Kamis, 11 Februari 2010

KORUPSI DAN MATINYA DEMOKRASI

KORUPSI DAN MATINYA DEMOKRASI

Kasus Korupsi Dana Purnabakti DPRD Kota Batam

Oleh: Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua Forum Kerja Budaya Dan Anggota Forum Kecil Batam)

Bangunan itu didirikan oleh arsitek yang sangat ahli dan terpercaya, landasan yang kokoh; bagian-bagiannya indah dan berguna; tata aturannya arif dan bijaksana; dan pertahanannya sulit ditembus dari luar. Bangunan itu dirawat supaya dapat hidup abadi, jika karya manusia dapat disebut demikian. Namun, bangunan itu dapat sirna dalam satu jam oleh kepongahan, atau korupsi atau karena melalaikan perawat satu-satunya yakni-rakyat. Republik didirikan-dengan kebajikan, semangat melayani publik, dan kemampuan berpikir warganya. Republik runtuh, ketika orang arif bijaksana disingkirkan dari dewan-dewan pemerintahan, karena mereka berani jujur, dan orang yang culas diberi imbalan karena memuja-muji rakyat, untuk menghianati mereka (Dr. Sachidanand Siha ketika mengetuai sidang pembukaan Parlemen India, Desember 1946).

Setelah tumbangnya sistem monarki terpusat, aristokrasi turun-temurun, oligarki berdasarkan hak pilih yang terbatas dan sempit, maka demokrasi muncul sebagai kekuatan politik di dunia. Memasuki abad ke-20, demokrasi berhadapan langsung dengan sistem totaliter yang anti-demokrasi, seperti kaum komunis, fasis dan Nazi, dan kediktatoran militer, terutama sekali di Amerika Latin. Persoalannya bagi kita sekarang ini adalah, apakah demokrasi yang pada akhirnya telah memenangkan pertarungan mampu mendorong terciptanya kepercayaan rakyat atas pemimpinnya? Jawabannya tidak! Anti-demokrasi saat ini terus berlanjut, sering berjalin dengan nasionalisme fanatik atau fundamentalisme agama. Selain itu, ketimpangan struktural yang mengakibatkan munculnya ketidak-adilan dan kemiskinan merupakan tantangan demokrasi dewasa ini. Wujud dari tantangan demokrasi tersebut tak lain adalah para koruptor, dari mulai tingkatan terendah hingga koruptor tingkat tinggi. Celakanya, praktek korupsi di tanah air kita justru dimotori oleh ketiga bagian yang mendasari demokrasi itu sendiri, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Gurita korupsi telah menjalar pada semua tingkatan di dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Sehingga setiap upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kwalitas kehidupan manusianya selalu mengalami jalan buntu. Disini, kita melihat bahwa demokrasi ideal atau pun demokrasi aktual yang berbicara tentang keseimbangan kekuasaan berubah menjadi demokrasi korupsi. Artinya, tidak ada batasan yang tegas tentang siapa mengawasi siapa, siapa mengawasi petugas, dan petugas mengawasi siapa? Kenyataannya, siapa memiliki kekuasaan paling besar maka mereka pula yang akan menguasasi jalur korupsi terbesar. Telah menjadi “credo” bagi masyarakat umum bahwa tidak ada pembangunan atau proses pemberdayaan (baca; demokratisasi kehidupan) masyarakat yang bebas dari tindakan korupsi. Fenomena ini, yang pada awalnya berada di ruang-lingkup kerja politik, akhirnya berkembang ke domain sosial dan budaya. Korupsi menjadi tantangan yang paling serius bagi kehidupan dan kelangsungan demokrasi kita saat ini. Keberadaan Indonesia di urutan ke tujuh negara terkorup di dunia (menurut lembaga Transparency Internasional) merupakan kenyataan yang sangat memalukan, sampai-sampai Presiden SBY merasa tidak mampu menegakkan kepala ketika berbicara tentang korupsi di forum dunia beberapa waktu yang lalu. Kalau melihat tingginya intensitas berita-berita tentang kasus korupsi di Indonesia saat ini, kita jadi berfikir, jangan-jangan para koruptor telah menyuap lembaga transparansi internasional sehingga posisi Indonesia yang seharusnya berada di nomor urut 1 atau nomor 2 terkorup menjadi peringkat tujuh di dunia.

Kita pernah mendengar pemerintah meminta agar Gerakan Separatis Aceh (GSA) menyerah dengan mengatakan: “menyera dan kembalilah ke Merah Putih”, maka anda akan diterima dengan tangan terbuka”. Saat ini kita ingin mendengar pemerintah mengatakan kepada para koruptor di seluruh wilayah Republik Indonesia, baik yang berada di Tanah Air maupun mereka yang berada di luar negeri: “Wahai para koruptor, kembalilah ke Merah Putih, maka uang yang anda curi akan diterima dengan tangan terbuka”. Bedanya, yang pertama diberi amnesty oleh pemerintah, sementara yang kedua tetap menjalani proses hukum di pengadilan. Kenyataan ini menunjukkan kepada kita bahwa koruptor ternyata lebih berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, tidak saja dipandang dari segi kehidupan demokrasi sosial, ekonomi, budaya dan politiknya, tetapi juga menyangkut hak asasi manusia. Tidak berlebihan jika masyarakat Internasional yang selama ini enggan membahas masalah korupsi, sekarang telah menjadikan masalah ini sebagai sebuah pembahasan yang serius. World Bank misalnya, selama ini memiliki ketentuan untuk tidak membicarakan masalah korupsi karena mereka memandang bahwa masalah korupsi sebagai persoalan politik. tidak ada hubungannya dengan ekonomi, terutama yang berkaitan langsung dengan lembaga keuangan dunia itu. Namun, ternyata pandangan ini dianggap salah oleh Presiden Bank Dunia, James Wolfensohn, kemudian mencampakkan ketentuan itu ke keranjang sampah dan menyatakan bahwa korupsi adalah persoalan ekonomi yang memiliki arti penting bagi kekuatan dan efektifitas proyek-proyek pembangunan yang dibiayai oleh World Bank. Ia mengemukakan kembali pendiriannya ini dalam sebuah pidato, September 1999, dengan mengatakan :”Sebab-sebab krisis keuangan dan kemiskinan satu dan sama… jika negara-negara tidak memiliki tata kelola pemerintahan yang baik. Tidak bersedia menghadapi persoalan korupsi, tidak memiliki sistem hukum yang lengkap untuk melindungi hak asasi manusia, hak milik pribadi dan kontrak… pembangunan di negara-negara bersangkutan pada dasarnya sudah salah dari awal dan tidak akan berhasil.”

Sebuah Tantangan

Sungguh sangat baik bila seseorang sungguh-sungguh benar 55 persen, dan tak perlu hal itu dipertentangkan. Dan jika 60 persen benar, itu luar biasa dan merupakan kebahagian besar. Maka biarlah dia bersyukur kepada Tuhan. Tetapi apakah yang harus dikatakan tentang 75 persen benar? Seorang arif akan mengatakan, ini mencurigakan. Lalu, bagaimanakah pula dengan 100 persen, dia seorang fanatik, seoarang penjahat dan sebangsa bajingan yang paling busuk (Seorang Yahudi Tua Galisia).

Masyarakat tersentak tetapi juga gembira membaca berita di berbagai media-cetak tentang penetapkan Taba Cs sebagai tersangka korupsi 2 milyar lebih dana purnabakti DPRD Kota Batam dalam APBD 2001-2002 Kegembiraan masyarakat Batam bukan karena Taba Cs menjadi tersangka, tetapi lebih disebabkan oleh keberanian Kejari Batam memposisikan dirinya (sesuai dengan fungsi dan wewenang yang dimilikinya) sebagai lembaga penyidik yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum. Setidaknya, apa yang dilakukan Kejari dengan menempatkan Taba Cs sebagai tersangka dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap performance dan kinerja institusi hukum tersebut, terutama setelah berlalunya rejim Orba atau Orde para bandit. Menguatnya isu-isu di seputar tindak pidana korupsi yang melibatkan banyak anggota legislatif menimbulkan dampak terhadap partisipasi politik masyarakat pada umumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Isu korupsi secara cepat mempengaruhi tingkat apresiasi masyarakat terhadap aktivitas sosial-politik. Setidaknya ada 3 hal yang muncul dimasyarakat sebagai akibat dari berkembangnya isu korupsi tersebut. Pertama, hilangnya kepercayaan publik terhadap elit politik, yang mana hal tersebut berdampak terhadap; Kedua, berkurangnya partisipasi publik terhadap persoalan-persoalan sosial-politik. Minimnya tingkat partisipasi politik mengakibatkan; Ketiga, terkikisnya semua aspek legitimasi yang dimiliki para elit politik. Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak lagi dipandang sebagai lembaga representasi kepentingan masyarakat luas, tetapi berubah menjadi Dewan Penyamun/Perampok Rakyat Daerah. Pentingnya kepercayaan publik inilah yang mungkin sering tidak disadari oleh pemain politik yang duduk di lembaga legislatif. Kita tidak melihat ada niat untuk menjaga kehormatan lembaga DPRD dari mereka yang dijadikan tersangka oleh Kejari Batam beberapa waktu yang lalu. Karena apa pun hasil penyidikan akhir dari kasus dugaan korupsi dana purnabakti DPRD kota Batam, secara moral mereka seharusnya mundur sementara dari kedudukannya di lembaga legislatif. Dengan mundurnya tersangka tersebut, maka kehormatan lembaga legislatif dan martabat partai yang diwakilinya dapat terjaga. Tetapi sekali lagi, itu adalah persoalan moral politik. Penulis tidak tahu apakah politisi kita memiliki standar moral yang mengacu kepada kepentingan dan kepercayaan publik? Fenomena korupsi sering dianggap oleh sebagian besar elit politik kita sebagai bagian dari perjuangan politik. Padahal tindakan korupsi dan perjuangan politik adalah dua hal yang secara mendasar berbeda. Keebanyakan anggota legislatif kita tidak bisa membedakan secara tegas antara resiko politik karena perjuangan pandangan dan resiko melakukan tindakan kriminal (baca;korupsi); sehingga sering kita dengar seorang anggota legislatif yang diduga melakukan korupsi mengatakan, bahwa “apa pun hasil akhirnya, itu adalah resiko politik yang harus ditanggung.” Penulis ingin mengutip kembali pandangan Norberto Bobbio, ahli politik Italia masa kini, yang mengatakan bahwa “esensi politik adalah perjuangan pandangan dan kebijakan yang bertentangan”. Yang dimaksud Norberto Bobbio tentu bukan perjuangan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara korupsi, tetapi bagaimana agar sebuah kebijakan dapat terlaksana sesuai dengan prinsip-prinsip garis politik yang dimilikinya. Di dalam konteks kota Batam misalnya, kita sangat jarang mendengar adanya perdebatan tentang arah dan tujuan pembangunan serta apa dan bagaimana langkah-langkah kebijakan yang akan diterapkan untuk mempercepat dan memperlancar proses pembangunan. Hal ini sepertinya tidak menjadi agenda kerja politik kebanyakan anggota legislatif kita. Penulis khawatir, sesungguhnya partai politik dan atau anggota legislatif kita tidak memiliki agenda kerja yang konkrit sehubungan dengan perjuangan pandangan dan kebijakan pembangunan. Sehingga tidak mengherankan jika banyak anggota legislatif berfikir bahwa korupsi merupakan bagian dari perjuangan politik!

Broker Politik Asongan

Adapun pendapat Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah (BAKD) Depdagri, Timbul Pudjianto, yang meminta fihak Kejari Batam bertindak cermat dan teliti dalam melakukan pemeriksaan atas dugaan korupsi dana purnabakti DPRD Kota Batam (lihat, Batam Pos, Sabtu 4 Desember 2004) adalah suatu bentuk intervensi terhadap proses peradilan yang sedang dilakukan Kejari Batam. Dirjen BAKD, Timbul Pudjianto berfikir seperti “broker politik atau pengacara asongan” yang menganggap bahwa Kejari Batam terdiri dari kumpulan orang-orang yang tidak mengerti proses hukum. Sebagai Dirjen, seharusnya ia lebih mengerti tentang etika profesi dibandingkan dengan seorang tukang kebun di kampung. Mudah-mudahan saja fihak Kejari Batam tidak ikut usil mengurusi Undang-undang No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan bagian dari wilayah kerja Depdagri yang notabene amburadul itu.

Sementara pendapat Gubernur Kepri, Ismeth Abdullah yang “meminta kepada seluruh aparat penegak hukum berhati-hati dalam mengambil kesimpulan disertai bukti-bukti yang otentik berdasarkan hasil penyidikan (Sijori Mondiri, Selasa 7 Desember 2004) adalah suatu bentuk arogansi fihak eksekutif terhadap lembaga yudikatif. Seperti halnya Dirjen BAKD, pejabat gubernur Kepri, Ismeth Abdullah seolah-olah ingin mengatakan bahwa Kejari Batam tidak mengerti tentang proses hukum yang dilakukannya sehingga perlu harus berhati-hati di dalam membuat keputusan! Seharusnya, gubernur Kepri memberi kepercayaan sepenuhnya kepada lembaga kejaksaan negeri Batam untuk menuntaskan kasus hukum tersebut secara transparan, bukan sebaliknya, justru ingin menghambat proses kerja Kejari Batam. Jika seorang gubernur sudah tidak mempercayai lembaga hukum tersebut, lantas bagaimana dengan masyarakat pada umunya? Bukankah seharusnya gubernur Kepri memberi contoh yang baik kepada masyarakat dengan mendukung upaya penegakan hukum bagi mereka yang diduga melakukan tindak pidana korupsi? Arogansi kekuasaan yang ditunjukkan pejabat gubernur Kepri terhadap kinerja Kejari Batam tidak saja bertentangan dengan itikad baik Presiden SBY memberantas tindakan korupsi, tetapi juga menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat luas bahwa Gubernur Kepri berkepentingan terhadap kasus dugaan korupsi dana purnabakti saat ini. Sehingga muncul pertanyaan, “yang menjadi tersangka Taba CS atau Dirjen BAKD dan pejabat Gubernur Kepri”? Didalam konteks inilah penulis memandang bahwa Kejari Batam harus menunjukkan independensi yang bebas dari intervensi fihak manapun di dalam menjalankan kewajiban hukumnya. Inilah momentnya bagi Kejari Batam untuk memperlihatkan profesionalitas kerjanya dan sekaligus membuktikan bahwa pendapat kedua pejabat tersebut diatas salah! Bukankah seragam korps adalah simbol dari sebuah institusi yang mengambarkan posisi dan kedudukannya di tengah-tengah masyarakat? Kasus dugaan korupsi Taba Cs akan membuktikan apakah Kejari Batam layak menggunakan seragam korpsnya, atau sebaliknya, berganti ke seragam pramuka atau seragam sekolah dasar.

Sebuah Pertimbangan

Abraham Lincoln pernah bilang bahwa, “Apa yang salah dari sisi moral tidak pernah bisa benar dari sisi politik. Lincoln benar adanya, karena moralitaslah yang mendasari setiap tindakan politik. Jika faktor moralitas diabaikan maka legitimasi kepemimpinannya menjadi hilang atau pun lenyap, dan itu berarti seluruh keputusan yang di hasilkannya cacat secara moral. Hilangnya legitimasi moral yang melatarbelakangi sebuah kebijakan politik, maka dengan sendirinya hilang pula esensi demokrasi yang diperjuangkannya. Istilah ini disebut oleh Peter L.Berger sebagai politik tanpa esensi. Kita menyadari sepenuhnya bahwa setiap tindakan korupsi, dimana pun di dunia ini sangat sulit untuk dibuktikan walaupun dampak yang ditimbulkannya sangat besar terhadap negara dan masayarakat. Persoalan ini semakin sulit untuk diatasi karena pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat cenderung apatis dan lebih suka menyerah kepada keadaan sehingga tindakan korupsi semakin merajalela. Sejarah penuh dengan program pembaruan belaka-janji muluk-muluk dilontarkan sementara tidak ada kemampuan untuk bahkan sekedar mencoba. Salah satu contoh adalah bekas Presiden Korea Selatan, Roh Tae Woo. Ia bersumpah sewaktu dilantik menjadi Presiden akan menjadi Presiden paling bersih dalam sejarah negaranya, tetapi ia harus masuk penjara atas tuduhan melakukan korupsi besar-besaran. Demikian juga halnya dengan bekas Kanselir Jerman, Helmut Kohl, yang mencanangkan dengan lantang program pembaruan yang dirancang untuk memecahkan masalah dana gelap yang mengalir ke partai-partai politik. Tetapi kenyataannya, apa di lakukannya ternyata bertentangan dengan apa yang ia ucapkan. Di dalam konteks lokal saat ini, penulis memandang bahwa keberanian Kejari Batam menetapkan Taba Cs sebagai tersangka Korupsi dana purnabakti DPRD kota Batam patut untuk diapresiasi. Setidaknya ada dua hal yang mungkin dapat melemahkan semangat kerja Kejari Batam di dalam menangani kasus korupsi di Batam, yaitu: Pertama, adanya kecenderungan pejabat pemerintahan untuk tidak mendukung penuntasan kasus-kasus korupsi karena hal ini dikhawatirkan bisa menimbulkan image yang negatif bagi para investor di Batam. Setidaknya, pendapat Gubernur Kepri disebut diatas mengindikasikan adanya kekhawatiran tersebut, disamping kepentingan politik lainnya. Kedua, tidak maksimalnya dukungan dari masyarakat karena apriori terhadap masalah-masalah politik. Minimnya dukungan masyarakat secara terbuka diperparah dengan tidak menyatunya pikiran dan tindakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di dalam menyikapi persoalan-persoalan korupsi. Kita melihat bahwa pasca ditetapkannya Taba Cs sebagai tersangka korupsi dana purna bakti DPRD kota Batam, kebanyakan LSM lebih memposisikan dirinya sebagai penonton pasif daripada berperan aktif memberi dukungan kepada fihak Kejari Batam. Namun terlepas dari dukungan tersebut, masyarakat tetap berharap bahwa demokrasi yang melahirkan pejabat atau pemimpin belum mati di kota ini. Pemerintah punya integritas, atau tidak punya integritas. Kita tidak bisa hanya punya integritas sedikit. Sebuah birokrasi berdiri atau tumbang bersama integritas pemerintah; sedikit saja integritas pemerintah berkurang kepercayaan publik langsung hilang. Tanpa kepercayaan publik, demokrasi tidak dapat berjalan. Kemudian tidak akan ada demokrasi. Dan itu mengerikan (Catherine I. Dales, Menteri Dalam negeri Belanda, tahun 1992). Kejari Batam dituntut bekerja secara profesional dan bersungguh-sungguh agar harapan masyarakat tersebut dapat terpenuhi. Kita tentu sepakat bahwa kita semua bertanggungjawab atas terwujudnya pemerintahan yang bersih dari korupsi dan sekaligus meminimalisir berkembangnya sistem yang telah terkontaminasi oleh korupsi endemik yaitu, dengan cara terus-menerus melakukan koreksi dan bersikap kritis. Kasus tersebut menjadi sebuah langkah pembelajaran bagi pejabat publik agar lebih berhati-hati dan transparan menjalankan amanat rakyat yang di embannya. Karena. “Bila seseorang mendapat kepercayaan publik, ia harus memandang dirinya milik publik” (Thomas Jefferson, kepada Baron Von Humboldt, 1807).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar