Kamis, 11 Februari 2010

KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PERSPEKTIF MEDIA PERS DAERAH

KODE ETIK JURNALISTIK DALAM PERSPEKTIF

MEDIA PERS DAERAH

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

( Pemerhati Pers, Ketua Forum Kerja Budaya Batam)

Pendahuluan

Lahirnya UU Tahun 1999 Tentang Pers adalah suatu upaya menjamin kebebasan dan kemerdekaan Pers. UU ini mendorong terwujudnya kerja Pers secara maksimal terutama di dalam rangka demokratisasi informasi. Berbeda dengan UU lainnya, UU Pers merupakan sebuah kekhususan sehingga diesebut dengan istilah Lex Specialis. Hal ini penting digarisbawahi karena kemerdekaan Pers adalah pilar demokrasi yang berkaitan langsung kehidupan berbangsa dan bernegara. Fungsi kontrol sosial yang dijalankan tidak akan berhasil jika jaminan terhadap kemerdekaan Pers diabaikan. Itulah sebabnya pers menjadi pertaruhan bagi kelangsungan kehidupan demokrasi karena tidak ada demokrasi tanpa kemerdekaan Pers.

Jika kita sepakat bahwa Pers memiliki peran strategis di dalam meningkatkan nilai-nilai demokrasi maka itu berarti keberadaan Pers sebagai pilar ke-4 demokrasi patut untuk diperjuangkan, baik secara kelembagaan (UU Pers dan Dewan Pers) maupun dari segi pedoman pelaksanaan fungsi jurnalistiknya (baca; kode etik jurnalistik). Namun sebaliknya, jika Pers gagal di dalam melaksanakan fungsi demokrasinya, maka dengan sendirinya Pers kehilangan legitimasi moral perjuangannya dan harus melepaskan peran strategisnya sebagai pilar ke-4 demokrasi. Meminjam istilah Anthony Giddens yang mengatakan bahwa, “tidak ada otoritas kalau tidak ada demokrasi”.

Ketika Pers tidak lagi berperan sebagai pilar ke-4 demokrasi maka kita akan menerima sedikitnya dua resiko demokrasi, yaitu Pertama, masyarakat harus bersiap-siap untuk menerima kekuasaan diktatorial yang didalam praktek politiknya cenderung mengabaikan hak-hak demokrasi rakyat; Kedua, masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk dapat mengembangkan kekuatan demokrasi, terutama yang berkaitan dengan penguatan hak-hak sipil. Dari catatan sejarah kita mengetahui bahwa tidak ada satupun negara yang disebut demokratis jika fungsi dan peranan persnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keterbukaan. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa peran emansipatoris pers adalah merupakan bagian dari pembebasan manusia dari ketertindasan informasi dengan segala aspek sosial, politik, ekonomi dan budaya yang melatarbelakanginya.

Gambaran tentang Pers serta peran demokrasinya perlu mendapat tekanan karena kita percaya bahwa Pers memiliki kapasitas di dalam melakukan perubahan masyarakat. Idealisasi tentang Pers penting dilakukan mengingat kedudukan dan tanggungjawab ditengah-tengah meluasnya tuntutan terhadap demokratisasi informasi bagi masyarakat. Kita dapat menyimak pandangan Walter B. Wriston, mantan ketua Citibank, bank komersial terbesar kedua di A.S, yang mengatakan : ”Sejak skandal Watergate, bisnis berita telah menuntut pengungkapan penuh dari para pemimpin kita. Tak seorang pun boleh atau akan mencemarkan peran penting yang dimainkan pers dalam mengungkapkan kebobrokan. Namun, sekarang telah diciptakan ilusi bahwa kabut rahasia ditebarkan di atas setiap tindakan pemerintah untuk menutupi alasan-alasan buruk.

Pandangan Walter B. Wrinston diatas mengisyaratkan bahwa Pers bertanggungjawab untuk membuka tabir rahasia dibalik berbagai bentuk penyimpangan dan manipulasi yang dilakukan oleh para penguasa politik dan ekonomi. Namun peranan penting Pers di dalam melakukan fungsi kontrol tidak cukup hanya dengan mengandalkan kemerdekaan dan kebebasan Pers semata melainkan juga disertai oleh pedoman etika dan profesionalitas. Untuk mewujudkan tugas-tugas jurnalistiknya maka kalangan Pers memerlukan sebuah komitmen dalam bentuk kesepakatan etis guna menjamin kwalitas pemberitaan. Disinilah kita melihat keberadaan Kode Etik Jurnalistik merupakan sine qua non yang sekaligus dipandang sebagai preferensi etis dan profesionalitas bagi wartawan di Indonesia.

Tantangan KEJ

Ada dua pertanyaan bagi kita di dalam menyikapi keberadaan Kode Etik Jurnalistik (Selanjutnya disingkat menjadi KEJ). Pertama, apakah seseorang itu terlebih dahulu memiliki integritas moral dan intelektual sehingga ia menjadi professional atau, kedua, apakah seseorang itu terlebih dahulu bersikap profesional sehingga ia dipandang memiliki integritas? Bagi penulis, sangat jelas bahwa integritas moral dan intelektual mendahului sikap profesional, karena integritas merupakan suatu keharusan sementara profesionalitas adalah sebuah tuntutan. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: sejalankah tuntutan atas integritas dan sikap profesionalisme wartawan dengan kebijakan pemilik modal Pers itu sendiri?

Sering kita dengar ungkapan yang mengatakan, “wartawan boleh berbicara tentang yang hal-hal yang benar tetapi jangan memberitakan kebenaran”. Kita tidak menutup mata bahwa kebijakan pemilik modal Pers hingga jajaran redaksionalnya cenderung bersikap setengah hati menjalankan fungsi kontrolnya, terutama jika berhadapan dengan pusat kekuasaan. Pers seperti diarahkan untuk “bermain-main” diwilayah kebenaran abstrak yang terlepas dari realitas sosial masyarakat. Misalnya, berita yang menyangkut kasus korupsi di Pertamina Batam dan Samsat semuanya berakhir dengan happy ending, terutama bagi mereka yang menjadi terdakwa kasus korupsi. Benturan kepentingan yang melatarbelakangi bisnis pers sering menghambat tugas profesional wartawan di dalam mencari kebenaran (Uba Ingan Sigalingging, “Membaca Fenomena Pers Kita”, Batam Pos, 25 November 2004).

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pers cenderung mengeliminir berita-berita penyimpangan yang dilakukan oleh kalangan atas. Padahal penyimpangan yang terjadi jelas bertentangan dengan kepentingan publik. Kita lihat misalnya, kasus pengalokasian lahan Hutan Lindung Baloi Dam untuk area bisnis yang dilakukan oleh Badan Otorita Batam; masuknya limbah B3 ke Pulau Galang melalui PT. APEL yang ditengarai melibatkan pejabat Bea dan Cukai serta Pemko Batam. Kasus ini berawal dengan fakta dan berakhir dengan fiksi.

Kecenderungan media Pers di Batam mengeliminir pemberitaan adalah suatu bentuk penyikapan terhadap pragmatisme yang melatarbelakangi nilai-nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat Batam. Kecenderungan ini semakin meningkat ketika Pers berhadapan denagan pusat-pusat kekuasaan, sehingga tidak berlebihan jika ada anggapan bahwa Pers menikmati pragmatisme masyarakat tersebut. Mungkin ini yang dimaksudkan oleh Jakob Oetama sebagai sebuah proses interaksi antara pers dan masyarakat ketika mengutip pendapat Prof. Mr.Dr. M.Rooy: “Ciri-ciri fundamental suatu masyarakat dalam bidang sosial-politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, seperti yang menampakkan diri sepanjang sejarah masyarakat tersebut, ternyata pada umumnya menentukan corak media massa yang bekerja di dalamnya, juga cara kerja media massa tersebut” (M.Rooy, 1974, dalam Jakob Oetama : Pers Indonesia “Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus”, Kompas, 2001).

Dengan tidak memaparkan realitas secara objektif maka media-massa kehilangan makna strategisnya sebagai “pilar ke empat demokrasi”. Kondisi pers seperti ini pernah terjadi dan mendapat kritik keras lebih dari satu abad yang lalu (1859). Secara garis besar, tema kritik pada abad XX itu adalah :

1. Pers telah menggunakan kekuatannya yang perkasa hanya untuk kepentingan sendiri. Pemilik pers hanya mempropagandakan pendapatnya, terutama dalam masalah politik dan ekonomi, dengan mengorbankan pendapat yang bertentangan.

2. Pers telah menjadi alat pemuas bisnis-bisnis raksasa, dan pada suatu saat pers membiarkan pemasang iklan mengontrol isi redaksional sekaligus kebijaksanaan redaksionalnya.

3. Pers menolak adanya perubahan dalam masyarakat.

4. Pers lebih mengutamakan segi sensasi dangkal daripada segi-segi pentingnya peristiwa yang diliputnya (Theeodore Peterson, 1986).

Kecenderungan media Pers di Batam mengeliminir pemberitaan adalah suatu bentuk penyikapan terhadap pragmatisme yang melatarbelakangi nilai-nilai sosial, budaya, politik, dan ekonomi masyarakat Batam. Kecenderungan ini semakin meningkat ketika Pers berhadapan denagan pusat-pusat kekuasaan, sehingga tidak berlebihan jika ada anggapan bahwa Pers menikmati pragmatisme masyarakat tersebut. Inilah yang dimaksudkan oleh Jakob Oetama sebagai sebuah proses interaksi antara pers dan masyarakat ketika mengutip pendapat Prof. Mr.Dr. M.Rooy: “Ciri-ciri fundamental suatu masyarakat dalam bidang sosial-politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya, seperti yang menampakkan diri sepanjang sejarah masyarakat tersebut, ternyata pada umumnya menentukan corak media massa yang bekerja di dalamnya, juga cara kerja media massa tersebut” (M.Rooy, 1974, dalam Jakob Oetama : Pers Indonesia “Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus”, Kompas, 2001).

Pers Dan Wajah Demokrasi Di Daerah

Tertutupnya ruang bagi perdebatan intelektual (wacana publik) sebagai bentuk penyikapan atas realitas politik saat ini menimbulkan dampak luas terhadap kwalitas demokrasi. Tak bisa disangkal bahwa publik tidak terlibat secara langsung untuk merumuskan kebijakan-kebijakan umum selama Pilkada berlangsung. Masyarakat dipaksa menjadi penonton pasif atas peristiwa demokrasi saat ini. Berbagai bentuk kekuasaan yang ada cenderung menutup ruang bagi masyarakat untuk secara aktif terlibat di dalam merumuskan sebuah kebijakan yang menyangkut kepentingan publik. Tidak berlebihan jika masyarakat mempertanyakan kredibilitas, integritas dan independensi KPUD di dalam merumuskan seluruh aturan main Pilkada. Disini, masyarakat berharap bahwa pers dapat menstimulus dan mendorong terciptanya wacana demokrasi, terutama yang menyangkut partisipasi publik di dalam merumuskan sebuah kebijkan. Namun sangat disayangkan pers justru terjebak melakukan simplifikasi atas berbagai bentuk permasalahan yang menyangkut Pilkada. Dengan berlindung dibalik kaidah konvesi profesional jurnalistik, media massa menunjukkan keberfihakan kepada kekuatan tertentu. Simplifikasi tersebut dapat kita cermati dari penyusunan (framing) berita yang disampaikan kepada masyarakat.

Secara teoritis frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisasi pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep framing bagi kalangan konstruksionis adalah suatu proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya terjadi dalam wacana media, tetapi juga dalam struktur kognisi individu. Adapun wacana media massa mempunyai peran yang sangat strategis dalam menentukan apa yang penting atau signifikan bagi publik dari bermacam-macam isu yang hadir dalam wacana publik. Dalam pengertian umum, framing dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dalam teks komunikasi dengan tujuan agar aspek itu menjadi lebih nyata (noticeable), bermakna (meaningful), dan mengesankan (memorable) bagi khalayak. (Hanson 1995, dalam Agus Sudibyo, “Politik Media dan Pertarungan Wacana”).

Dominasi framing dalam wacana berita yang ditawarkan oleh media massa di Batam selama Pilkada menunjukkan adanya keterkaitan secara langsung dalam proses produksi berita yang melibatkan unsur-unsur redaksional : reporter, redaktur, dan lain-lain. Dalam konteks ini, awak media lazim menguraikan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri. Mereka juga menjabarkan frame interpretatif mereka sendiri, serta retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan atau kecenderungan tertentu. Media massa secara sadar menggunakan pendekatan framing sebagai senjata ampuh bagi elit politik untuk melakukan rekayasa opini publik. Dengan mempertajam paket (package) tertentu tentang sebuah isu politik, mereka dapat mengklaim bahwa opini publik yang berkembang mendukung kepentingan mereka, atau konvergen dengan “klaim kebenaran” mereka. “Kebenaran” opini publik sangat rentan terhadap pengaruh framing yang digunakan oleh media massa di Batam saat ini.

“Kebenaran” teredusir oleh rekayasa framing oleh fihak-fihak yang terlibat dalam wacana media. Padahal kaidah-kaidah objektivitas jurnalistik mengajarkan bahwa dalam menghadirkan suatu wacana berita, fihak media harus dapat bersikap akomodatif dan netral terhadap semua fihak atau perspektif yang terlibat dalam wacana itu. Namun seringkali sengaja atau tidak sengaja, jurnalis membiarkan pemaksaan basis interpretasi atau package tertentu oleh fihak-fihak yang di istilahkan Entman dalam bukunya “Framing: Toward Clasification of a Fractured Paradigm”, sebagai manipulator media. Jika kita kaitkan dengan tuntutan integritas dan profesionalisme, maka dengan mudah kita menemukan adanya ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip kerja Pers sebagaimana yang terdapat pada aturan main di dalam KEJ khususnya pada Pasal 3 yang berbunyi : “Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah”.

Keberfihakan Pers terhadap kekuatan tertentu selama berlangsungnya Pilkada berdampak luas atas kepentingan pembaca pada umumnya. Pers cenderung mereduksi informasi demi kepentingan tertentu, baik dalam bentuk adventorial maupun penyusunan beritanya. Pers melakukan simplifikasi permasalahan sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok yang berkepentingan di dalam rangka Pilkada. Keberadaan pers saat ini hampir-hampir tidak berhubungan dengan “hak masyarakat untuk mengetahui”. Pemilik pers hanya bertanggungjawab atas dirinya sendiri dan menjadikan persnya sebagai sebuah produk manufaktur. Pembaca bukan lagi tujuan dari kerja pers melainkan menjadi persoalan “statistik” semata. Anehnya, kalangan pers itu sendiri merasa nyaman sebagai “humas” bagi kepentingan politik kandidat tertentu. Tak mengherankan jika masyarakat tidak menemukan adanya perdebatan wacana dan analisa kritis tentang realitas sosial-politik. Pers tidak menggunakan hak investigatifnya untuk mendapat gambaran tentang keseluruhan proses Pilkada. (Lebih Jauh, baca; Uba Ingan Sigalingging, “Wacana Demokrasi Dibalik peranan Pers Dalam Pilkada”, Pelita Kepri, 11-17 Juli 2005).

Dalam sebuah percakapan panjang dengan Andre Malraux, Mao Tse-tung menyatakan, “Anda tahu, saya telah mempermaklumkan sejak lama bahwa kita harus mengajarkan kepada rakyat dengan segamblang-gamblangnya apa yang telah kita peroleh dari mereka secara samar-samar” Hal ini tentu berkaitan dengan proses kerja Pers dimana informasi yang disampaikan kepada masyarakat harus jelas dan gamblang walaupun di dalam melakukan tugasnya wartawan mendapat bahan berita yang samar-samar. Masyarakat tidak pernah mengetahui secara jelas apa manfaat Pilkada, kecuali sekedar mendengar himbauan “samar-samar” dari KPUD yang mengatakan bahwa Pilkada adalah pesta demokrasi. Oleh karena itu KPUD meminta kepada masyarakat pro-aktif untuk mendaftarkan dirinya sendiri kepada “fihak yang berwajib”. Himbauan KPUD ini adalah “lelucon” yang artinya kurang-lebih sama dengan nasehat “orang tuli” kepada siswa sekolah dasar yang mengatakan: “cara makan yang baik adalah, jangan masukkan sendok ke mata teman disebelahmu”. Akibatnya hampir tidak ada ruang bagi wacana publik untuk secara objektif memahami apa itu Pilkada; bagaimana keterkaitan Pilkada dan Otonomi Daerah, serta sejauhmana urgensinya untuk kepentingan meningkatkan kwalitas tatanan demokrasi. Masyarakat berharap bahwa Pers mampu menjembatani antara pemerintah (pelaksana Pilkada) dan masyarakat untuk mengungkap ketersamaran tersebut. Di dalam konteks inilah kita memandang pentingnya KEJ karena ia mejadi pedoman ke arah independensi wartawan terutama di dalam rangka membangun tatanan demokrasi yang sehat dan bermutu.

Kesimpulan

Keberadaan KEJ adalah suatu terobosan guna meningkatkan kwalitas kerja wartawan, baik dari segi etika maupun profesionalismenya. Tidak mudah memang melaksanakan KEJ secara konsekuen karena menyangkut banyak aspek yang melatarbelakangi sistem kerja Pers, sebut saja misalnya aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Menjadikan KEJ sebagai pedoman kerja adalah sebuah tantangan bagi wartawan, bukan saja ia berhadapan dengan intervensi kepentingan pemilik modal dan kebijakan redaksional, tetapi lebih penting lagi adalah menghadapi “godaan” yang berkaitan dengan sumber berita. Tak bisa dipungkiri bahwa kehadiran KEJ ini akan mempersempit terjadinya “perselingkuhan” antara wartawan dengan sumber berita. Seringkali wartawan tak berdaya menghadapi “godaan” yang sesungguhnya didorong oleh pertarungan kepentingan diluar dirinya. Setidaknya pesan-pesan sponsor terhadap penerbitan pers sering menjadi hambatan bagi wartawan untuk menyampaikan informasi secara baik dan benar. Di dalam situasi seperti ini, wartawan dihadapkan kepada pilihan antara kompromi atau berpegang teguh pada hati nurani.

E.B. White (penulis esai dan negarawan terkemuka dalam sastra Amerika) pernah mengkritik majalah Esquire yang terkenal itu dengan mengatakan bahwa,” Sponsor (gelap, pen) di dalam pers adalah undangan untuk korupsi dan penyalahgunaan. Godaannya sangat besar dan selalu ada oportunis di balik setiap belukar”.

Apa yang dikatakan oleh E.B. White sangat relevan jika kita kaitkan dengan kebanyakan kasus-kasus pemberitaan yang terjadi di media Pers Batam. Ada banyak kasus yang tiba-tiba hilang dari pemberitaan Pers. Masyarakat tidak pernah mengetahui apa dan bagaimana kelanjutan kasus tersebut karena akses informasi melalui Pers terputus. Tidak sedikit KEJ terpaksa dikorbankan karena berbagai alasan, dari mulai kepentingan wartawan hingga kepentingan pemilik modal dan awak redaksi terhadap sumber pemberitaan. Keberfihakan wartawan terhadap kepentingan sumber berita pada akhirnya menutup peluang masyarakat untuk mendapatkan informasi yang bermutu. Itu berarti menyalahgunakan dan mengorbankan KEJ.

Dengan kebebasan yang dimiliki oleh Pers saat ini menimbulkan dua sisi yang bertentangan. Pertama, pers dapat mendorong terjadinya arus informasi yang sehat dan bermutu kepada masyarakat. Sebaliknya, Pers dapat menjadi gangguan bagi masyarakat karena menimbulkan polusi pemberitaan yang semata-mata bertujuan menciptakan sensasi. Banyaknya jumlah penerbitan Pers serta wartawan saat ini ternyata tidak berarti peningkatan atas kwalitas informasi. Hal ini dapat dimengerti karena kebanyakan wartawan tidak cukup memiliki integritas moral dan intelektual didalam melaksanakan kerja jurnalistiknya. Sehingga tidak mengherankan apabila saat ini masyarakat tidak memiliki apresiasi yang baik terhadap wartawan. Padahal kita sama-sama mengetahui bahwa integritas moral dan intelektual menjadi semangat dan pedoman atas KEJ.

Terlepas dari berbagai kendala dan kekurangan di dalam melaksanakan KEJ, masyarakat merasa sangat terbantu karena KEJ tersebut menjadi filter dan sekaligus sebagai peringatan bagi wartawan di dalam menjalankan profesinya. Dengan kata lain, melalui KEJ ini masyarakat akan mengetahui mana wartawan yang baik dan benar dan mana wartawan bodong yang justru merusak fungsi dan peran Pers yang mulia itu. Dibawah ini penulis mengutip satu tulisan tentang penyikapan terhadap Kode Etik Jurnalistik. Kutipan yang cukup panjang ini sengaja penulis lakukan dengan pertimbangan dapat menstimulus kita untuk mendiskusikan tentang pentingnya Kode Etik Jurnalistik bagi wartawan.

(Pada akhir 1980-an, ada sebuah program televisi yang disiarkan di hampir semua stasiun PBS (Public Broadcasting Service) di Amerika Serikat. Program itu bertajuk Ethics in America. Di program ini dihadirkan sekitar selusin tamu dari berbagai profesi untuk membahas kode etik dan praktik dari profesi masing-masing, termasuk kendala atau hambatan menerapkan kode etik tersebut.

Salah satu episode yang dibahas berjudul "Under Orders, Under Fire," dengan tamu kalangan tentara dan wartawan. Moderatornya Charles Ogletree, seorang profesor dari Harvard Law School. Mengapa profesi tentara dipertemukan dengan profesi wartawan tak dijelaskan dalam buku itu. Mula-mula Ogletree menanyai seorang veteran perang yang kehilangan sebelah lengannya di Vietnam. Kepadanya diberi persoalan, kawan-kawannya tertangkap lawan, sementara dia hanya menangkap seorang musuh. Pertanyaannya: "Sejauh mana dia akan membuat tawanannya berbicara dan memberitahu informasi penting yang dapat menyelamatkan kawan-kawannya?"

Frederick Down, veteran Vietnam yang kemudian jadi novelis itu, kelihatan kesulitan menjawab pertanyaan itu. Dia pernah mengalami hal-hal yang tak mengenakkan di medan perang. Dia menjawab, "Saya akan melakukan apa saja untuk menyelamatkan kawan-kawan saya."

Ogletree mengejarnya, "Termasuk dengan menyiksa tawanan Anda? Anda punya pisau. Dari mana Anda mulai dan sampai di mana Anda akan berhenti?"

Agak enggan, Down menjawab, "Well, saya tak suka melakukannya. Tapi kalau terpaksa, saya akan menyiksanya agar dia berbicara dan saya dapat menyelamatkan kawan-kawan saya."

Jawaban itu memicu perdebatan di kalangan tentara sendiri dalam forum tersebut. Sebagian setuju dengan Down. Sebagian mengingatkan dalam perang pun ada aturannya. Di antara yang berpendapat perlunya kode etik perang ditegakkan adalah William Westmoreland, pensiunan jenderal yang mengomandani seluruh tentara Amerika Serikat di Vietnam ketika Fredercik Down bertugas saat itu.

Audiens tampak bersimpati pada Down, apalagi dia menutup dengan kalimat, "Saya tahu konsekuensinya. Saya harus hidup dengan bayangan peristiwa itu, dan itu tidak mudah ...." Dari jawaban itu dapat disimpulkan dua hal: Down akan melanggar kode etik perang dalam situasi tertentu, atau dia melakukannya demi solidaritas tentara meski dengan beban perasaan yang berat.

Sekarang Ogletree beralih pada para wartawan yang diwakili Peter Jennings, pembawa acara terkenal World News Tonight dari ABC, diberi persoalan. Setelah melobi sekian lama, Jennings berhasil menarik perhatian pemimpin tentara musuh. Dia diundang ke medan perang dan kini diajak tur ke garis belakang tentara lawan. Pada saat melihat-lihat medan perang di belakang garis lawan itu, rombongan Jennings terperangkap di tengah-tengah jejak tentara Amerika Serikat dan tentara musuh yang mempersiapkan penyerbuan ke arah mereka. "Apakah Anda akan memerintahkan kamerawan Anda untuk siap mengambil gambar saat serangan itu terjadi?" tanya Ogletree.

Jennings diam sekitar 15 detik, lalu menjawab, "Saya kira saya tak akan melakukan itu. Saya akan lakukan apa yang dapat saya lakukan untuk memberitahu tentara Amerika tentang rencana penyerbuan itu."

"Meskipun itu berarti mengorbankan sebuah liputan hebat?" desak Ogletree.

"Meskipun itu akan mengorbankan nyawaku," tandas Peter Jennings. "Saya tak mungkin meliput hal semacam itu. Ini masalah pribadi. Mungkin wartawan lain tak sependapat dengan saya."

Tiba-tiba Mike Wallace, pembawa acara 60 Minutes dari CBS, menyela, "Wartawan lain pasti akan melakukan hal sebaliknya. Bagi mereka, itu cuma sebuah peristiwa yang harus diliput." Wallace kemudian menguliahi Jennings, "Saya benar-benar tercengang atas jawaban Anda. Anda adalah wartawan, meskipun Anda orang Amerika. Saya tak mengerti mengapa hanya karena Anda orang Amerika Anda tak akan meliput peristiwa itu." (Ini hanya contoh seolah-olah, karena Mike Wallace dan semua orang Amerika tahu, bahwa Peter Jennings warga negara Kanada).

Ogletree kemudian mendesak Wallace, "Bukankah Jennings memiliki tugas yang lebih mulia, apakah itu bersifat patriotis atau manusiawi, untuk melakukan lebih dari sekadar merekam gambar saat tentara negaranya ditembaki?"

"Tidak," Wallace menjawab datar dan cepat.

"Tak ada tugas mulia semacam itu. Tidak ada. Kami hanyalah wartawan! Dan tugas wartawan meliput peristiwa, bukan mencegahnya."

Jennings, setelah memikirkan jawabannya dan kuliah seniornya, tiba-tiba meralat, "Wallace benar. Saya seorang pengecut." Jennings mengakui dia kehilangan pandangan jurnalistiknya dan menjadi "terlibat" –sikap yang sama sekali tidak profesional.

Ketika Jennings sependapat dengan Wallace, para tamu lain dalam forum itu, dan para audiens, memandang keduanya dengan tercengang. Seorang pensiunan jenderal angkatan udara, Brent Scowcroft, berdiri dan berkata dengan nada pahit pada kedua wartawan senior itu, "Anda akan berdiam diri dan menyaksikan pihak Anda dibantai? Untuk apa? Untuk 30 detik pada berita malam, sebagai ganti menyelamatkan satu peleton!"

George M. Connell, seorang kolonel marinir yang mengenakan seragam lengkap (tanda masih berdinas), menatap kedua wartawan televisi itu. "Saya merasa sangat ... tersinggung." Katanya, dua hari setelah diskusi ini, bisa saja Jennings atau Wallace berada di medan perang bersama tentara Amerika, dan terluka atau tertembak, sebagaimana sebagian wartawan perang mengalaminya. Mereka akan mengharapkan tentara Amerika menentang hujan peluru untuk menyelamatkan mereka.

"Dan kami akan melakukannya!" kata Connell, dengan nada pahit. "Dan inilah yang membuat kami muak kepada (golongan) mereka. Marinir akan dan bisa kehilangan nyawa karena menolong dua wartawan yang terluka."

Itulah gambaran bagaimana tentara dan jurnalis menerapkan atau melanggar kode etik mereka. Tentara Amerika Serikat tampaknya cenderung melanggar kode etik, meski dengan perasaan tak mudah dan konsekuensi psikologis bakal mereka hadapi sepanjang hidup. Wartawan tampak lebih ketat menjaga kode etik meski itu bisa berarti mengorbankan nyawa manusia lainnya). (Sumber tulisan, Sirikit Syah dalam ”Wartawan: Menolong Atau Memotret? Sebuah Diskusi tentang Praktik Pers”)

Lampiran

KODE ETIK JURNALISTIK


Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.

b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006.

..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar