Kamis, 11 Februari 2010

MENCERMATI ISSUE KEBUDAYAAN

MENCERMATI ISYU KEBUDAYAAN

(Catatan Atas Ketahanan Nasional Di Provinsi Kepri)

Oleh Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua Forum Kerja Budaya Batam,

dan Anggota Dewan Kesenian Provinsi Kepri}

Bimbingan ada karena manusia tidak mampu mnggunakan pengertiannya tanpa pertolongan orang lain. Bimbingan bermamfaat bila diperlukan bukan karena kurangnya kemampuan rasio, tetapi karena kurangnya keberanian untuk menggunakan rasio tanpa pertolongan fihak lain… ” (Immanuel Kant).

Saat ini bangsa kita mengalami suatu proses transisi pada hampir semua tingkatan kehidupan, yang mana transisi ini merupakan konsekunsi logis dari berubahnya sistem pemerintahan yang sentralistik ke de-sentratralisasi. Namun di dalam perkembangan proses transisi tersebut, kita belum melihat secara jelas tentang hal-hal apa saja yang sedang dan akan dilakukan guna meningkatkan kwalitas berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam rangka kerja kebudayaan. Salah satu persoalan besar yang berkaitan dengan proses pembangunan saat ini adalah belum dikaji ulangnya tatanan nilai dan sistem makna yang terkandung di dalam kebudayaan kita. Selama lebih dari 50 tahun Indonesia merdeka dan terutama 30 tahun masa diktator Soeharto berkuasa, kebudayaan seakan-akan menjadi terdakwa di dalam proses pembangunannya. Dengan kata lain, pembangunan-isme yang dicanangkan tidak berpijak pada realitas keragaman budaya yang ada di seluruh wilaya Indonesia. Sering terdengar bahwa keterbelakangan bangsa kita saat ini disebabkan oleh tidak adanya kontribusi budaya terhadap kemajuan bangsa. Budaya dianggap tidak memiliki peran strategis yang dapat menstimulus kemajuan bangsa. Namun jika kita memperhatikan secara seksama ternyata bahwa kegagalan bangsa ini mengembangkan segenap potensi sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) lebih disebabkan oleh ketidakmampuan kita menerjemahkan secara luas dan konkrit sistem nilai dan makna yang terkandung di dalam kebudayaan. Sebagai contoh, kita gagal memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional yang dapat mempersatukan seluruh kekuatan dan potensi bangsa. Bahasa Indonesia. - sepanjang yang penulis ketahui- masih sebatas alat komunikasi dengan fungsi sosial semata, sementara perannya sebagai bahasa ilmu pengetahuan di dalam rangka transformasi kultural belum teruji secara empirik. Kekayaan budaya dengan beragam isi yang menyangkut nilai dan makna budaya belum mampu diterjemahkan secara luas ke tengah-tengah masyarakat karena keterbatasan bahasa Indonesia menafsirkan nilai-nilai yang terkandung di dalam beragam budaya tersebut.

Kita semua telah maklum bahwa transformasi budaya menyangkut dua jalur transformasi besar yang saling berkaitan. Yaitu transformasi budaya kita yang menarik budaya etnik ke dalam tatanan budaya negara-kebangsaan, serta transformasi kita yang menggeser budaya agraris tradisional ke tatanan budaya industri modern. Transformasi budaya yang pertama adalah konsekuensi dari komitmen kita untuk bersedia bersatu bernaung dibawah satu negara-kebangsaan yang berbentuk satu republik kesatuan. Sedang yang kedua adalah konsekuensi dari komitmen untuk mengubah sistem ekonomi pertanian tradisional menjadi suatu sistem ekonomi industri dan perdagangan. Pada jalur transformasi budaya etnik menjadi budaya negara-kebangsaan tantangan yang dihadapi adalah bagaimana menciptakan kondisi yang sehat serta menguntungkan bagi terciptanya dialog budaya antar nilai-nilai etnik dengan nilai-nilai negara-kebangsaan. Adapun nilai-nilai etnik adalah nilai-nilai tradisional yang diwarisi oleh lingkungan etnik dari pemantapan struktur masyarakat-masyarakat yang mendahului mereka. Sedang nilai-nilai negara-kebangsaan adalah nilai-nilai kontemporer yang diletakkan oleh persyaratan minimal untuk membangun sosok stuktur negara kebangsaan tersebut. Namun persoalannya adalah: dapatkah dibayangkan suatu kondisi dialog yang bersemangat to take and give yang sehat antara masyarakat etnik dengan negara-kebangsaan? Kondisi yang timpang dan tidak sejajar dari berbagai sistem nilai tradisional yang disebabkan oleh tidak sejajarnya laju pertumbuhan budaya, sosial, ekonomi, maupun populasi dari masyarakat-masyarakat etnik cenderung mendorong terciptanya ketimpangan dan ketidak-sejajaran dialog, baik antara masyarakat-masyarakat etnik maupun antara masyarakat etnik dengan negara kebangsaan” (Umar Kayam, “Pembebasan Budaya-Budaya Kita”, Pidato Kebudayaan, di Graha Bhakti Budaya, Jakarta, 18-Agustus 1989). Inilah yang membedakan bahasa Indonesia dengan bahasa Jepang, misalnya.

Heterogenitas budaya bangsa Indonesia kerapkali dijadikan alasan-alasan penghambat bagi kemajuan bangsa. Padahal berbagai bentuk entitas budaya yang merupakan kekayaan bangsa Indonesia seharusnya dapat saling melengkapi satu sama lain guna melakukan kerja kebudayaan seara luas. Kenyataannya, kita cenderung menghindari setiap pembicaraan tentang kebudayaan baik sebagai jalan hidup (way of life), pandangan hidup (view of life) maupun sebagai sistem nilai dan sistem makna. Bukankah seluruh aspek kehidupan yang berkaitan dengan kerja tekhnologi, ekonomi, sosial-politik, budaya dan pendidikan adalah merupakan bagian dari kebudayaan? Keunggulan bangsa Jepang yang sangat membingungkan bangsa-bangsa maju misalnya, justru lebih disebabkan oleh kemampuan mereka melakukan tranformasi budaya, dimana prinsip-prinsip semangat hidup dan semangat berkompetisi menjadi landasan hidup masyarakatnya. Pada umumnya mereka akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa keberhasilan Jepang tidak dapat ditiru oleh bangsa-bangsa lain, karena faktor-faktor bagi suksesnya Jepang yang paling fundamental ternyata terletak pada tata nilai dan kebudayaannya. Demikian uniknya keberhasilan Jepang, sehingga para pakar manajemen dibuat bingung, karena ternyata di Jepang tidak ada sekolah-sekolah manajemen gaya MBA seperti yang menjadi mode di seluruh dunia. Dengan pemahaman yang mendasar atas prinsip-prinsip kerja kebudayaannya, mereka berhasil mengembangkan satu segi manajemen yang menjadi terkenal dengan nama Total Quality Control (TQC) atau Quality Control Circle (QCC).

Membangun Kesepahaman Budaya

Ketika Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah bergulir, maka ketika itu pula harapan untuk membebaskan masyaraakat (di daerah) dari berbagai bentuk kemiskinan, ketimpangan sosial-ekonomi, dan belenggu budaya muncul. Harapan tersebut tidak terlepas dari latarbelakang sejarah politik Indonesia di masa pemerintahan diktator Soeharto; yang memperlakukan keseragaman nilai sebagai dasar dari politik kebudayaannya. Melalui keseragaman sistem nilai maka terciptalah jargon politik yang sangat sakral dan sakti, yaitu “Persatuan dan Kesatuan”. Secara etimologis, kedua kosa-kata tersebut berasal dari kata dasar sama, yaitu “satu”. Di dalam prakteknya, jargon tersebut secara nyata mengabaikan) keragaman nilai-nilai budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat mulai dari Sabang sampai Merauke. Konsep dan Praktek pembangunan-isme yang didengung-dengungkan regim Orba tidak saja gagal membebaskan manusia Indonesia dari belenggu kulturalnya, namun juga membunuh keragaman nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh berbagai suku-bangsa di Indonesia. Bahasa politik kita tidak mengenal istilah budaya tandingan (counter-culture) yang dapat digunakan sebagai penyeimbang atas hegemoni politik kebudayaan selama Orba berkuasa. Padahal satu-satunya harapan yang dimiliki masyarakat yang dapat membebaskan mereka dari belenggu struktural dan berbagai bentuk ketidakadilan adalah budaya, baik dalam pengertian ekspresi kultural maupun dalam rangka aktualisasi kebebasan dan kemerdekaannya. Itulah sebabnya ketika UU Otonomi daerah digulirkan muncul semangat kedaerahan, apakah itu dalam bentuk ekspresi kebudayaannya, maupun yang berkaitan dengan tuntutan kewenangan serta hak-hak kultural yang berada di wilayah sosial-ekonomi dan sosial- politik.

Kita melihat bahwa saat ini ada keberanian yang berterus terang dari masyarakat Indonesia untuk mengekspresikan serta mengaktualisasikan identitas kedaerahannya tanpa dibayangi rasa takut akan berurusan dengan fihak yang berwajib (baca; penguasa militer setempat). Keberanian didalam mengekspresikan tuntutan-tuntutan yang bersifat kedaerahan ini jika disikapi secara rasional dapat mendorong kreativitas masyarakat terutama dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan agenda kerja kebudayaannya. Otonomi Daerah memungkinkan masyarakat untuk mereaktulisasi, merevitalisasi, merekonstruksi, meredefinisikan dan meropisisi kembali segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai-nilai, makna, simbol, bentuk-bentuk dan semangat kebudayaan daerahnya. Hal-hal tersebut sangat penting dilakukan karena sistem nilai dan sistem makna pada akhirnya akan berhadapan dengan tantangan kebaruan dan semangat jaman. “Karena yang menandai seluruh fajar perkembangan ide-ide,” tulis William Stern, “bahwa ide-ide itu tidak pertama-tama berupa kenangan yang menunjuk masa lampau, melainkan berupa ramalan-ramalan yang tertuju pada masa depan-biarpun masa depan itu begitu dekat. Disini untuk pertama kali kita jumpai hukum umum perkembangan. Kesadaran lebih dahulu mengacu kepada masa depan, baru kemudian kepada masa lampau”.

Jika kita sepakat dengan apa yang dikatakan oleh William Stern, maka jelaslah bahwa agenda kerja kebudayaan yang akan kita laksanakan (baca; pembangunan secara holistik) dapat dipastikan mengacu ke masa depan. Namun di dalam praktek kebudayaan, membangun kesadaran masa depan ternyata jauh lebih sulit dibandingkan dengan membangun monumen kebudayaan tentang masa depan itu sendiri. Untuk membangun kesadaran masa depan diperlukan preferensi kultural dan rasionalisasi dalam hal tindakan komunikasi. Preferensi kultural merupakan sebuah keharusan karena ia membongkar keterbatasan-keterbatasan kognitif dan sekaligus membuka jalan terciptanya sebuah proses adaptif terhadap perubahan yang diharapakan. “Asumsi pendekatan kultural di dasarkan pada pertimbangan teori kebudayaan, bahwa sistem nilai mempengaruhi pembentukan sistem simbol, dan sistem simbol itu pada akhirnya mempengaruhi sistem-sistem sosio-kultural” (Kuntowijoyo). Adapun tindakan komunikasi itu akan berperan dalam tiga fungsi, yaitu: perkembangan pemahaman bersama, meningkatkan integrasi sosial dan solidaritas serta sosialisasi sebagai pembentukan identitas diri. Komponen-komponen struktural yang berkaitan dengan tiga fungsi tersebut adalah kebudayaan, masyarakat, dan kepribadian. Ketiga fungsi ini dapat dikatakan sebagai fungsi komunal karena akan mengacu pada integrasi sosial, peranan konsensus, kooperasi, dan komunikasi. Habermas menggambarkan bahwa “Masalah-masalah masyarakat modern terutama berasal dari fakta bahwa dunia kehidupan dan sistem telah terpisah dan tak sesuai lagi. Akibatnya, biasanaya muncul konflik ketika dunia-kehidupan dan sistem itu bertemu”. Di dalam konteks inilah kita memandang bahwa Ketahanan Nasional memiliki kaitan erat dengan pemahaman keragaman budaya. Kesepahaman budaya akan menjadi stimulus bagi produktivitas serta kreativitas masyarakat dan pemerintah jika ia ditempatkan secara proporsional di dalam proses pembangunan. Mengingat luasnya dimensi kebudayaan sehingga diperlukan suatu ruang dialog dimana pembicaraan tentang berbagai isyu-isyu kebudayaan dapat dilakukan secara menyeluruh. Ruang dialog diharapkan dapat menjawab berbagai tantangan dan fenomena sosial-budaya, sosial-ekonomi dan sosial-politik yang diakibatkan oleh tersumbatnya proses komunikasi kultural secara dialogis, baik di dalam rangka pemaknaan terhadap Otonomi Daerah maupun di dalam mengembangkan nilai-nilai ketahanan nasional di masing-masing daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar