitkan Optimisme Perubahan, IRE Yogyakarta, 2008).

Kecenderungan Pemilu hanya untuk mencari kekuasaan dengan mendudukkan orang sebanyak-banyaknya di lembaga legislatif tidak akan mampu menjawab tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini. Jika Pemilu hanya untuk mendudukkan orang di lembaga legislatif tanpa mempertimbangkan peningkatan kwlitas, baik dari sisi keanggotaan maupun kelembagaan hanya akan membuat demokrasi berjalan ditempat. Bercermin dari kinerja lembaga legislatif kota Batam saat ini yang hanya disibukkan oleh persoalan studi banding, kunjungan kerja namun gagal memperjuangkan kepentingan masyarakat secara luas adalah suatu bukti lemahnya kinerja lembaga tersebut. Disisi lain, masyarakat tidak mendapatkan jaminan dari partai politik bahwa demokrasi yang dijalankan melalui Pemilu akan menciptakan perubahan signifikan yang dapat menjawab berbagai persoalan strultural dan kultural saat ini. Sebut saja misalnya tentang masalah kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja serta pengembangan budaya.

Untuk dapat menjawab keraguan masyarakat atas peran partai politik maka ransformasi politik menjadi sebuah keharusan karena ia merupakan faktor penting untuk menjawab tantangan pembangunan dewasa ini. Ketidakmampuan partai politik menerjemahkan transformasi politik tersebut disamping memperburuk wajah demokrasi, tetapi juga akan membuat Pemilu hanya sekedar lipstick demokrasi yang pada akhirnya akan menghasilkan anggota legislatif berkwalitas rendah dan menjadi beban masyarakat.

Secara umum pengertian transformasi politik adalah perubahan – konsep, bentuk, fungsi dan sifat – politk untuk menyesuaikan dengan konstelasi dunia. Dalam Pemilu 2009, transformasi politik akan dipahami sebagai sebuah perubahan yang diarahkan untuk tujuan tertentu. Dengan demikian pengertian itu dapat diperoleh pemahaman bahwa perubahan politik yang bersifat transformatif adalah perubahan yang direncanakan dan disengaja untuk tujuan tertentu tersebut. Pertanyaannya, apakah partai politik melakukan transformasi politik sebagai upaya untuk mensejaterakan rakyat? Didalam konteks inilah kita berharap Pemilu, khususnya di Batam dapat memberikan pencerahan politik bagi rakyat dan sekaligus mendorong terjadinya perubahan yang secara signifikan meningkatkan kesejahteraan dan kwalitas hidup masyarakat. Partai politik yang mengikuti Pemilu 2009 dituntut melakukan transformasi politik sebagai agenda politiknya sehingga mampu menjamin tuntutan atas terciptanya perubahan substantif sebagaimana yang diharapkan masyarakat. Tanpa adanya konsep perubahan yang ditawarkan oleh partai politik, maka partai politik akan terjebak pada status quo yang hanya mengejar kekuasaan tanpa dapat mensejahterakan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar