Kamis, 11 Februari 2010

TANGIS ACEH –NIAS DAN RENUNGAN KEBUDAYAAN ITU

TANGIS ACEH –NIAS DAN RENUNGAN KEBUDAYAAN ITU

Oleh Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua Forum Kerja Budaya Batam

Dan Anggota Dewan Kesenian Provinsi Kepri)

Bencana Alam Di Provinsi NAD dan Sumut mengusik dan menggugah rasa kemanusiaan, mulai dari tingkatan sosial masyarakat terendah hingga mereka merasa hidupnya paling nyaman di dunia ini.. Siapapun kita, pasti tergerak untuk melakukan sesuatu sebagai bentuk keprihatinan dan kepedulian atas Aceh dan Nias. Beragam cara dilakukan untuk dapat membantu beban penderitaan saudara-saudara yang terkena musibah, mulai dari Posko peduli Aceh dan Nias, sampai penggalangan dana melalui pertunjukan seni dan budaya. Media-massa, dengan segala kemampuan berusaha terus-menerus memberi informasi dan juga penggalangan dana melalui sumbangan amal pembaca. Semua upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk membantu masyarakat Aceh dan Nias patut disyukuri karena, hal itu tentu sangat berarti bagi saudara-saudara kita yang terkena bencana alam. Namun dibalik semua itu, ada sebuah pertanyaan yang muncul dibenak kita yaitu, adakah tempat bagi masyarakat umum untuk menyampaikan rasa kepedihan atas peristiwa kemanusiaan di Aceh dan Nias? Pertanyaan ini penting karena, rasa kemanusiaan memiliki dimensi yang sangat luas. Kita tentu berharap bahwa dokumentasi sejarah kemanusiaan dan kepedulian sosial dikemudian hari tidak hanya berupa catatan-catatan peristiwa pemecahan rekor jumlah sumbangan, melainkan juga terhadap berbagai upaya di dalam memaknai bencana dan nilai-nilai kemanusiaan yang menyertainya. Haruskah 100.000 jiwa meninggal terlebih dahulu baru kemudian rasa kemanusiaan kita tergerak? Atau, mengapa perasaan kemanusiaan dan kepedulian sosial kita muncul setelah lebih dari 100.000 jiwa meninggal dunia? Apakah besarnya angka-angka yang meninggal dunia menjadi ukuran rasa kemanusiaan kita? Apakah bencana alam selalu menjadi ukuran atas nilai-nilai kemanusiaan dan kepeduliaan sosial kita? Bagaimana dengan kemiskinan dan ketidakadilan yang membelenggu masyarakat Aceh dan beberapa daerah lainnya selama ini, bukankah hal itu juga merupakan bagian dari persoalan kemanusiaan kita? Mengapa tidak ada solidaritas kemanusiaan dan kepedulian sosial atas mereka-mereka yang juga menderita selama ini? Demikian pertanyaan yang disampaikan oleh Putu Wijaya di dalam acara “Renungan Kebudayaan Untuk Aceh dan Nias” di Lapangan parkir Carnaval Mall Batam Center pada hari Sabtu malam, 8 Januari 2005 yang lalu. Malam itu Putu Wijawa membongkar kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian melalui 2 cerita pendek yang disampaikannya, 1. Dialog antara bapak dan anak tentang Gempa dan Tsunami. 2.Kemerdekaan. Putu Wijaya ingin mengatakan bahwa ada banyak cara dan ada banyak bentuk pertolongan yang dapat diberikan kepada saudara-saudara kita yang terkena bencana di Aceh dan Nias. Disamping memikirkan saudara-saudara kita yang telah meninggal, kita juga di tunutut untuk memikirkan penderitaan saudara-saudara kita yang masih hidup yang menderita akibat bencana tersebut. Dalam kesempatan yang sama, Putu Wijaya juga mengingatkan, bahwa penderitaan manusia bisa terdapat dimana saja, tidak hanya yang diakibatkan oleh bencana alam tetapi juga yang diakibatkan oleh ketidakadilan. Ia meminta kita untuk tidak menunggu bencana alam datang agar rasa kemanusiaan kita bekerja.

Program yang bertemakan “Malam Seribu Lilin Untuk Aceh dan Nias, dilaksanakan oleh Komunitas Seni Pomponk Batam dan Forum Kerja Budaya Batam ini menjadi sebuah sarana ekspresi kemanusiaan bagi seluruh lapisan masyarakat, dari mulai pekerja pabrik, tukang ojek, tukang parkir, preman, pekerja seni, birokrat, para penganggur yang tak tetap, pengusaha papan bawah, wartawan, aktivis, suara perempuan, anak-anak, kelompok-kelompok seni, mahasiswa dan pengamen jalanan. Acara yang disertai dengan orasi kebudayaan ini, menjadi sarana reflektif atas ketidakberdayaan manusia menghadapi kekuatan alam berupa peristiwa gempa bumi dan tsunami yang dashyat itu Kita sepertinya telah kehilangan kebijaksanaan lokal yang kita miliki untuk dapat membaca dan memaknai gejala-gejala alam. Kebijaksanaan lokal itu sendiri bukanlah suatu pengingkaran atas kemajuan tekhnologi dan ilmu pengetahuan, melainkan suatu respon alami untuk membaca dan menafsirkan peristiwa-peristiwa alam. Refleksi kebudayaan ini diharapkan dapat membantu untuk melihat realitas kemanusiaan kita di tengah-tengah kekuatan alam. Dengan tidak merusak lingkungan hidup pun kita tidak berdaya menghadapi bencana alam, apalagi dengan merusak lingkungan hidup secara semena-mena, maka berarti mengundang bencana itu datang. Acara yang di program secara sederhana dan bersifat spontan, membuka kesadaran masyarakat tentang rasa kemanusiaan dan solidaritas atas penderitaan saudara-saudara di Aceh dan Nias. Tidak ada pidato seremonial. Tidak ada pengumpulan sumbangan amal dari penonton. Tidak ada undangan VIP. Tidak ada suguhan makanan untuk tamu kehormatan. Semua yang hadir adalah tamu terhormat. Karena untuk rasa kemanusiaan dan kepedulian atas sesama tidak mengenal jenjang kepangkatan atau kedudukan dan juga kelas sosial. Renungan kebudayaan untuk Aceh dan Nias juga di isi dengan pertunjukan seni, berupa teater, musik, dan puisi serta Orasi kebudayaan untuk Aceh dan Nias dari Putu Wijaya. 40 perserta tediri dari kelompok seni dan perorangan yang tampil pada malam “Seribu Lilin” mengaktualisasikan gagasan kreatifnya di dalam bingkai “keprihatinan dan kepedulian” untuk Aceh dan Nias. Namun satu hal yang penting untuk di apresiasi adalah kesediaan mas Putu Wijaya tampil di Batam memberikan Orasi kebudayaannya tanpa menerima honor sepeser pun. Padahal, penulis mengetahui dari teman-teman Komunitas Seni Pomponk Batam, bahwa mas Putu Wijaya juga menerima undangan untuk mengisi acara pada waktu yang sama di beberapa kota lainnya di Indonesia. Demikian juga halnya dengan teman-teman pekerja seni dan anggota masyarakat lainnya pada malam “Seribu Lilin Untuk Aceh dan Nias” bersedia tampil tanpa diberi imbalan sama sekali. Semuanya datang dengan sukarela dan keikhlasan menunjukkan solidaritas dan rasa kemanusiaan untuk saudara-saudara kita yang tertimpa bencana alam. Hal ini membuktikan bahwa sesungguhnya solidaritas kemanusiaan dan kepedulian sosial masyarakat begitu besar dan tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar