Kamis, 11 Februari 2010

SATU ABAD KEBANGKITAN NASIONAL

SATU ABAD KEBANGKITAN NASIONAL

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua Forum Budaya Batam dan

Ketua LSM Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)

“Kami sudah coba yang kami bisa

tapi kerja belum selesai, belum apa-apa

Kami sudah beri kami punya jiwa

Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan

arti 4-5 ribu jiwa

(Chairil Anwar, dari Puisi“Krawang-Bekasi)

PENDAHULUAN

Membaca tentang pergerakan bangsa Indonesia pada awal abad ke-20 adalah membaca Indonesia yang berjuang untuk sebuah pembebasan. Penjajahan Belanda adalah bagian dari sejarah gelap Bangsa Indonesia. Itu sebabnya, penjajahan – mau atau tidak mau – menjadi latar belakang lahirnya ide atau pun gagasan untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Perjalanan sejarah pergerakan yang dilakukan oleh sekelompok kecil kaum terdidik belum mampu membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Hal ini bukan saja karena keterbatasan infrasturktur sosial, politik dan budaya, namun juga karena lemahnya kesadaran sebagian besar masyarakat Indonesia di dalam membebaskan bangsanya dari penjajahan tersebut. Akan tetapi lemahnya infrastruktur sosial, politik dan budaya saat itu ternyata tidak menghambat upaya pembebasan yang dilakukan oleh sekolompok kecil kaum terpelajar. Perjuangan pembebasan tersebut menjadi dasar dan pijakan bagi perjuangan kemerdekaan yang dilakukan angkatan berikutnya. Untuk mengetahui latar belakang bangkitnya nasionalisme di Indonesia dan besarnya pengaruh pendidikan terhadap pergerakan nasionalisme perlu kiranya kita mendapatkan gambaran tentang kebijakan kolonial Belanda di Indonesia pada akhir abad XIX.

Perubahan kebijakan penjajahan Belanda yang melaksanakan “politik Ethis” sebagai salah satu bentuk keprihatinan atas kesejahteraan bangsa Indonesia menjadi hal penting guna memahami sejarah Indoneisa di awal abad ke-20. Didalam prakteknya, Politik Ethis tersebut lebih banyak bersifat janji daripada perbaikan atas kesejahteraan bangsa Indonesia. Faktanya, eksploitasi dan penaklukan sebagaimana lazimnya dilakukan penjajah Belanda tidak mengalami perubahan. Namun setidaknya, Politik Ethis tersebut menjadi stimulus bagi berbagai fihak untuk mengecam ekspolitasi dan penaklukan yang dilakukan oleh penjajah Belanda atas bangsa Indonesia. Salah satu bentuk kecaman terhadap pemerintah Belanda terdapat dalam sebuah novel Max Havelaar (1860) yang mendapat perhatian dunia internasional. Semakin banyak suara Belanda yang mendukung pemikiran untuk mengurangi penderitaan rakyat Jawa yang tertindas, dan akhir abad XIX para pengawai kolonial baru berangkat menuju Indonesia dengan membawa Max Havelaar di dalam kopor mereka dan amanatnya terekam di kepala mereka.

Pada tahun 1899 C. Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia selama tahun 1880-97, menerbitkan sebuah artikel yang berjudul ‘Een eereschuld’ (Suatu hutang kehormatan) di dalam majalah berkala Belanda de Gids. Dia menyatakan bahwa negeri Belanda berhutang kepada bangsa Indonesia terhadap semua kekayaan yang telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberi prioritas utama kepada kepentingan rakyat Indoneisa di dalam kebijakan kolonial. Sampai saat meninggalnya pada tahun 1915 van Deventer adalah salah satu kampium politik Ethis yang terkemuka, penasehat pemerintah, dan angota parlemen. Salah satu kebijakan baru dari politik Ethis adalah dengan diterapkannya tiga prinsip, yaitu educatie, emigratie, irrigatie (pendidikan, perpindahan penduduk, dan pengairan).

Dari kebijakan politik Ethis yang dilakukan oleh penjajah Belanda tersebut kita mengetahui bahwa terbuka peluang bagi rakyat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan. Banyak sekali usaha yang dijalankan di bidang pendidikan, dan hasil-hasilnya seringkali membuat bangga para pejabat Belanda. Semua pendukung politik Ethis menyetujui ditingkatkannya pendidikan bagai rakyat Indonesia, tetapi ada dua aliran pemikiran yang berbeda mengenai jenis pendidikan yang bagaiman dan untuk siapa. Snouck Hurgronje dan direktur pendidikan ‘Ethis’ yang pertama (1900-5), J.H. Abendanon, mendukung pendekatan yang sifatnya elite. Mereka lebih menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan bahasa belanda sebagai bahasa pengantarnya bagi kaum elite Indonesia yang dipengaruhi Barat, yang dapat mengambil alih banyak dari pekerjaan yang ditangani para pegawai pemerintah.

Alexander W.F. Idenburg dan Gubernur Jenderal van Heutzs (1904-9) mendukung pendidikan yang lebih mendasar dan praktis dengan bahasa daerah sebagai bahasa pengantarnya bagi golongan-golongan bawah tersebut. Pendekatan yang sifatnya elite itu diharapkan akan menghasilkan pimpinan bagi zaman cerah Belanda-Indonesia yang baru, sedangkan pendekatan yang merakyat itu akan memberikan sumbangan secara langsung bagi kesejahteraan. Tak satu kebijakan pun dijalankan dengan sumber-sumber yang cukup memadai, dan tak satu pun menghasilkan apa yang diinginkan pleh para pendukungnya.

Dibawah Abendanon pendekatan yang sifatnya elitelah yang diutamakan. Pada tahun 1900 tiga hoofdenscholen (sekolah para kepala) yang lama di Bandung, Magelang, dan Probolinggo disusun kembali menjadi sekolah-sekolah yang nyata-nayata direncanakan untuk menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA (Opleidingscholen voor inlandsche ambtenaren : Sekolah-sekolah latihan untuk para pejabat pribumi). Masa pendidikannya berlangsung selama lima tahun, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya dan terbuka bagi semua orang Indonesia yang telah menyelesaikan sekolah rendah Eropa. Pada tahun 1927 masa pendidikannya dikurangi menjadi tiga tahun. Pada tahun 1900-2 sekolah ‘Dokter-Jawa’ di Weltevreden diganti menjadi STOVIA (School tot opleiding van inlandsche artsen : Sekolah untuk latihan dokter-dokter pribumi). Mata pelajarannya juga diberikan dalam bahasa Belanda. Sejak tahun 1891 sekolah-sekolah rendah Eropa, yang merupakan prasyarat wajib untuk dapat memasuki OSVIA dan STOVIA.

Orang-orang Indonesia kini mempunyai kesempatan lebih luas untuk memperoleh pelajaran bahasa Belanda, tetapi masih ada masalah yang sifatnya structural. Sekolah-sekolah Kelas Satu ditempatkan dalam system pendidikan ‘pribumi’; tidak ada kesempatan bagi orang Indonesia melompat dari sistem ini menuju ke pendidikan lanjutan. Oleh karenanya, sekolah-sekolah Kelas Satu diubah menjadi Hallandsch-Inlandsche Scholen (HIS; ‘Sekolah-sekolah Belanda-Pribumi’) pada tahun 1914.

Di atas tingkatan HIS, pemisahan ras dalam pendidikan sudah tidak ada. Pada tahun 1914 sekolah-sekolah Mulo (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs : pendidikan rendah yang lebih diperpanjang, semacam SLTP) didirikan untuk orang-orang Indonesia golongan atas, orang-orang Cina, dan orang-orang Eropa yang telah menyelesaikan sekolah dasar mereka masing-masing. Pada tahun 1919 AMS (Algemeene Middelbare School : semacam SLTA) didirikan untuk mebawa para memasuki tingkat perguruan tinggi. Hingga saat itu, belum ada pendidikan tingkat perguruan tinggi di Indonesia. Sejumlah kecil orang Indonesia yang mendapat kesempatan memasuki pendidikan perguruan tinggi adalah mereka yang telah berhasil menembus sistem Eropa menuju HBS (Hoogere Burger Scholl : Sekolah Menengah Tingkat Atas) dan kemudian ke perguruan tinggi di negeri Belanda. Pada tahun 1905 hanya ada tiga puluh enam orang Indonesia yang berhasil memasuki HBS. Pada tahun 1913 Hoesein Djajadiningrat (lahir tahun 1886), yang berasal dari salah satu keluarga bupati Jawa Barat yang paling terkemuka, adalah orang Indonesia pertama yang berhasil mencapai gelar doktor di Universitas Leiden dengan disertasinya mengeani Sejarah Banten. Pendidikan tingkat universitas, yang tidak memandang ras, akhirnya dibuka di Indonesia pada tahun 1920 dengan dibukanya Technische Hoogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Pada tahun 1924 sebuah Rechtschool (Sekolah Tinggi Hukum) dibuka di Batavia dan pada tahun 1927 STOVIA diubah menjadi Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran).

Titik puncak upaya perbaikan pendidikan tersebut, seperti halnya langkah-langkah perbaikan Ethis lainnya, tercapai sekitar tahun 1930 sebelum Depresi menghentikan semua perkembangan besar yang baru, walaupun jumlah tempat untuk bersekolah bagi anak-anak terus bertambah banyak. Peningkatan kesempatan di bidang pendidikan telah jauh lebih luas. Pada tahun 1900 bangsa Indonesia yang menuntut ilmu di sekolah-sekolah swasta maupun pemerintah di seluruh Indonesia hanya berjumlah 265.940 anak. Pada tahun 1930-1 jumlah bangsa Indonesia di lembaga-lembaga pendidikan Barat semacam itu sudah mencapai lebih dari 1,7 juta anak. Akan tetapi apabila angka-angka itu diperbandingkan dengan kenyataan jumlah penduduk yang sangat besar, dapat dilihat betapa terbatasnya semua upaya tersebut.

Pada tahun 1930-1 sekitar 1,66 juta orang Indonesia menuntut ilmu di sekolah-sekolah dasar, yang menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar, yang memang diperuntuk bagi mereka : 2,8 persen dari keseluruhan jumlah penduduk, atau 8 persen dari kelompok penduduk antara anak yang belum dapat berjalan dan orang dewasa. Jumlah orang Indonesia yang menuntut ilmu di dalam system sekolah Eropa di bawah tingkatan universitas (termasuk HIS, MULO, AMS, dan sekolah-sekolah kejuruan, tetapi tidak termasuk taman-kanak-kanak) adalah 84.609 orang : 0,14 persen dari keseluruhan jumlah penduduk. Di tingkat perguruan tinggi hanya terdapat 178 orang Indonesia : 3/1.000.000 dari jumlah penduduk. Di sekolah-sekolah kejuruan pertanian dan kehutanan, suatu bidang yang seharusnya di utamakan, hanya terdapat 392 orang Indonesia : 7/1.000.000 dari jumlah penduduk.

Contoh dibawah ini menjadi gambaran tentang keterbatasan-keterbatasan pendidikan tersebut:

Jumlah Orang Indonesia yang memperoleh Pendidikan Barat 1900-1928:

Tahun Jumlah rata-rata orang Jumlah rata-rata orang

Indonesia belajar di sekolah Indonesia belajar di sekolah

Dasar Barat Menengah Barat (termasuk

Mulo (kelas 7-9)

1900-1904 2.987 25

1905-1909 5.175 45

1910-1914 23.910 135

1915-1919 33.516 675

1920-1924 51.308 2.602

1925 61.425 4.431

1926 64.721 4.799

1927 66.824 5.692

1928 74.697 6.468

(Hollandsh-Inlandsch Onderwijs Commissie, no.12, Resume, Batavia, 1931: 24-25. Baca; George Mc Turnan Kahin,” Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, UNS Press, 1995).

Di sisi lain, perbandingan kelulusan siswa sekolah menengah atas menurut kebangsaannya dapat kita lihat pada table berikut :

Tahun Orang Orang Orang Timur Asing

(Rata-rata) Eropa Indonesia (kebanyakan turunan Cina)

1920/14 49 4 3

1920/21 141 11 17

1924/1925 161 32 32

1929/1930 252 157 53

1934/1935 374 204 124

1938/1939 457 204 116

(Brugmans dan Soenario, Enkele Gegevens van Socialen Aard, Ibid. hal.41).

Jumlah orang Indonesia yang belajar di tahun 20-an hanya terbatas pada pendidikan dasar dan menengah. Adapun jenjang pendidikan tinggi masih sangat sedikit jumlahnya, yang mana hal ini tidak terlepas dari keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan tinggi pada masa itu. Perguruan tinggi teknik di Indonesia yang berdiri pada tahun 1916, hukum pada tahun 1926. Menjelang tahun 1940, ada 637 orang Indonesia belajar di pelbagai perguruan tinggi dan 37 diantaranya lulus pada tahun itu (Indisch Verslag 1941, II:103,107. Ibid.).

AWAL KEBANKITAN NASIONAL

Dari pemaparan sekilas tentang sejarah Indonesia di akhir abad XIX kita dapat melihat bahwa faktor pendidikan yang dilatarbelakangi oleh kebijakan ‘politik Ethis’ membawa dampak yang besar bagi rakyat bangsa Indonseia terutama dalam hal kesadaran atas penindasan yang dilakukan oleh penjajah Belanda. Kesadaran akan ketertindasan tersebut mendorong sekolompok kecil elite yang memiliki latar belakang pendidikan untuk merumuskan perjuangan pembebasan bangsanya. Harus diakui bahwa perjuangan pembebasan tersebut tidak mudah dilakukan karena menyangkut keterbelakangan bangsa Indonesia pada umumnya, yaitu terbatasnya tenaga-tenaga terdidik yang menjadi motor pergerakan. Gerakan-gerakan anti penjajahan dan menguatnya semangat pembebasan hanya berkembang di dua wilayah, yaitu di daerah Jawa dan Minangkabau, Sumatera Barat.

Kunci perkembangan pada masa awal-awal pergerakan ditandai dengan munculnya ide-ide baru mengenai organisasi dan dikenalnya definisi-definisi baru dan yang lebih canggih tentang identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-bentuk kepemimpinan yang baru, sedangkan definisi yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi. Pada tahun 1927 telah terbentuk suatu jenis kepemimpinan Indonesia yang baru dan suatu kesadaran diri yang baru, tetapi dengan pengorbanan yang sanagat besar. Para pemimpin yang baru terlibat dalam pertentangan yang sengit satu sama lain, sedangkan kesadaran diri yang semakin besar telah memecah belah kepemimpinan ini lewat garis-garis agama dan ideologi. Pihak Belanda mulai menjalankan suatu tingkat penindasan baru sebagai jawaban terhadap perkembangan-perkembangan tersebut. Periode ini tidak menunjukkan pemecahan masalah, tetapi merubah pandangan kepemimpinan Indoneisa itu mengenai diri sendiri dan masa depannya.

Dr. Wahidin Soedirohoesodo (1857-1917) adalah pembangkit semangat organisasi yang pertama itu. Sebagai seorang lulusan sekolah ‘Dokter-Jawa’ di Welvreden (yang sesudah tahun 1900 di namakan STOVIA), dia bekerja sebagai dokter pemerintah di Yogyakarta sampai tahun 1899. Pada tahun 1901 dia menjadi redaktur majalah Retnadhoemilah (Ratna yang Berkilauan) yang dicetak dalam bahasa Jawa dan Melayu untuk kalangan pembaca priyayi dan mencerminkan perhatian terhadap masalah-masalah dan status mereka. Selain seorang yang berpendidikan Barat, Wahidin adalah seorang pemain musik Jawa klasik (gamelan) dan wayang yang berbakat.

Pada tahun 1907 Wahidin berkunjung ke STOVIA dan disana, di salah satu lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi rendah Jawa, dia melihat adanya tanggapan yang bersemangat dari murid-murid sekolah tersebut. Diambil keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan priyayi-priyayi rendah, dan pada bulan Mei 1908 diselenggarakan suatu pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Pada pertemuan itu para mahasiswa dari STOVIA, OSVIA, sekolah-sekolah guru, serta sekolah-sekolah pertanian dan kedokteran hewan terwakili. Cabang-cabangnya didirikan pada lembaga-lemabaga tersebut dan pada bulan Juli 1908 Budi Utomo sudah mempunyai anggota 650 orang. Mereka yang bukan mahasiswa juga menggabungkan diri, sehingga pengaruh mahasiswa mulai berkurang dan organisasi tersebut tumbuh menjadi partai priyayi rendah Jawa pada umumnya.

Pada bulan Oktober 1908 Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Pada saat itu Wahidin sudah menjadi tokoh bapak saja dan bermunculan suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut. Suatu kelompok minoritas dipimpin oleh Tjipto Mangunkusumo (1885-1943) yang juga seorang dokter dan yang sifatnya radikal. Dia ingin agar Budi Utomo menjadi partai politik yang berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya daripada hanya golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatannya lebih tesebar diseruh Indonesia daripada terbatas di Jawa dan Madura saja. Tjipto juga tidak mengagumi kebudayaa Jawa sebagai dasar bagi peremajaan kembali. Dr.Radjiman Wedioningrat (1879-1951) seorang ‘Dokter Jawa’ lain, mengemukakan ide-idenya pula Dia dipengaruhi kebudayaan Jawa, dialektika G.W.F. Hegel, subyektivitas I. Kant, dan anti rasionalisme H. Bergson, dan sudah menganut doktrin-doktrin mistik Teosofi sebagai perpaduan Timur dan Barat. Namun di dalam perkembangannya tokoh-tokoh tersebut berbeda pendapat terutama yang menyangku keberadaan Budi Utomo. Disamping nama-nama tersebut diatas, kita mengenal nama-nama lain yang tidak kalah penting di dalam pergerakan Budi Utomo, sebut saja misalnya Tirtoadisurjo, seorang lulusan OSVIA, Haji Samanhudi (1868-1956), dan H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) juga lulusan OSVIA.

Hal yang menarik dari perjuangan pergerakan yang dilakukan oleh sekolompok kecil elit terpelajar Indonesia yang berasal dari Jawa tersebut adalah bahwa pergerakan yang dilakukan mampu menstimulus kesadaran rakyat untuk bebas dari penindasan. Hanya saja pergerakan yang dilakukan individu-individu yang memiliki semangat perjuangan memiliki kemiripan dengan nasionalisme. Harus diakui bahwa perjuangan tersebut belum dapat dipahami oleh sebagian besar rakyat karena ide tentang kemerdekaan belum menjadi sebuah perjuangan bersama. Rakyat banyak tak pernah merasa- baik dilihat dari sudut kebudayaan, politik, maupun ekonomi – bahwa hidupnya tergantung kepada nasib Negara kebangsaan. Sehingga tidak mengherankan jika kosa kata nasionalisme meruapakan sesuatu yang asing bagi rakyat banyak. Dengan kata lain, perjuangan pembebasan masih merupakan sebuah gagasan, belum menjadi sebuah gerakan konkrit.

Hal seperti ini digambarkan oleh John Milton (1608-1674) bahwa perjuangan kebebasan masih terbatas pada kebebasan kolektif, belum sampai kepada kebebasan individu. Artinya, perjuangan pembebasan terbatas pada kebebasan normatif, yaitu pembebasan seluruh rakyat. Baginya nasionalisme bukanlah suatu perjuangan untuk kebebasan kolektif daripada “penindasan asing”; baginya nasionalisme adalah pengakuan kemerdekaan perseorangan dari kekausaan; pernyataan-diri dari pribadi terhadap pemerintahnya, “pembebasan mansuia dari penindasan perbudakan dan takhyul”. Bagi Milton kemerdekaan ini bersfat keagamaan, politik dan perseorangan.

PENDIDIKAN DAN PEMBEBASAN

Di dalam konteks penjajah, kita melihat bahwa pendidikan yang diberikan hanyalah semata-mata karena tuntutan politik Ethis. Sudah jelas tujuannya bahwa pendidikan yang diberikan tidak untuk membebabskan rakyat Indonesia dari kebodohan dan penindasan. Itulah sebabnya proses pendidikan sebagai sebuah sarana pembebasan belum menjadi bagian pergerakan kebangsaan pada awal abad ke XX. Setidaknya kita melihat bahwa pendidikan yang dilakukan masih menempatkan penjajah Belanda sebagai patron yang tentunya menutup rauang kesadaran sebagian besar rakyat Indonesia atas penindasan yang terjadi.

Ketakutan untuk membebaskan diri dari cengkraman penjajah Belanda masih begitu kuat karena tidak memiliki kekuatan pembebas yang didasarkan atas pendidikan yang bebas dan mandiri. Hal ini sangat sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Paulo Freire tentang perilaku kaum tertindas adalah suatu perilaku terpola, menurut apa yang telah digariskan oleh kaum penindas. “ Rasa takut kebebasan ini juga dapat ditemukan dalam diri penindas, sekalipun, tentu saja, dalam bentuk yang berbeda. Kaum tertindas takut untuk merangkul kebebasa; sementara kaum penindas takut kehilangan ‘kebebasan’ untuk menindas.”

Lebih tegas dikatakan oleh Freire, “Kaum tertindas, yang menginternalisasi citra diri kaum penindas dan menyesuaikan diri dengan jalan pikiran mereka, mengalami rasa takut menjadi bebasa. Padahal kebebasan menghendaki mereka menolak citra diri serupa itu dan menggantinya dengan perasaan bebasa (otonomi) serta tanggung jawab. Kebebasan diperoleh dengan direbut, buka dihadiahkan. Ia harus diperjuangkan dengan segenap keteguhan hati dan perasaan bertanggungjawab. Kebebasan bukanlah sebuah impian yang berada diluar diri manusia; juga bukanlah sebuah gagasan yang kemudian jai\di mitos. Ia memang merupakan keniscayaan dalam rangka mencapai kesempurnaan.”.

Mencermati pergerakan kebangsaan yang dilakukan oleh beberapa nama tersebut diatas terlihat bahwa persoalan sesungguhnya adalah bagaimana membebaskan pikiran rakyat Indonesia dari ketertindasan, baik secara politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Kondisi ini memaksa sekelompok elit Indonsia yang berasal dari kaum terdidik mencari jalan bagaimana agar pemecahan masalah yang menyangkut keterbelakangan dan ketertindasan yang disebabkan oleh penjajahan dapat diatasi. Tidak mengherankan pula jika terjadi perdebatan dan perbedaan pandangan di dalam upaya pembebasan atas penindasan tersebut.

Namun gagasan Cipto Mangunkusukmo yang cenderung bersikap radikal di dalam menyikapi realitas sosial dan politik sesungguhnya lebih tepat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadi rakyat Indonesia pada saati itu. Cipto menginginkan pergerkan dilakukan melalui partai pilitik dan bersfat nasional. Hal ini tentu saja berbeda dengan sekolompok elit Indonseia lainnya yang berpandangan sekatarian dan bersifat lokal. Sudah tentu bahwa pergerakan yang didasarkan atas fanatisme politik sektarian dan bersifat lokal tidak mampu merubah status quo.

Sektarianisme yang disuburkan oleh fanatisme, senantiasa mengebiri. Radikalisasi, yang ditumbuhkan oleh semangat jiwa kritis, justru selalu kreatif. Sektarianisme menciptakan mitos-mitos dan karenanya menimbulkan alienasi ; sedang radikalisasi adalah sikap kritis dan karena itu bersifat membebaskan, Radikalisasi mencakup peningkatan keyakinan terhadap posisi yang telah dipilih seseorang, dan dengan demikian keterlibatan yang semakin jauh dalam usaha untuk mengubah realitas yang konkrit dan obyektif. Sebaliknya sektarianisme, karene ia membangun mitos dan irrasional, membalikkan realitas menjadi sebauh “realitas” palsu (dan karena itu tak dapat diubah).

Terlepas dari perdebatan dan perbedaan strategi perjuangan pembebasan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pergerakan tersebut diatas, kita dapat melihat pergerakan yang dilakukan telah membuka tabir gelap atas penindasan yang dilakukan oleh penjajah Belanda. Pergerakan yang dilakukan oleh sekolompok elit yang berasal dari kaum terdidik tersebut, secara nyata telah membuka cakrawala berfikir dan sekaligus menjadi stimulus bagi rakyat Indonesia di dalam memaknai realitas kebangsaannya. Kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan sebagai sebuah sarana pembelajaran dapat menjadi senjata ampuh bagi rakyat di dalam rangka pembebasan, terutama dari penajahan Belanda. Walaupun di dalam prakteknya, pendidikan tersebut pada awalnya tidak ditujukan –khususnya oleh penjajah Belanda- untuk melakukan perlawan terhadap hegemoni penjajah. Namun keberadaan kaum terdidik yang memiliki latar belakang pendidikan Barat ternyata mampu menjadikan pendidikan sebagai sebuah sarana pembebasan karena elit pergerakan tidak hanya memiliki pengetahuan tentang realitas sosial-politiknya tetapi juga memiliki jiwa humanis dan pembebas. Hal ini tentu saja berbeda sifat dan bentuknya jika perlawanan ataupun pergerakan dilakukan dengan kekuatan fisik. Pergerakan pasti tidak mampu, dan secara empiris sudah terbukti bahwa perlawanan mengalami kekalahan karena disamping keterbatasan material juga tidak di dukung oleh sebuah pemahaman tentang realitas social, politik, ekonomi dan budaya.

Terlihat bahwa pendidikan kaum tertindas tidak hanya melawan penindasnya tetapi juga melawan diri sendiri khususnya membangun kepercayaan diri ditengah-tengah realitas kulturalnya. Sehingga setiap upaya pembebasan selalu memiliki tahapan-tahapan. Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis dan pembebas, teridiri dari dua tahap.

Pada tahap pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Hal inilah yang dilakukan oleh para elit pergerkan Indonesia di akhir di akhir abad ke XIX, dimana mereka menyampaikan gagasan dan pokok-pokok pikiran yang berhubungan dengan perubahan. Pada tahap kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses mencapai kebebasan yang langgeng.

Dalam kedua tahap ini dibutuhkan gerakan yang mendasar agar kultur dominasi dapat dilawan secara kultural pula (hal ini merupakan aspek dasar dalam Revolusi Kebudayaan Mao Tse Tung). Pada tahap pertama, maka perlawanan itu terjadi dalam hal kaum tertindas menyadari akan adanya dunia penindasan; dan pada tahan kedua, dengan memberantas habis mitos-mitos yang diciptakan dan dikembangkan oleh penguasa, yaitu para penindas yang menghambat gerakan pembebasan.

Perjuangan pembebasan dan perjuangan humanisasi harus menjadi dasar bagi kaum tertindas karena dengan dimikian mereka menerima tanggungjawab perjuangan. Tantangan terberat yang dihadapi dalam proses pembebasan tersebut adalah rakyat harus mengerti bahwa mereka tidak berjuang melulu untuk bebas dari kelaparan, tetapi juga, mengutip Erich Fromm, dalam The Heart of man, untuk : …. Kebebasan untuk menciptakan dan membangun, untuk mempertanyakan dan mencoba-coba. Kebebasan semacam ini menghendaki manusia yang aktif dan bertanggungjawab, bukan budak atau sekrup mati dalam mesin…. Tidak cukup sekedar bahwa manusia bukanlah budak; jika kondisi social mengarah kepada kehidupan otomaton, hasilnya bukan berupa cinta kehidupan, tetapi cinta kematian.

Perjuangan pembebasan sebagaimana yang dilakukan oleh sekelompok kecil elit terdidik Indonesia di awal abad ke XX memiliki arti penting terhadap perjuangan rakyat Indonesia di kemudian hari. Dengan latarbelakang politik Ethis yang memang tidak secara sungguh-sungguh membuat rakyat Indonesia maju, ternyata mampu mendorong sekolompok elit tersebut melakukan gerakan yang membuka pikiran rakyat Indonesia, terutama yang berkaitan dengan pemahaman atas realitas kultural dan politiknya. Harus diakui bahwa pada prinsipnya penjajah Belanda tidak menginginkan kaum terpelajar Indonesia saat itu untuk melakukan gerakan pembebasan yang pada akhirnya melemahkan posisi Belanda yang telah berkuasa ratusan tahun lamanya di Indonesia. Namun pendidikan, seburuk apapun bentuknya dan dan sesulit apapun kondisinya ternyata mampu memberikan pengaruh terhadap lahirnya pemikiran akan pembebasan. Dengan keterbatasan di dalam menjalankan gagasan-gagasan pembebasan atas penjajahan, kita melihat bahwa perjuangan tersebut berhasil, setidaknya dilihat dari hadirnya organisasi kemasyarakatan yang bertujuan untuk meningkatkan kwalitas hidup rakyat Indonesia.

Kekuatan pendidikan sebagai alat perjuangan tidak hanya membuka cakrawala berfikir rakyat Indoensia tetapi juga mampu mendorong rakyat Indonesia untuk berjuang guna mencapai posisi sebagai manusia yang bermartabat dan berdaulat. Dengan perjalanan waktu selama 20 tahun (1908-1928) perjuangan pembebasan tersebut melahirkan sebuah karya politik yang sangat luar biasa (magnum opus) , yaitu Sumpah Pemuda. Keberadaan Sumpah Pemuda sebagai sebuah komitmen membangun Indonesia adalah suatu prestasi besar) tetapi berkembang secara luas menjadi gerakan perjuangan di seluruh yang dilakukan dengan kekuatan pikiran. Sumpah Pemuda menjadi dasar dan sekaligus merupakan infrastruktur sosial, politik dan budaya bagi rakyat Indonesia di dalam rangka memperjuangkan kemerdekaannya.

Lahirnya Sumpah Pemuda semakin menguatkan semangat perjuangan dan perjuangan tersebut tidak lagi bersifat sektarian dan bergerak di wilayah lokal tetapi berkembang di seluruh wilayah Nusantara. Dengan waktu yang tidak terlalu lama, yaitu sekitar 17 tahun, perjuangan yang didasarkan atas semangat dan cita-cita Sumpah Pemuda berhasil memerdekan Indonesia menjadi sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat pada tahun 1945.

Jika kita cermati secara teliti, tampak bahwa perjuangan melalui pendidikan memiliki pengaruh yang sangat mendasar terutama yang berhubungan dengan pola pikir rakyat Indonesia di dalam menyikapi keberadaan penjajah Belanda. Disinliah kita juga melihat bahwa dunia pendidikan yang melahirkan kaum cendikiawan mampu merubah pandangan tentang realitas ketertindasan menjadi sebuah dorongan untuk merdeka. Hal ini dapat tercapai karena cendikiawan bukanlah sesuatu yang berada di wilayah imajiner tetapi merupakan bagian nyata dari sebuah kerja konkrit ditengah-tengah masyarakatnya. “Kaum cendikiawan bisa mengukir politik seperti tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Yang paling ditakuti Belanda pada zaman colonial dulu bukan senjata api akan tetapi suatu jalan pikiran seperti “Als ik eens Nederlander was”, seperti yang dikemukakan Soewardi Soerjaningrat yang kelak menjadi Ki Hadjar Dewantara, pendiri system persekolahan Taman Siswa. Apa yang ditakuti dari sana? Bayang-bayang tentang adanya bangsa, dan baying-bayang adanya cendikiawan yang “membentuk dan memimpin” bangsa itu. Sekali seorang bisa mengendalikan dirinya sebagai orang Belanda, dia bisa mengendalikan dirinya untuk apa saja, termasuk seandainya Indonesia Merdeka Mungkin, demikian Takashi Shiraishi, tidak terlalu meleset bila dikatakan cikal-bakalIndonesia berasal dari sana. Hal yang sama juga terjadi pada masa Orde Baru (lebih jauh baca, Daniel Dhakidae dalam “Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru”, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2003). Yang paling ditakuti rezim neo-fasisme militer Soeharto bukan senjata api akan tetapi tulisan-tulisan dari Pramoedya Ananta Toer dan juga Wiji Thukul. Benar apa dikatakan oleh Pramoedya, kemerdekaan hanya bisa dimulai dalam pikiran. Setelah perjuangan sekelompok kecil kaum terdidik di awal abad ke XX selesai menunaikan tugas kebangsaannya, yaitu melahirkan Sumpah Pemuda 1928 dan kemerdekaanIndonesia 1945 , muncul pertanyaan bagi, “apa yang dihasilkan bangsa ini setelah Indonesia merdeka tahun 1945?

Indonesia baru yang diproklamirkan pada tahun 1945 adalah sebuah fase dimana Indonesia menjadi sebuah Negara yang menghadapi tantangan kebangsaannya dengan berbagai bentuk perjauangan guna mengisi kemerdekaannya. Namun di dalam perjalanan sejarahnya, kau terdidik yang secara kwantitas dan kwalitas mengalami peningkatan ternyata belum melahirkan prestasi yang mampu mengangkat martabat bangsa Indonesia menjadi manusia seutuhnya. Sejak 1945 kita melihat adanya perubahan paradigma kebangsaan yang pada awalnya bertumpu kepada pendidikan berubah menjadi kekuatan senjata (baca; militer). Perubahan paradigama ini tidak semata-mata disebabkan oleh romantisme perjuangan kemerdekaan akan tetapi juga disebabkan oleh kuatnya tekanan terhadap Indonesia di dalam mempertahankan kemerdekaannya. Hal ini memiliki konsekuensi serius terhadap melemahnya peran kaum cendikiawan dalam hal penguatan masyarakat menuju Indonesia Baru yang berdaulat dan bermartabat.

KESIMPULAN

Membaca Indonesia saat ini tak ubahnya seperti membaca sebuah tulisan yang penuh dengan coretan sehingga sangat sulit bagi kita untuk dapat mengetahui secara persis apa sesungguhnya yang tertulis dalam bacaan tersebut. Kemiskinan dan kebodohan masih mewarnai kehidupan bangsa Indonesia. Sementara kehidupan berbangsa dan bernegara ditandai dengan berbagai bentuk penyimpangan. Penyelenggara Negara pelaksana amanat rakyat justru terjebak di dalam pemiskinan rakyat. Korupsi menjadi virus yang menggerogoti kesejahteraan rakyat justru menyebar dimana-mana, tidak saja dikalangan Eksekuti, Legislatif, dan Yudikatif tetapi juga menyebar di kalangan para elit politik dan elit ekonomi. Kita hampir-hampir tidak punya kekuatan, bahkan hanya sebatas mengucapkan kata Kedaulatan Rakyat. Sungguh sangat ironis karena perjalanan panjang bangsa Indonesia setelah kemerdekaannnya gagal memerdekakan rakyatnya dari kemiskinan dan kebodohan.

Bangsa Indonesia memiliki hampir seluruhnya apa yang menjadi syarat sebuah Negara dan bangsa, mulai dari wilayah darat dan laut, sumber daya alam, sumber daya manusia, Undang-Undang Dasar serta berbagi bentuk infrastruktur Negara. Namun kita gagal mengelola semuanya itu karena kita tidak menempatkan mata-rantai sejarah dimana pendidikan sebagai dasar perjuangan termarjinalkan karena ketidakmampuan memahami sejarah. Kita tahu bagaimana pada awalnya para elit di awal abad ke XX berjuang hanya dengan modal pendidikan dan semangat pembebasannya mampu melahirkan karya seperti Sumpah Pemuda dan Kemerdekaan Indonesia. Padahal setelah Indonesia Merdeka kita memiliki kesempatan yang sangat luas untuk melanjutkan perjuangan membebaskan bangsa ini dari kemiskinan dan kebodohan melalui kekuatan pendidikan. Terputusnya mata-rantai sejarah dimana pendidikan sebagai modal utama pembebasan manusia dari berbagai bentuk penindasan menjadi salah sebab mengapa bangsa dan Negara Indonesia hingga saat ini tertatih-tatih melangkah untuk mensejahterakan rakyatnya.

Kebangkitan Nasional adalah semangat dan élan vital bagi perjuangan bangsa Indonesia saat ini. Kegagalan kita menafsirkan sejarah serta ketidakmampuankita mengaktualisasikan semangat yang terkandung di dalam Kebangkitan Nasional akan menjadi malapetaka bagi kelangsungan hidup Negara dan bangsa Indonesia. Kita harus mau lebih merendahkan hati bahwa apa yang telah dilakukan oleh para pejuang di masa-masa awal Kebangkitan nasional bukanlah hadiah tetapi meupakan sebauh perjuangan yang sangat berat. Kegagalan kita di dalam memaknai perjuangan tersebut bukan saja membuat Kabangkitan Nasional hanya sebuah mitos sejarah tetapi akan melahirkan kebangkrutan Indonesia. Hal ini sesungguhnya sudah mulai tampak pada saat ini, dimana kekuatan dan kedaulatan bangsa Indonesia berada dititik nadir kebangkrutan. Hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan, penderitaan para tenaga kerja Indonesia (TKI) di Negara asing, pengelolaan sumber daya alam yang dikuasai oleh negara asing, penjualan pasir laut dan darat secara besar-besaran kepada Singapura, Penjarahan ikan di laut Indonesia oleh fihak asing, rencana kerjasama pertahanan militer atau Defend Cooperation Agreement (DCA) antara Singapura dan Indonesia adalah contoh kecil dari sekian banyak contoh-contoh lainnya yang menggambarkan bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan martabat dan kedaulatannya.

Disinilah kita melihat bahwa semangat Kebangkitan Nasional seharusnya dapat diterjemahkan secara luas oleh para elit politik dan penyelenggara Negara untuk membebaskan rakyat Indonesia dari berbagai bentuk penderitaan dan penindasan, baik yang bersifat struktural maupun kultural. Kebangkitan Nasional seharusnya menjadi kekuatan emasipatoris yang membuka kesadaran baru bagi seluruh rakyat menuju Indoneisa Baru yang bermartabat dan berdaulat. Dengan demikian Kebangkitan Nasioanl menemukan relevansi kesejarahannya terutama dalam hal perjuangan dan pembebasan rakyat Indonesia dari kemiskinan dan kebodohan saat ini.

Daftar Pustaka :

1. Dhakidae, Daniel. Cendikiawan Dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, PT Gramedia Jakarta, 2003.

2. Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas, LP3ES Jakarta, 1995.

3. Kahin, George Mc Turnan. Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, Sebelas Maret University Press dan Pustaka Sinar Harapan, 1995.

4. Kleden, Ignas. Menulis Politik : Indonesia Sebagai Utopia, Penerbit buku Kompas Jakarta, 2001.

5. Kohn, Hans. “Nasionalisme : Arti Dan Sejarahanya” , Penerbit Erlangga, 1984.

  1. Ricklefs, M.C. Sejarah Indoneisa Modern, Gajah Mada University Press, 1991.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar