Kamis, 11 Februari 2010

PARASIT DEMOKRASI : DARI RAKYAT UNTUK ATB DAN OB

PARASIT DEMOKRASI :

DARI RAKYAT UNTUK ATB DAN OB?

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua LSM Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)

“Kalau sehelai rambut memisahkan yang salah daripada kebenaran, maka yang salah itu masih bukan kebenaran” (Ohmar Kayam, pemikir besar bangsa Arab)

Dalam kehidupan bernegara kita melihat demokrasi yang dibangun seringkali melangkah diruang hampa. Demokrasi sebagai sarana pembebas selalu dibebani oleh pelaku-pelaku demokrasi yang culas dan cenderung menjadi parasit bagi masyarakatnya. Pemahaman tentang tujuan demokrasi yang sangat terbatas, terutama dari sisi pilosofinya bukan saja mengaburkan makna demokrasi “dari dan untuk rakyat” tetapi juga merusak tatanan nilai-nilai kemanusian yang mendasari demokrasi tersebut. Misalnya, para politisi dan birokrat (yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif) seakan tidak memiliki tanggungjawab, baik moral maupun konstitusional dalam membebaskan rakyat dari ketertindasan, kebodohan dan kemiskinan. Kesan menjerumuskan rakyat begitu kuat manakala kepentingan pribadi dan kelompok menguasasi sepak terjang pelaku demokrasi. Sering pula kita menyaksikan demi atas nama investasi rakyat di korbankan sebagai persembahan kepada siluman (baca; kapitalisme). Memanipulasi kebenaran dan menjual rakyat atas nama peningkatan investasi tidak lagi dipandang sebagai perusakan atas nilai-nilai kemanusiaan yang bermoral dan bermartabat, melainkan menjadi sebuah permainan yang mengasyikkan bagi para elit kekuasaan.

Secararsamar-samar kita mendengar suara, khususnya dari kalangan politisi di legislatif dan para birokrat di eksekutif yang berbunyi, “jangankan uang panas, uang mendidih pun diambil”. Lantas rakyat bagaimana? Rakyat itu hanya persoalan statistik! Disini, demokrasi menjadi absurd bukan karena ia sulit difahami atau dimengerti, tetapi disebabkan oleh berubahnya lembaga demokrasi menjadi mesin-mesin irasionalitas yang tidak mampu lagi menggunakan rasio dan akal sehat; tidak dapat berfikir panjang ke depan; tidak cakap melakukan kalkulasi, perhitungan, atau prediksi terencana untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif. Kondisi ini diperburuk lagi dengan ketiadaan otoritas intelektual dan moral para pelaku demokrasi. sehingga praktek demokrasi mengacu kepada prinsip darwinisme- yang kuat (baca; pemilik modal dan politisi serta birokrat korup) yang menang. Dalam situasi seperti ini demokrasi berubah wajah menjadi demonisasi; yaitu sebuah hutan rimba kebencian – the politics of demonization.

Omong Kosong Pansus

Pengakuan Yudi Kurnaen, anggota DPRD Batam yang duduk sebagai Wakil Ketua Pansus Konsensi, Evaluasi dan Tarif Air Bersih, tentang kucuran dana puluhan juta dan termasuk biaya studi banding dari ATB dan Otorita Batam (OB) terhadap Pansus DPRD Batam (Batam Pos, 21/10/06/) menyentak rasa keadilan rakyat. Betapa tidak, ekspektasi masyarakat terhadap Pansus sangat tinggi karena Pansus diharapkan dapat memperjuangkan aspirasi rakyat dan sekaligus membuka tabir gelap yang melatarbelakangi permasalahan air di Batam. Namun dengan adanya penyuapan yang dilakukan oleh ATB dan OB atas anggota Pansus bukan saja menurunkan ekspektasi rakyat terhadap Pansus DPRD tetapi juga telah menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap lembaga legislatif pada umumnya. Apa yang dilakukan oleh ATB, OB dan Pansus DPRD Batam dapat dianggap sebagai sebuah bentuk penghianatan terhadap demokrasi, khususnya konstitusi Republik Indonesia, yaitu UUD 1945, Pasal 33 Ayat 3 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tidak bisa tidak, kenyataan ini menunjukkan bahwa baik ATB, OB maupun DPRD telah menjadi parasit demokrasi yang keberadaannya menghisap darah rakyat.

Istilah parasit (parasite) berasal dari kata Latin parasitus atau bahasa Yunani parasitos (para=berkaitan erat, sitos=makanan), yang berarti suatu organisme yang hidup di dalam atau di atas organisme lain. Secara lebih spesifik, Paul Singleton menjelaskan pengertian parasit di dalam Dictionary of Microbiology sebagai :”…organisme yang hidup di atas (ectoparasite) atau di dalam (endoparasite) jaringan organisme hidup lainnya (the host), dari mana ia memperoleh makanan untuk hidup”.

Mengambil analogi dari pengertian biologi ini yang disebut dengan organisme tempat hidup parasit itu bisa apa saja. Ada tumbuhan, tubuh manusia, sel, binatang, protozoa; mesin. Robot, lembaga keluarga, lembaga pemerintah, lembaga negara semuanya adalah organisme. Semuanya adalah tubuh yang mempunyai organ-organ dan dapat menjadi tempat hidup bagi parasit. Di dalam konteks ini kita melihat keterkaitan antara penyuapan dan pemerasan atas rakyat (rencana menaikkan tarif air) adalah suatu contoh cara kerja parasit demokrasi. Bukankah konsorsium memiliki modal untuk pengembangan investasi? Jika uang rakyat yang di ambil ATB-melalui kenaikan tarif- untuk meningkatkan investasi, maka itu sama saja artinya ATB sebagai parasit yang merampok dan memeras rakyat. Lantas apa artinya investor dan keberadaan konsorsium di ATB jika tidak memiliki modal untuk investasi?

Melawan Konspirasi ATB, OB & Pansus

Terlepas dari berbagai kepentingan yang melatarbelakangi keberadaan ATB, jelaslah bahwa ATB menjadi sebuah badan usaha yang sangat menggoda, terutama bagi mereka yang mendapatkan keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga tidak mengherankan apabila ATB menjadi pertarungan berbagai kepentingan yang karena posisinya dapat menjadi basis logistik bagi kekuatan politik dan ekonomi. Tidak mengherankan pula untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya secara terang-terangan ATB dan OB menyuap anggota DPRD Batam. Tidak ada lagi cerita tentang kepentingan rakyat, kecuali menghisap darah rakyat guna menghambakan diri kepada mesin irasionalitas kapitalime. Padahal semua orang sudah faham bahwa investasi tanpa menghormati hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusian adalah omong kosong.

Kapitalisme sebagaimana yang dikatakan oleh Felix Guatttari di dalam Capitalism: a Very Special Delirium (1995) hanya pada permukaannya saja yang tampak rasional, yaitu pada cara ia merumuskan kebutuhan masyarakat dan cara merealisasikannya (produksi, industrialisasi, modernisasi) dengan menggunakan kalkulasi, perhitungan, dan prediksi-prediksi (seperti halnya perusahaan ATB di Batam ini). Akan tetapi, di balik permukaan yang tampak rasional tesebut ada kekuatan-kekuatan irasional yang sesungguhnya mengendalikan kapitalisme dari dalam, yaitu kekuatan hasrat (desire): nafsu pembiakan modal, gairah ekspansi, dan ekstasi pelipatgandaan keuntungan (spekulasi) yang pada tingkat tertentu lebih dominan kekuatannya. Inilah irasionalitas pada tingkat sistem kapitalisme (Yasraf Amir Piliang, “Hantu-hantu Politik Dan matinya Sosial).

Dalam kaitan kasus suap-menyuap ini, kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan yang menjadi roh dan semangat demokrasi pada akhirnya berjalan diruang hampa. Demokrasi ditafsirkan menjadi “dari rakyat untuk ATB dan Otorita Batam”. Sangat jelas bahwa ATB, OB dan Pansus telah keliru menerjemahkan demokrasi sehingga merubah wajah demokrasi menjadi demonisasi. Kasus penyuapan sebagai salah satu bentuk dari irasionalitas kapitalisme mengingatkan kita atas apa yang pernah di ucapkan Albert Camus, yaitu: “Sederhana saja, penyebabnya justru karena keadilan dan kesejahteraan telah kehilangan pelindungnya. Benar, keadilan dan kesejahteraan dijadikan janda dan harus pula ditambahkan dengan satu pernyataan kebenaran lain:“Keadilan dan kesejahteraan adalah janda kita semua”. Kalau demikian halnya pastilah masyarakat kita belum benar-benar merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. “Tanpa kemerdekaan, industri besar mungkin dapat disempurnakan, tetapi keadilan dan kesejahteraan tidak”. Apa yang dikatakan Albert Camus tersebut mengandung pengertian mendasar terhadap nilai-nilai kemanusian. Itu sebabnya investasi (baca; industri) menjadi cerita omong kosong tanpa penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang dilakukan oleh VOC di jaman penjajahan Belanda dengan program kerja paksa guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Melalui dialog interaktif di salah satu radio swasta beberapa waktu lalu, penulis bertanya kepada Pieter Tobing dan Benny Aryanto selaku direktur ATB menyangkut biaya siluman. Pertanyaan penulis lebih kurang berbunyi: “apakah besarnya biaya siluman yang harus dikeluarkan oleh perusaahn ATB sehingga berencana untuk menaikkan tarif air?” Jawaban yang diberikan oleh direktur ATB tersebut kurang lebih: “ATB tidak mengenal istilah biaya siluman dan ATB tidak pernah mengeluarkan biaya siluman.” Dalam pengertian penulis, apa yang dimaksud dengan biaya siluman tidak saja berbentuk upeti atau penyuapan tetapi juga berkaitan dengan tindakan korupsi berupa mark-up terhadap biaya-biaya produksi dan investasi. Namun apa yang dikatakan oleh dua orang direktur ATB tentang tidak adanya “biaya siluman” di ATB adalah sebuah pembohongan publik, karena ternyata fihak ATB telah melakukan penyuapan terhadap anggota Pansus DPRD Batam. Jika fihak ATB dan OB menyangkal bahwa tidak ada uang siluman berupa suap untuk Pansus DPRD Batam, lantas darimana dana suap tersebut datang? Kalau dibilang dari Sinterclauss agak lucu kedengarannya, karena disamping natalnya belum tiba, lagipula kita tidak punya tradisi seperti itu, Namun persoalan sebenarnya sudah jelas, tinggal kita menjawab pertanyaan sebagaimana dikakatan Sor Juana Ines de la Cruz, penyair Meksiko abad ke-17; “Siapa yang paling bersalah dalam dosa bersama? Si perempuan yang menjual dosa, atau si lelaki yang membeli dosa?

Keterbatasan pengetahuan dan minimnya akses rakyat terhadap sistem pengelolaan air dan kinerja ATB bukan menjadi alasan bagi ATB, OB dan Pansus Air untuk menaikkan tarif air. Rakyat perlu penjelasan sederhana yang rasional dari pihak ATB, bukan arogansi yang disertai dengan kebohongan-kebohongan untuk memaksakan kenaikan tarif air. Kalau ATB tetap memaksakan diri menaikkan tairf air untuk modal investasi maka itu sama artinya dengan merampok rakyat. Sudah pasti rakyat akan bergerak melawan ATB sambil menyanyikan lagu Bob Marley yang sangat terkenal itu. “Get up Stand up, Stand up for your right; Get up Stand up, don’t give up the fight”. Lagu ini penting untuk mengingatkan kita bahwa demokrasi bukan “dari rakyat untuk ATB, OB”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar