Kamis, 11 Februari 2010

PERSPEKTIF SOSIO-KULTURAL DI RUANG POLITIK KEBUDAYAAN

Perspektif Sosio-Kultural Di Ruang Politik Kebudayaan

Sederhana saja, penyebabnya justru karena keadilan dan kesejahteraan telah kehilangan pelindungnya. Benar, keadilan dan kesejahteraan dijadikan janda dan harus pula ditambahkan dengan satu pernyataan kebenaran yang lain: “keadilan dan kesejahteraan adalah janda kita semua”. Kalau demikian halnya pastilah masyarakat kita belum benar-benar merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. “Tanpa kemerdekaan, industri besar mungkin dapat disempurnakan, tapi keadilan dan kebenaran tidak”. (Albert Camus)

Masyarakat saat ini sangat sedikit –untuk mengatakan sama sekali tidak- menerima informasi tentang proses pembangunan Provinsi Kepri. Apa seharusnya dilakukan dan bagaimana menghadapi serta mengatasi tantangan provinsi Kepri saat ini dan ke dapannya, menjadi tanda tanya yang tak terjawab. Harapan bahwa Pilkada dapat melahirkan isu-isu strategis pembangunan justru lebih diwarnai oleh kepentingan praktis yaitu, berita tentang pembentukan tim sukses, dukung-mendukung kandidat gubernur, gojang-ganjing partai politik, persoalan putra daerah dan non-putra daerah, serta permasalahan primordialisme kedaerahan dan kesukuan. Namun begitupun kita perlu menyikapi secara rasional berbagai permasalahan yang berhubungan dengan isu sosial-budaya, karena ia juga merupakan bagian dari permasalahan di dalam rangka pembangunan Provinsi Kepri. Kita tak bisa menafikan fakta empirik bahwa masyarakat menerima warisan ketidakadilan dan ketidakbenaran sosial-budaya sebagai akibat dari kebijakan politik kebudayaan yang serba seragam itu. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi stimulus di dalam upaya menyikapi fenomena sosial-budaya dan sekaligus membangun perspektif dialogis di ruang kebudayaan.

Perspektif Kebudayaan

Di dalam kata pengantar buku “Rakyat Melayu”: Nasib Dan Masa Depannya, DR. S. Husin Ali, ahli sains dan peneliti sosial, Guru Besar di Institut Pengajian Tinggi, Universiti Malaya, mengatakan :”Rakyat Melayu kini berada di persimpangan jalan. Banyak masalah dan tantangan yang harus dihadapi akibat tanggapan dan reaksi yang berbea-beda. Seringkali mereka kehilangan arah dan dengan demikian hilang pula tujuan mereka yang objektif. Banyak kebencian emosional telah menjadi warisan, yang jika tidak diarahkan secara tepat dapat mengakibatkan kekacauan dan kehancuran. Saya percaya bahwa mayoritas rakyat di negeri ini sangat mengharapkan adanya perubahan. Target yang mereka cita-citakan dan jalan yang mereka pilih mungkin saja berbeda. Tetapi bagi mereka yang penting adalah bahwa mereka mempunyai fakta tentang situasi itu dan memiliki analisis yang tepat dan jelas untuk dijadikan pedoman yang mengarahkan aksi mereka. Mereka tidak bisa bertindak hanya bersandarkan emosi belaka”. Kondisi masyarakat melayu di Malaysia 25 atau 30 tahun yang lalu tentu berbeda dengan kondisi saat ini. Namun satu hal yang terpenting yang patut kita apresiasi adalah bahwa kemajuan yang dicapai masyarakat Melayu di Malaysia tidak terlepas dari visi dan misi pemerintah setempat dalam melaksanakan kebijakan pembangunannya. Salah satu point penting yang menyangkut kebijakan pembangunan adalah adanya pemahaman yang jelas dan tegas mengenai definisi seorang Melayu bedasarkan konstitusi dan seorang Melayu berdasarkan sejarah dan sosial budaya. Pemahaman ini tidak saja penting dari segi historis namun juga memiliki arti strategis di dalam meletakkan dasar-dasar pembangunan dan sekaligus mendasari perubahan sosial-budaya masyarakatnya. Pemerintah Malaysia menyadari bahwa faktor historis dan sosial budaya memiliki arti penting sebagai landasan pembangunan menuju masa depannya. Hal ini sejalan dengan rumusan Prof. Muchtar Ahmad (Rektor universitas Riau) yang mengatakan bahwa perubahan masyarakat ditandai oleh dua hal. “Pertama, dengan merubah orientasi nilai budaya yang ada kepada yang lazim dipakai pada masyarakat industri atau modern. Nilai budaya adalah sesuatu kebiasaan, norma, atau adat istiadat yang dianggap baik, benar, dan berguna dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, tenaga besar yang menyebabkan perubahan perilaku masyarakat adalah tekhnologi dalam berproduksi. Oleh karena itu, bila memang hendak menjadikan masyarakat sejahtera dan cerdas, mustahil akan wujud dengan nilai budaya dan tekhnologi berproduksi yang dipakai sampai dewasa ini” (Harian Pagi Riau Tribun, “Menuju Masyarakat Industri”, Kamis 24 Februari 2005).

Indonesia sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Malaysia karena kita juga memiliki landasan pemahaman dari segi konstitusi. UUD 1945 Bab X, Pasal 26, ayat 1 dikatakan bahwa : “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan udang-undang sebagai warga negara”. Adapun Bab X, Pasal 27 dikatakan “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (Perubahan kedua disahkan 18 Agustus 2000). Namun yang menjadi permasalahan bagi kita adalah belum adanya pemahaman yang jelas dan tegas tentang keIndonesiaan dari persepektif sejarah dan sosial-budaya. UUD 1945 Bab XIII, Pasal 32, mengatakan : “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah-tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Pasal ini terlalu menekankan peran negara sebagai pelaku kebudayaan, padahal pelaku kebudayaan adalah masyarakat. Seharusnya- menurut hemat penulis- perubahan Pasal 32 tersebut berbunyi: “Masyarakat memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan negara menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Dalam rangka kerja kebudayaan, negara adalah sebagai fasilitator dan wasit, bukan sebagai pemain dan sekaligus wasit. Jika negara berperan sebagai pemain dan wasit tentu akan memiliki implikasi terhadap proses demokratisasi kebudayaan. Tidak mengherankan jika kenyataannya kita melihat bahwa prinsip-prinsip kemajemukan kebudayaan bangsa Indonesia belum berjalan secara seimbang sesuai dengan keutamaan dan keunikan masing-masing daerah. Permasalahan utama di dalam sistem demokrasi di Indonesia adalah tidak dipahaminya secara benar oleh pemegang kekuasaan bahwa pluralitas masyarakat itu adalah kemajemukan yang didasari oleh berbagai keutamaan, keunikan dan kekhasan. Kondisi ini tidak bisa diperlakukan pemaksaan untuk menciptakannya menjadi suatu keseragaman dan kesatuan. Keberadaan pluralitas itu sendiri hanya dapat dimengerti pada kedudukannya sebagai antitesis dan subjek perbandingan dari keseragaman dan kesatuan. Sementara ideologi pembangunan yang ditawarkan selama ini lebih merupakan tafsiran keinginan penguasa sendiri, yaitu dengan memberi label “untuk kemajuan bangsa dan negara”, “menuju bangsa yang modern”, meskipun sesungguhnya adalah suatu upaya sentralisasi yang tidak produktif dan jauh dari semangat demokrasi.

Primordialisme

Primoridialisme sebagai suatu istilah pada hakekatnya juga memiliki sifat-sifat yang terdapat pada konsep pluralisme. Dikatakan demikian karena sesungguhnya sebagai kata ajektif “primordial” itu sendiri berarti kreatif, tua, yang mula-mula, orisinal atau utama. Sebagai konsep sosiologis “primordialisme” bermakna pemikiran untuk mengutamakan atau ide menempatkan pada tempat yang pertama kepentingan suatu kelompok atau komunitas masyarakat. Pemikiran yang mengandung sikap penonjolan diri itu selama hanya menjadi komsumsi bagi komunitasnya secara internal tentu saja tidak merupakan suat masalah. Permasalahan akan muncul pada spektrum kemasyarakatan yang lebih luas; yakni apabila realisasi pemikiran suatu masyarakat dalam mengutamakan kepentingannya melanggar masyarakat lainnya yang juga mengutamakan kepentingannya. Keadaan seperti ini mewujudkan rasa ketidakseimbangan dan ketidakadilan, serta tidak mustahil akan mendorong timbulnya fenomena yang disebut Shils (1957) dan Geertz (1973) “sentimen primordial”. Sentimen primordial adalah perasaan-perasaan dan pengikatan-pengikatan yang dianggap gambaran baik secara fisik, psikologis, maupun lingkungan sosial; seperti wilayah asal, religi, bahasa, dan kekerabatan dan geneologi yang semua isinya menunjukkan identitas perseorangan atau kelompok; adanya perasaan memiliki dan percaya memegang suatu peranan penting dalam membawakan sikap persamaan senasib kelompok tersebut.

Mereduksi permasalahan kebudayaan dan membawanya ke dalam ruang konflik kepentingan politik jangka pendek tidak saja akan mengaburkan subtansi permasalahan sosial-budaya yang kita hadapi saat ini, melainkan juga mengaburkan tujuan-tujuan besar guna mengatasi tantangan kebudayaan di abad 21 ini. Kenyataannya saat ini kita menghadapi permasalahan kebudayaan yang sangat mendasar seperti, permasalahan eksistensial, ketidakadilan, pergeseran nilai-nilai, orientasi kebudayaan dan transformasi kultural di tengah globalisasi. Tantangan pembangunan Provinsi Kepri sebagaimana penulis uraikan sebelumnya (baca; Uba Ingan Sigalingging, “Tantangan Provinsi Kepri”, Batam Pos, 6 & 7 Oktober 2004) memiliki dimensi kultural yang bersifar struktural dan historis. Sehingga diperlukan seorang pemimpin- siapa pun itu, untuk dapat membebaskan masyarakat dari belenggu kultural yang bersifat struktural dan historis tersebut. Setidaknya ada 3 prioritas pembangunan menuju Provisi Kepri yang maju dan bermartabat, yaitu : 1. Pembangunan di wilayah sub-struktur; 2. infra-struktur, dan 3. supra-struktur. Sub-struktur menjadi prioritas pembangunan karena menyangkut persoalan kesadaran masyarakat, cita-cita, harapan-harapan untuk maju dan berkembang. Adapun pembangunan Infra-struktur adalah untuk mendukung terwujudnya cita-cita dan harapan masyarakat tersebut. Sementara pembangunan supra-struktur merupakan sarana pengembangan SDM dan kwalitas kemanusiaan di dalam pembagunannya. Pertanyaannya adalah siapakah pemimpin Provinsi Kepri nantinya yang mampu menghadapi dan sekaligus mengatasi berbagai tantangan pembangunan yang kompleksitas permasalahan dan tingkat problematikanya sangat tingggi itu? Apa yang akan dilakukan dan bagaimana Gubernur Kepri nantinya mengatasi tantangan pembangunan yang multi-dimensional itu? Pertanyaan-pertenyaan tersebut sangat penting diajukan karena berkaitan dengan aktualitas nilai-nilai sosial budaya, yaitu di dalam rangka mengembangkan dan memajukan kebudayaan daerah melalui partisipasi para elit politik lokalnya. Di dalam konteks pembangunan, permasalahan Primordialisme dalam Pluralitas etnis menjadi sebuah tantangan bersama terutama setelah bergulirnya Otonomi Daerah.

Tuntutan terhadap keadilan dan pemerataan pembangunan serta diakuinya nilai-nilai lokal menjadi sebuah keniscayaan. Itu sebabnya pluralitas masyarakat bangsa Indonesia sebagai kenyataan sosial-budaya dan sejarah semestinya dilihat sebagai sesuatu yang wajar, dalam pengertian menempatkannya sebagai diskursus yang seimbang, serasi dan selaras. Hal ini secara sosial-budaya berarti menempatkan semua pembicaraan tentang sukubangsa pada suatu tingkatan yang sederajat. Harus diakui bahwa terdapat kesalahan selama ini di dalam mengidentifikasikan kemajemukan bangsa Indonesia dengan menyatakan bahwa” untuk mengerti bangsa Indonesia cukuplah melalui telaah terhadap sukubangsa-sukubangsa yang besar dan berpengaruh”. Wacana telaah seperti itu sama tingkat validitasnya apabila menyatakan pembangunan Indonesia sukses dan berhasil, hanya dengan mendasarkannya kepada pesatnya pembangunan di pusat (Jakarta) atau di pulau Jawa (Rachman Patji, 2001).

Kita memiliki tanggungjawab bersama membongkar dan meluruskan pandangan serta kebijakan pembangunan yang salah terutama dalam hal prinsip-prinsip kemajemukan dan demokratisasi sosial-budaya. Apa yang dikatakan Pierre Boulez (komponis avant-garde Perancis), relevan untuk kita cermati, yaitu “Nothing was finished, everything was still be done” (Tak ada yang selesai, segala sesuatu masih harus dikerjakan). Ini mengingatkan bahwa kita baru memulai dan dengan demikian masih harus mengerjakan segala sesuatu untuk pembangunan Provinsi Kepri. Mejawab tantangan tersebut tidak cukup hanya dengan bermodalkan slogan-slogan pembanguan dan mimpi-mimpi kosong tetang kemajuan melainkan dengan membogkar permasalahan yang bersifat mendasar, yaitu memutus mata-rantai ketidakadilan dan penindasan yang dibugkus atas nama modernitas. Tantangan terberat yang harus diatasi oleh pemimpin di Provinsi Kepri saat ini dan kedepannya adalah bagaimana membangun kesadaran kultural sebagai dasar pijakan pemberdayaan masyarakat ketingkat yang lebih cerdas dan bermartabat. Pendidikan politik yang sehat dan cerdas serta pentignya politik penyadaran bagi masyarakat merupaka langkah strategis yang harus dilakukan oleh pemimpin Provinsi ini guna mengatasi hambatan dan belenggu yang bersifat struktural dan historis tersebut. Kita sama-sama akan mengetahui apakah Gubernur Kepri yang terpilih nanti akan menjadi penguasa yang justru mengeksploitasi kebodohan dan kemiskinan masyarakatnya atau sebaliknya, memerdekakan rakyatnya dari belenggu ketidakadilan, kebodohan dan kemiskinan.

Oleh Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Anggota KUALI Kampus Dan Ketua Forum Kerja Budaya Batam,

Pernah Mengajar Di IKIP Jakarta Dan

Di Fakultas Kesenian Universitas HKBP Nomensen Medan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar