Kamis, 11 Februari 2010

ISMETH ABDULLAH “MENARI DI PERSIMPANGAN JALAN”

ISMETH ABDULLAH “MENARI DI PERSIMPANGAN JALAN”

Antara Kompromi dan Legitimasi Kultural

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua Forum Kerja Budaya Batam)

Sebuah dongeng tentang “Maharaja” berdasarkan karya dari Hans Christian Andersen diceritakan oleh Goenawan Mohamad melalui tulisan “Catatan Pinggir” di majalah Tempo. Goenawan Mohamad menulisnya dengan sangat bagus, dan tentunya puitis. Penulis menempatkannya di awal tulisan ini karena relevan dengan kehidupan sosial, budaya dan politik kita dewasa ini.

Begini ceritanya :

“Syahdan, dua orang penipu datang menawari sang maharaja seperangkat busana yang lain dari lain : terbuat dari kain yang ditenun dari serat ajaib, begitu halus, hingga hanya dapat dilihat oleh mereka yang pintar dan layak berkedudukan. Baginda pun terkesima. Ia berfikir, “Bila kukenakan pakaian seperti itu, aku akan tahu siapa saja bawahanku yang tak cocok menjabat, dan akan dapat kuketahui mana yang pintar dan mana yang dungu.” Kedua penipu itu pun mendapat order. Dengan cekatan mereka memasang alat tenun, dengan giat mereka bekerja. Dana berlimpah, tapi tentu saja alat tenun di sanggar itu kosong, dan kesibukan mereka cuma pura-pura.

Sang maharaja sebetulnya ingin datang untuk melihat bagimana rupa bahan yang sedang disiapkan itu. Tapi ia gentar. Bagaimana kalau ternyata tekstil ajaib itu tak tampak di matanya? Ia akan mengetahui dirinya bodoh dan bukan orang yang layak bertakhta.

Maka dikirimnya perdana menterinya ke sanggar itu untuk mengecek, sambil menguji bagaimana sebenarnya mutu pejabat ini. Sang PM pun datang. Kedua penipu itu menyambutnya, dan dengan petah-lidah menjelaskan betapa cemerlangnya warna nila di tepi sana dan betapa masih kurang rapinya tenunan di bagian sini. Sang PM tentu saja tidak melihat apa-apa, tapi ia menyatakan kagum. Ia tak mau ketahuan bahwa dirinya bodoh. Hal yang sama terjadi tiap kali Maharaja mengirim utusan. Syahdan, akhirnya baginda sendiri bertamu ke sanggar itu. Tentu saja ia tidak melihat apa-apa. Tapi ia bimbang: jangan-jangan hanya ia sendiri yang tak bisa menikmati kain yang konon indah tersebut. Maka, seperti yang lain-lain, ia tak mau mengaku.

Akhirnya, kabar tersiar ke seluruh negeri tentang kain yang luar biasa itu. Baginda pun bersiap berpawai, dan kedua penipu itu dengan khidmat memasangkan busana yang tak ada itu ke tubuh maharaja. Dengan semarak parade berlangsung. Sang maharaja telanjang bulat, tentu, tapi dengan anggunnya tegak di atas kereta, dan seluruh khalayak kagum,”Alangkah cemerlangnya busana beliau kali ini!” Mereka bertepuk. Hanya seorang anak kecil yang dengan polos mengatakan, “Hai, Baginda telanjang!”

“Baginda telanjang!” Sang raja dan para pembesarnya mendengar: Tapi ia dengan cepat memutuskan agar pura-pura besar itu tak batal. Pawai terus. Baginda tetap tegak, anggun…. (Goenawan Mohamad, “Catatan Pinggir”, Tempo, 22 Agustus 2004).

Dunia politik selalu ditandai dengan rivalitas dan pertarungan kepentingan, karena tujuan politik biasanya di arahkan untuk mencapai kekuasaan. Ada dua kemungkinan yang selalu muncul dari hasil pertarungan kepentingan tersebut, yaitu yang menang dan yang kalah. Kemenangan politik biasanya menjadi perhatian banyak kalangan karena hal tersebut berhubungan dengan kekuasaan yang akan membuka jalan atau akses ke dunia ekonomi dan politik. Di tingkat sosial, kemenangan politik dimaknai sebagai sebuah kesempatan untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunan. Berpijak dari pengalaman yang pernah terjadi, tujuan dan arah kebijakan pembangunan adalah untuk membebaskan manusia dari penderitaan, atau apa yang disebut Berger dengan istilah : memperhitungkan “biaya-biaya manusia”. Dengan kata lain disebutkan bahwa segala tindakan politik dan upaya pembangunan seharusnya bertujuan mengatasi atau paling tidak membatasi penderitaan manusiawi dalam semua bentuk dan dimensinya (Lihat Peter L.Berger, “Pyramids Of Sacrifice” atau Piramida Kurban Manusia, 1982). Sementara ditingkat budaya, kemenangan politik dipandang sebagai sebuah upaya untuk mengembangkan sistem nilai. Dalam konteks ini kemenangan politik dimaknai sebagai pembebasan manusia dari beban kulturalnya. Itu berarti kekuasaan politik harus memperhitungkan “biaya-biaya kultural”. Namun sering terjadi bahwa para penguasa atau pemegang otoritas politik menjadikan aspek ekonomi dan politik sebagai dogma pembagunannya. Sehingga “biaya-biaya kultural” yang muncul akibat dari pemberhalaan dogma pembangunan tersebut harus di bayar mahal oleh masyarakat. Padahal kita semua mengetahui bahwa persoalan pembangunan memiliki dimensi yang sangat luas. Apa yang dikatakan oleh Langdon Winner, ahli ilmu politik dan tekhnologi dan kwalitas hidup dari Massachusset of Technologies sangat menarik untuk disimak, bahwa Simples homiles about progress no longer suffice” (khotbah-khotbah gampang tentang kemajuan atau penggunaan efisiensi ekonomi selaku tolok-ukur satu-satunya sudah tidak memadai lagi).

Pada prinsipnya, kedua jenis kemenangan tersebut di atas adalah bagian dari sebuah proses demokrasi yang merefleksikan kehidupan sosial masyarakat. Sebagaimana Giddens pernah bilang, “tak ada otoritas kalau tidak ada demokrasi”. Setidaknya inilah yang menjadi perhatian penulis, yaitu persoalan legitimasi kultural yang berkaitan dengan kebijakan politik caretaker Gubernur Kepri saat ini. Tulisan ini tidak memiliki pretensi politis, kalaupun bersinggungan dengan persoalan politik itu disebabkan oleh kedudukan Ismeth sebagai Gubernur Kepri yang merupakan bagian dari wilayah kerja politik. Tujuannya jelas, yaitu mencoba membongkar persepsi yang salah tentang legitimasi kultural yang terdapat di lingkaran kekuasaan.

Mempertimbangkan Sebuah Keputusan

Kalau, dengan kesalapahaman tertentu, orang memahami satu sama lain, mereka tak akan pernah dapat mencapai persetujuan” (Baudelair).

Pelantikan Ismeth Abdullah sebagai Caretaker atau pelaksana tugas Gubernur Kepri dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai sebuah keputusan politik yang tepat. Karena disamping sosoknya yang relatif terkenal luas di Provinsi Kepri, ia juga dikenal sebagai Ketua Otorita Batam yang diakui memiliki kemampuan manajerial di dalam pengembangan industri, khususnya di Pulau Batam. Sebagai provinsi yang baru tentulah memerlukan penanganan yang serius karena kompleksitas permasalahannya begitu luas. Dibalik harapan tersebut, kita menyadari bahwa rivalitas politik dan konflik kepentingan (untuk mendapatkan kekuasaan di lembaga eksekutif tersebut) sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan Gubernur Kepri, terutama dalam hal penentuan program dan penyusunan kabinetnya. Kemampuan adaptif sangat diperlukan karena pada dasarnya institusi Otorita Batam sangat berbeda dengan pemerintah provinsi Kepri, baik dalam hal sarana maupun tujuan strategisnya. Sebagai Ketua Otorita Batam, Ismeth boleh tidak transparan di dalam menjalankan kebijakan publiknya, namun sebagai gubernir Kepri, ia adalah abdi masyarakat.

Sebagaimana lazim terjadi bahwa jabatan gubernur sangat terkait dengan proses tawar-menawar politik, baik di tingkat lokal maupun ke tingkat pusat. Proses tersebut dapat dipandang sebagai sebuah bentuk komunikasi politik timbal- balik, yaitu antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Proses tawar-menawar adalah hal yang lazim yang biasanya diwarnao oleh adanya tarik-menarik kepentingan, baik antara pemerintah pusat dengan provinsi, juga antara daerah tingkat II dengan provinsi. Tarik-menarik kepentingan di tingkat pusat terhadap pemilihan Gubernur Kepri tentu tidak terlepas dari posisi Provinsi Kepri baik dari sisi letak geografisnya yang strategis maupun dari segi kekayaan Sumber Daya Alamnya. Sementara tarik-menarik kepentingan di tingkat lokal sangat diwarnai oleh akses politik melalui pembagian jabatan di lingkungan pemerintahan Provinsi Kepri. Tawar-menawar kekuasaaan tersebut biasanya melahirkan kompromi politik, yang jika tidak disikapi secara bijak dapat menimbulkan kecurigaan ditengah-tengah masyarakat. Gubernur Kepri harus mampu menciptakan perimbangan antara berbagai kepentingan yang melingkupinya. Keseimbangan itu sendiri berkaitan dengan salah satu isu penting di era modern saat ini, yaitu mengenai persoalan Etno-Komunal; karena “keragaman etnis cenderung meningkatkan polarisasi yang berdampak pada keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap etnis tertentu. Secara teoritis polarisasi etnis akan mendorong kompetisi dalam memperebutkan sumber daya politik dan publik. Pada saat bersamaan untuk menciptakan tekanan politik yang efisien dan kuat terhadap kebijakan birokrasi, tiap-tiap etinis cenderung akan mengeliminir “penumpang bebas” (free-rider) diantara anggotanya atau meminta loyalitas lebih dari anggotanya (Becker 1983; Esteban dan Ray 1994}. Sehingga ketika etnis tertentu memiliki pengaruh besar dalam kebijakan publik, yang diperoleh tidak saja sumber daya publik, tetapi juga keeratan ikatan sosial antara-individu dalam etnis yang sama. Ini cukup menjelaskan mengapa konflik etnis umumnya membutuhkan penyelesaian yang cukup lama” ( Teguh Yudo Wicaksono, “Etno-Komunal dan Harga Kediktatoran”, Kompas, 6 September 2004).

Secara politis, kebijakan yang ditempuh di dalam hal penyusunan kabinet tersebut tidak ada yang salah karena menyangkut kewenangan atau hak prerogatif Gubernur Kepri. Namun jika di lihat dari sisi realitas masyarakat majemuk, tentulah kabinet ini tidak legitimated karena tidak mencerminkan semangat pluralisme. Kebijakan Ismeth sama sekali tidak mempertimbangkan keseimbangan budaya sehingga menimbulkan paradoks kultural di tengah-tengah masyarakat kita yang heterogen. Dilihat dari perspektif sosiologisnya, kebijakan tersebut telah melahirkan prasangka-prasangka sosial yang bersifat kedaerahan dan tentunya menimbulkan ketidaknyamanan kultural di tengah-tengah masyarakat luas. Kini kita dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal, bahwa masalah sosial dan budaya menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kesetaraan dan keseimbangan.

Jika kita perhatikan secara seksama, maka sesungguhnya ada tiga prinsip dasar (di dalam konteks heterogenitas masyarakat Provinsi Kepri) yang diabaikan oleh Ismeth Abdullah dalam penyusunan kabinetnya yaitu 1. Plurality (pluralitas), 2. Diversity (keragaman) dan 3. Multicultural (multikultural). Ketiga unsur itu sesungguhnya tidak mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ‘ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih dari satu’, keragaman menunjukan bahwa keberadaan yang ‘lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai bentuk pemaksaan dari negara. Apabila pluralitas sekedar mepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan dan diperlukan sama oleh negara.

Pengingkaran terhadap ketiga prinsip dasar itu dapat menimbulkan tanda tanya dari masyarakat, baik secara etis maupun kultural. Kebijakan Ismeth menjadi kontradiktif dengan upayanya membangun dan mengembangkan Provinsi Kepri, yang notabene membutuhkan tenaga-tenaga profesioanal dan berkwalitas. Ismeth ‘seolah-olah’ mengenyampingkan pendapat umum yang mengatakan bahwa kwalitas dan sikap profesionalitas sesungguhnya tidak berkaitan dengan persoalan kedaerahan, tetapi di ukur oleh kemampuan profesional dan integritas seseorang. Sepertinya Ismeth sengaja memetakomflikan masyarakat melalui kebijakannya yang diskriminatif itu. Untuk kepentingan pembangunan provinsi Kepri, ia seharusnya tahu bahwa kebijakan diskriminatif tersebut sangat penting untuk diabaikan.

Di dalam konteks inilah penulis berpandangan bahwa semangat multikulturalisme harus mendasari kebijkan politik karena multikulturalisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokratisasi dan nondiskriminasi. “Perhatian yang besar terhadap equalitas (persamaan) dan nondiskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan multikulturalisme dengan demokrasi. Bukankah sisi terpenting dari nilai demokrasi adalah keharusan memperlakukan berbagai kelompok atau individu yang berbeda tanpa diskriminasi? (Mun’im A Sirry, Kompas 1 Mei 2003). Disini terlihat secara terang-benderang bahwa Ismeth menafikan faktor pluralisme demi kepentingan politik praktisnya. Sebuah fakta yang menunjukan bahwa kebijakan politik Ismeth tidak memiliki landasan demokrasi yang kuat. Hal ini mengingatkan penulis tentang apa yang pernah diucapkan oleh Sidney Hook (1967) bahwa, “ Saya tegas-tegas mempercayai demokrasi, tapi bukan demokrasi dalam keluarga yang penuh dengan anak-anak kecil, di mana masing-masing mendapatkan satu suara, dan tak lebih dari itu; bukan demokrasi di panti penyandang cacat mental; tidak pula demokrasi di penjara”. Pertanyaanya adalah : Agenda tersembunyi (hidden agenda) apa yang ada dibalik kepentingan politiknya tersebut?

Harga Sebuah Kompromi Politik

Seharusnya kompromi politik dilakukan untuk mencari titik temu di tengah-tengah kebuntuan komunikasi politik. Bukan sebaliknya, malah menciptakan kebuntuan baru yang justru mempersempit atau bahkan menutup ruang komunikasi politik secara luas. Kondisi ini penting disikapi secara rasional karena keberadaan pemerintah, sebagaimana Giddens menjabarkannya di dalam bukunya yang terkenal “The Third Way”, beberapa diantaranya adalah untuk :

- menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan-kepentingan yang beragam;

- menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing ini;

- menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;

- menjaga keamanan sosial melalui kontrol sasaran kekerasan dan melalui penetapan kebijakan;

- mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam sistem pendidikan;

- memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi makro maupun mikro ekonomi, plus penyediaan infrastuktur;

- membudayakan masyarakat-pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya’” (Anthony Giddens, The Third Way atau Jalan Ketiga, PT.Garmedia 1999).

Langkah taktis untuk mengatasi kebuntuan politik dapat difahami karena menyangkut hubungan antar manusia, namun tidak bisa diterapkan untuk hal-hal yang bersifat strategis. Tantangan pembangunan yang begitu kompleks menuntut adanya kesepahaman, baik dalam hal informasi maupun bentuk komunikasi. Jika kompromi politik dilakukan, ia harus ditempatkan di dalam konteks mencapai kesepahaman. Sebagaimana diungkapkan Habermas (pewaris sah pemikiran Mazhab Frankfurt), “bahwa tujuan mencapai pemahaman adalah menghasilkan sebuah persetujuan yang berakhir pada tingkat pemahaman timbal-balik yang besifat inter-subjektif, pengetahuan bersama, kepercayaan timbal-balik, dan kesesuaian satu sama lain”. Situasi inilah yang mengharuskan pemimpin publik untuk bersikap akomodatif terhadap potensi-potensi masyarakat, agar tantangan pembangunan yang serba kompleks tersebut dapat teratasi. Dewasa ini kita dihadapkan pada persoalan kemiskinan, pendidikan, industrialisasi, seni dan budaya, kwalitas hidup, lingkungan hidup, kependudukan, ketenagakerjaan, peningkatan kwalitas sumber daya manusia serta pengelolaan sumber daya alam, dan banyak persoalan lainnya. Semua persoalan tersebut dapat diatasi jika pemerintah provinsi memiliki konsep pembangunan serta komitmen terhadap pembangunan provinsi Kepri itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari pengertian-pengertian bahwa, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yang dalam pandangan Robert Chamber dikatakan, yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable”. Oleh karena itu, persoalan yang menyangkut pembangunan di Provinsi Kepri ini tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan sosok Ismeth semata. Diperlukan adanya aparat pemerintah lainnya yang bersikap profesional dan mampu menerjemahkan semangat pembangunan sampai ke tingkat yang paling luas. Ini artinya bahwa saat ini kita memerlukan orang-orang yang dalam istilah Naisbit (Global Paradox) disebut dengan “think global act local” (berfikir global bertindak lokal).

Mencari Legitimasi Politik(?)

Esensi politik adalah perjuangan pandangan dan kebijakan yang bertentangan (Norberto Bobbio, ahli politik Italia masa kini).

Ismeth melakukan sebuah langkah taktis, yaitu dengan melakukan kompromi politik guna mengatasi persoalan legitimasi politik. Namun masalahnya adalah bahwa langkah taktis tersebut memiliki implikasi kultural jika dipaksakan untuk melaksanakan kebijakan strategis. Implikasi kultural yang timbul dari kompromi-kompromi politik- yang cenderung tidak rasional ini- adalah terbukanya ruang konflik baru yang berkaitan dengan persoalan pluralitas, keragaman dan multikultural. Persoalannya adalah : siapa yang bisa menjamin bahwa skenario politik Ismeth akan berjalan dengan mulus tanpa hambatan-hambatan sehingga tidak menimbulkan masalah budaya di masa yang akan datang?

Legitimasi politis hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak legitimasi yang harus dipenuhi seorang pemimpin masyarakat. Bahwa kompromi politik dilakukan untuk mencari jalan tengah, itu dapat dibenarkan. Namun kompromi tersebut tentunya tidak mengeyampingkan preferensi etis dan kultural. Karena kalau itu yang terjadi maka legitimasi politik itu akan kehilangan makna demokrasinya. Disengaja atau tidak, Ismeth telah menstimulus terciptanya ‘bahaya latent’ di tengah-tengah masyarakat berupa ‘prasangka-prasangka politik’ yang bersifat kedaerahan.. Padahal kita mengetahui bahwa baru-baru ini ada sebuah kegiatan budaya di Tanjung Pinang, yaitu “Revitalisasi Budaya Melayu” yang mengusung tema tentang Pluralisme. Peristiwa budaya yang baru saja berlalu itu sangat penting artinya karena ia menjadi sebuah dasar atau tonggak atas pemaknaan pluralisme di tengah-tengah masyarakat Provinsi Kepri umumnya dan di Tanjung Pinang khususnya. Revitalisasi Budaya Melayu menjadi sebuah contoh yang sangat bagus bagi Pemerintah Kota dan Kabupaten serta Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia tentang penyelenggaraan sebuah peristiwa budaya. Rasa hormat terhadap pluralisme yang diaktualisasikan melalui bentuk tampilan seni dan budaya serta pemaparan gagasan-gagasan intelektual di dalam sebuah forum kebudayaan. Melalui peristiwa budaya tersebut, masyarakat diajak untuk bersama-sama masuk ke ruang tanpa batas; di mana gagasan-gagasan kreatif yang disemangati oleh prinsip-prinsip pluralisme budaya tersebut telah menembus batasan-batasan kultural di tengah-tengah masyarakat yang pluralistik. Revitalisasi Budaya Melayu adalah bagian dari upaya mewarnai serta memaknai semangat jaman dan sekaligus menjadi sebuah wadah yang memayungi gagasan-gagasan besar tentang kebudayaan. Kegiatan ini menjadi area pertarungan wacana kebudayaan (bukan melalui statemen politik pengurus partai ataupun pidato kebudayaan para pejabat negara yang korup, tetapi melalui dialog kebudayaan yang dihadiri oleh pembicara tingkat dunia!) yang memberikan pemahaman tentang rasa hormat terhadap perbedaan. Sebuah langkah yang berani dan patut dipuji. Yang menjadi persoalan ialah : mengapa Ismeth justru mengkerdilkan makna pluralisme itu, bukankah sebagai gubernur Kepri, ia hadir bersama pejabat pemerintah pusat di acara yang penting itu? Seharusnya peristiwa budaya tersebut dapat menjadi momentum bagi Gubernur Kepri dalam menentukan kebijakan politik, terutama di dalam penyususnan kabinetnya. Namun sangat disayangkan, Ismeth justru menafikan faktor pluralisme tesebut. Sebuah langkah kontradiktif di dalam upaya memajukan provinsi Kepri. Sikap seperti ini mengingatkan kita atas tabiat buruk politik kebudayaan di masa diktator Soeharto berkuasa di Republik ini, yang menganggap budaya sebagai beban negara sehingga tidak perlu disikapi secara serius. Kalaupun dianggap serius, itu disebabkan oleh rasa takut karena kegiatan budaya di nilai dapat mengancam stabilitas kekuasaan sehingga dikategorikan sebagai bahaya “subversif”! Dan Soeharto memang benar, bahwa untuk membunuh lawan politik tidak perlu aturan budaya, dan tidak pula diperlukan adanya sikap hormat terhadap prinsip-prinsip kebudayaan. Tidak mengherankan jika saat ini bangsa Indonesia harus menanggung beban budaya (prasangka budaya yang bersifat SARA) yang diakibatkan oleh permainan politik Soeharto di masa lalu. Kini Ismeth sepertinya mengulangi kesalahan tersebut. Kenyataan ini memaksa kita untuk mundur 100 tahun ke masa lalu, dimana faktor primordialisme sangat mewarnai setiap keputusan politik. Hal inilah yang penulis sebut sebagai langkah taktis yang tidak rasional dan sekaligus sebagai sebuah ‘pengingkaran’ terhadap realitas kehidupan masyarakat yang plural (plural society). Jika ketiga prinsip dasar tersebut di atas diabaikan maka dengan sendirinya kebijakan Ismeth (tentang susunan kabinet pemerintahan dan kebijakan pembangunannya) kehilangan legitimasi etis dan kulturalnya. Kondisi ini mengingatkan penulis akan sebuah cerita pendek karya Edgar Alan Poe (1809-1849), judulnya “A Descent into the Maelstorm”. Disana ia bercerita tentang pengalaman seorang yang terjerat di tengah-tengah guntur dan gelombang pasang, diisap oleh angin puyuh raksasa yang mengaduk sebuah danau di Norwegia, daya isap yang merangkulnya erat-erat dan mengajaknya tenggelam ke dasar danau. Orang itu selamat secara ajaib, tapi ia menjadi tunarungu, rambutnya memutih, ia selalu gemetaran, dan di segenap serabut ingatannya hanya mengalir jeritan, pergulatan, dan pukulan dahsyat. Sangat disayangkan, cerita tersebut justru banyak dialami oleh mantan pejabat negara di jaman diktator Soeharto. Mereka adalah para penguasa yang pongah dan arogan yang membuang catatan-catatan tentang legitimasi etis dan legitimasi kultural ke keranjang sampah, di pinggir jalan! Maka, pepatah Latin benar adanya ketika berkata “ Nihil potest ordinary in adequem ad finem. Misi pra-exist in ipso qua dam proportio ad finem” (tak ada yang dapat diarahkan kepada suatu tujuan kalau di dalam dirinya sudah tidak terdapat keselarasan dengan tujuan tersebut).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar