Senin, 08 Februari 2010

AWAS(I) POLITISI BUSUK*

AWAS(I) POLITISI BUSUK*

(Catatan Kecil Atas Pemilu 2009)

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

Ketua LSM – Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)

“If you come to help me you can go home again. But if you see my struggle as part of your own survival then perhaps we can work together”. Jika anda datang untuk menolong saya, anda pulang saja ke rumah. Tetapi jika anda melihat perjuanganku sebagai bagian dari kelangsungan hidupmu maka kita bisa bekerjasama (seorang Wanita Aborigin Australia).

Keberhasilan Indonesia melaksanakan Pemilu dan Pilkada menempatkan Indonesia menjadi salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia. Keberhasilan ini patut dibanggakan karena sistem dan mekanisme demokrasi telah berjalan dengan baik. Namun keberhasilan tersebut ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kwalitas pelayanan publik serta dan kwalitas hidup manusia Indonesia.

Salah satu permasalahan demokrasi saat ini adalah lebih menguatnya praktek demokrasi prosedural dibandingkan demokrasi substantif. Hal ini berdampak terhadap tinggi-rendahnya integritas dan moralitas politisi. Demokrasi prosedural, di dalam prakteknya mengaburkan makna partisipatif dan memarjinalkan posisi rakyat sebagai subjek demokrasi sehingga menurunkan kepercayaan publik terhadap elit politik dan Penyelenggara Pemilu (baca; KPU). Terbukti, tidak ada program pelibatan rakyat dalam Pemilu 2009. Partai politik (Parpol) tidak melakukan pendidikan politik bagai pemilihnya. Rakyat menjadi objek dan dianggap hanya sebagai persoalan statistik semata. Parpol dan KPU gagal merumuskan partisipasi rakyat dalam pemilu 2009.

Marjinalisasi rakyat semakin kuat ketika KPU lebih mengutamakan persoalan teknis dan administrasi para caleg. Lihat misalnya, sikap ketua dan anggota KPU Provinsi Kepri menyambut salah seorang anggota DPD yang mendaftarkan diri kembali beberapa waktu yang lalu. Sebaliknya, KPU Provinsi tidak pernah mau ambil-pusing ketika hak-hak politik rakyat hilang karena tidak terdaftar sebagai pemilih. Sungguh ironis, namun hal ini cukup menjelaskan untuk apa dan kepada siapa KPU Provinsi bekerja.

Dengan kondisi seperti ini akan sulit menghasilkan anggota legislatif yang bermutu, yang memiliki konsep pembangunan demi peningkatan kwalitas hidup rakyat. Pendapat Doglas Ramage, pengamat politik Amerika menjelaskan dampak dari praktek demokrasi prosedural tersebut, “Demokrasi di Indonesia jauh lebih bagus dari Negara-negara tetangga. Namun demokrasi itu seakan-akan tidak berkorelasi dengan peningkatan pelayanan publik. Pelayanan di Indonesia merupakan yang terendah di Asia Tenggara”. Dalam konteks inilah kita melihat perlunya sebuah penyikapan kritis dan rasional atas Pemilu 2009, agar tercipta sebuah tatanan demokrasi yang terbebas dari manipulasi para politisi busuk.

Belajar Dari Pemilu 2004

Pengalaman Pemilu 2004 di Batam yang sarat dengan penyimpangan dan manipulasi, mengajarkan kita agar menyikapi Pemilu 2009 secara kritis dan rasional. Kita berharap Pemilu 2009 dapat memberi jaminan terciptanya sebuah tatanan demokrasi politik yang sehat dan bermutu. Bukan justru menjadi ajang transaksi politik demi kepentingan sekolompok orang yang memiliki nafsu kekuasaan yang tak terbatas. Pemilu 2009 harus mampu menjawab tantangan demokrasi serta agenda pembangunannya. Untuk itu, anggota legislatif yang dihasilkan harus memiliki militansi dan kemampuan besar memperjuangkan kepentingan rakyat banyak, karena “ranah politik seharusnya menjadi domain pertarungan ide dan keberfihakan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur tanpa membedakan status dan struktur sosial (J.Kristiadi, Kompas, 25/11/09).

Rendahnya integritas Penyelenggara dan Pengawas Pemilu serta kurangnya sikap kritis masyarakat dalam menyikapi Pemilu, menjadi salah satu faktor masuknya politisi busuk ke dalam lembaga legislatif. Pembiaran atas berbagai bentuk pelanggaran pemilu, mulai dari politik uang, kecurangan penghitungan suara, dan keterlibatan aparatur Negara untuk pemenangan Caleg tertentu merupakan tantangan Pemilu 2009. Pemaknaan atas Pemilu harus dipandang sebagai sebuah upaya merancang dan merencanakan masa depan kehidupan bersama. Kita tidak bisa lagi percaya sepenuhnya bahwa pemilu dengan sendirinya menghasilkan anggota legislatif yang bekerja untuk kepentingan rakyat. Sebab “jika kita gagal merencanakan, maka kita sedang merencanakan kegagalan kita” (If we fail to plain, we plan to fail).

Robert Dahl dalam bukunya Polyarchy : Partisipation and Oppposition, tentang apa yang harus dijamin oleh penguasa/pemerintah agar rakyat diberi kesempatan untuk : pertama, merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri; Kedua, memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan ketiga, mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasarkan isi atau asal-usulnya.

Preferensi dalam perumusan kepentingan rakyat sebagaimana yang disampaikan oleh Robert Dahl tersebut sudah dilakukan dalam bentuk kegiatan Musrenbangda. Namun sangat disayangkan bahwa keberadaan Musrenbangda selama ini terkesan bersifat seremonial belaka. Keterlibatan rakyat hanyalah sebuah kamuflase untuk melegitimasi bahwa pemerintah daerah telah memberi ruang bagi rakyat untuk merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri. Seringkali rakyat tidak mengetahui apakah rumusan kepentingan yang disampaikan dalam Musrenbangda tersebut dilaksanakan atau tidak. Sulit untuk mengetahui sejauhmana pemerintah mempertimbangkan rencana pembangunan yang disampaikan rakyat.

Rakyat Pasif dan Politisi Busuk itu

Menjadi pemandangan umum saat ini dimana sebagian besar rakyat berlomba-lomba menawarkan kegiatan kepada para Caleg untuk bisa mendapatkan bantuan materi. Rakyat cenderung tidak peduli dan tidak pernah mempertanyakan apakah Caleg tersebut memiliki kapasitas dan kapabiltas seandainya duduk sebagai anggota legislatif. Seringkali kegiatan yang dilakukan dengan meminta bantuan para Caleg justru tidak ada kaitannya dengan upaya meningkatkan Informasi Pemilih dan pendidikan politik. Tidak ada kontrak politik atau pakta integritas antara Caleg dengan rakyat, menjelaskan bahwa politik uang tersebut tidak lebih sebagai pembodohan politik.

Rendahnya tingkat partisipasi politik dan menguatnya praktek politik uang bisa jadi disebabkan oleh ketidaktahuan dan terbatasnya akses rakyat tentang Informasi Pemilu. Munculnya sikap “ada uang ada suara” tentu terkait dengan pemaknaan yang keliru atas partisipasi publik, baik itu dari Parpol maupun dari KPU. Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito (2004), mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik (Political Participation), 2) partisipasi sosial (Social Participation) dan 3) partisipasi warga (Citizen Participation/Citizenship). Ketiga hal tersebut seharusnya dijelaskan secara luas oleh Parpol dan Penyelenggara Pemilu sehingga partisipasi publik dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih luas.

Di sisi lain, kita tidak melihat adanya perlawanan secara signifikan dari para Caleg untuk menolak agar tidak terjebak dalam praktek politik uang. Kebanyakan Caleg, entah karena tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas, atau pun karena tidak memiliki integritas politik sehingga takut menolak permintaan bantuan yang bersifat material. Kebanyakan Caleg tidak menyadari bahwa pemberian bantuan materi kepada rakyat justru menjebak mereka menjadi politisi busuk. Tidak bisa tidak bahwa Parpol dan KPU bertanggungjawab atas praktek politik uang tersebut karena mereka gagal mendefinisikan tentang partisipasi publik dalam Pemilu 2009.

Menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) definisi politisi busuk mencakup, antara lain :

1. Koruptor

2. Penjahat HAM

3. Penjahat Lingkungan

4. Pelaku Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

5. Pelaku Kejahatan Narkoba.

Adapun praktek atau modus politik uang yang selama ini dilakukan (Kompas, 5 Februari 2009), yaitu dengan :

1. Membagikan uang secara langsung saat kampanye

2. Membantu lembaga sosial keagamaan

3. Mengadakan acara bakti sosial

4. Membagikan kebutuhan pokok ke kelompok masyarakat tertentu

5. Membantu pembangunan infrastruktur atau proyek

6. Pembagian hadiah lewat undian atau kejuaraan

7. Memberikan beasiswa

8. Pembagian barang dan fasilitas.

Untuk mendorong sikap kritis masyarakat serta melawan politisi busuk dituntut adanya keberanian untuk melakukan perubahan sikap dan paradigma berfikir. Perubahan ini menjadi keharusan, karena sikap pasif dari sebagian besar rakyat dan permainan politik uang yang dipraktekan oleh politisi busuk jelas merusak tatanan demokrasi dan sekaligus menghancurkan harapan rakyat akan peningkatan kwalitas hidup. Mungkin ini yang dimaksud oleh John Maynard Keynes (ahli ekonomi, dalam pengantar buku “The General Theory Of Employment, Interest and Money”, ketika mengatakan : “yang paling sulit bukanlah melahirkan ide baru, tetapi bagaimana meninggalkan ide lama, yang telah menguasai setiap sudut benak kita”.

Dengan demikian meninggalkan ide lama atau “status quo” dari politik uang menjadi politik akal sehat menjadi sebuah keharusan karena perubahan merupakan agenda demokrasi yang sesungguhnya. Itu sebabnya :

“Orang-orang harus dibangunkan/Kesaksian harus diberikan/Agar kehidupan bisa terjaga.”

(Cuplikan Puisi berjudul “Karena”. Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi. Yogya 1974).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar