Kamis, 11 Februari 2010

BUNG HATTA, PEJABAT DAERAH DAN DPRD KITA

BUNG HATTA, PEJABAT DAERAH DAN DPRD KITA

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua LSM Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)*

Belakangan ini namyak pemberitaan media-cetak tentang dugaan penyalahgunaan hingga pemborosan dana APBD untuk belanja kemewahan pejabat dan anggota DPRD. Sebut saja misalnya, Penyimpangan dana APBD Provinsi Kepri tahun 2005 yang tak jelas bagaimana kelanjutan ceritanya. Pembelian kenderaan roda empat dana APBD untuk Angota DPRD Provinsi Kepri senilai Rp 5.922.891.270,00 yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Kepri. Pembelian laptop untuk seluruh anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sewa Gedung Day Club (yang tak masuk akal) untuk kantor DPRD Provinsi Kepri. “Setoran” Dispenda Batam untuk anggota dewan dari Komisi II yang dianggap berjasa kepada “Negara dan bangsa”. Kucuran dana APBD sebesar Rp 31 miliar untuk Asuransi pegawai Pemko Batam, dan penyalahgunaan Dana Bantuan Ormas dan Profesi kota Batam sebesar Rp 1,032 milyar.

Cerita tentang penyalahgunaan dan pemborosan dana APBD serta lemahnya kinerja pemerintah daerah dan DPRD bukan saja memprihatinkan dari sisi moralitas politik, namun juga telah menghancurkan kepercayaan publik atas eksistensi pemerintah daerah dan DPRD. APBD “seakan-akan” menjadi warisan keluarga yang dapat diguanakan setiap saat sesuai dengan selera masing-masing. Tidak ada lagi persoalan transparansi dan akuntabilitas publik. Pun, tidak ada cerita tentang azas kepatutan. Slogan “bertindak cepat untuk rakyat” berganti menjadi,“bertindak cepat merampok rakyat”!

Jika dicermati secara serius tentang perilaku dan lagak-lagu pejabat daerah dan anggota DPRD serta membandingkannya dengan kehidupan Mohammad Hatta atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Hatta, baik ketika menjadi Wakil Presiden RI maupun sesudahnya, maka kita akan sangat kecewa, baik itu kwalitas intelektual maupun dari sisi moralitas politiknya. Bagi Bung Hatta jabatan adalah alat perjuangan sementara bagi pejabat daerah dan anggota DPRD kita jabatan adalah tujuan. Tidak berlebihan jika perdebatan intelektuan yang menyangkut gagasan, ide dan prinsip-prinsip demokrasi mewarnai kehidupan politik Bung Hatta. Dialektika pemikiran Bung Hatta mencakup dari mulai pemberdayaan masyarakat hingga kedaulatan bangsa dan Negara. Sementara pejabat daerah dan kebanyakan anggota DPRD bukan saja miskin gagasan tetapi tidak memiliki kreativitas berfikir utamanya dalam hal pengembangan masyarakat, kecuali mempertontonkan kepentingan-kepetingan sesaat bagi diri sendiri dan kelompoknya. Lihat saja misalnya, bagaimana gampangnya Panitia Anggaran DPRD Batam menyetujui anggaran asuransi Rp 31 miliar bagi seluruh pegawai Pemko sementara rakyat yang menjadi tulang-punggung pemerintahan merangkak tertatih-tatih memikirkan makan untuk hari ini! Bagaimana mungkin seluruh pegawai Pemko dan Anggota DPRD yang dibelanjai oleh rakyat jika sakit berobat ke RS Awal Bros sementara rakyat yang terserang deman berdarah akhirnya meninggal karena tak mampu membeli obat? Sebuah pertunjukan arogansi kekuasaan yang memuakkan!

Bung Hatta, Kepemimpinan Yang Hilang

Sebagai proklamator kemerdekaan RI serta Wakil Presiden, Bung Hatta memiliki integritas moral dan kwalitas intelektual yang mengagumkan. Kemampuannya dalam menyampaikan pikiran dan menerjemahkan semangat jamannya menjadi warisan sejarah yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Disamping kejujurannya, Bung Hatta adalah sosok yang terkenal dengan kesederhanaan, memiliki kedisiplinan dan moralitas yang sangat dihormati oleh semua kalangan. Tidak berlebihan jika Bung Hatta menjadi negarawan yang keteladannya menjadi acuan penting bagi seluruh rakyat Indonesia dan khususnya bagi pejabat pemerintah dan politisi di dalam rangka berbangsa dan bernegara. Dengan kekuatan intelektual serta integritas moral yang tak diragukan, ia berani berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno ketika itu. Perbedaan pendapat dalam hal prinsip-prinsip demokrasi politik berakhir dengan mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956.

Bung Hatta, seperti yang ditulis oleh Majalah Tempo, Edisi Kemerdekaan RI, 12-19 Agustus 2001, dikenal sebagai seorang penganut sosialis. Saat menjadi mahasiswa di Belanda, dasar-dasar pemikirannya dibentuk dikalangan sosialis. Ia banyak menulis di bulletin sosialis macam De Vlaam, De Sosialist, Recht in Vrijheid. Tapi, yang mencolok dari sikapnya politiknya itu, ia tumbuh menjadi seorang sosialis yang rasional. Para pengamat bahkan menganggap bahwa sesungguhnya sikap rasional Hatta “secara tak sadar” memberikan sumbangan pembentukan awal republik ini.

Tonggak politik Hatta setelah proklamasi adalah perannya dalam mengubah Demokrasi Presidensial ke Demokrasi Parlementer. Melalui Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945, Hatta meneken pergantian itu. Di dalam buku Indonesia Free : a Political Biography of Mahammad Hatta, peneliti dari Universitas Cornell, Mavis Rose, menyatakan bahwa memang dalam pemikiran Hatta yang ideal, kekuasaan yang dibagi (secara) luas adalah yang paling mendekati cita-citanya tentang demokrasi. Pakar hukum Daniel Lev menganggap bahwa kabinet parlementer di masa lalu memang jauh lebih bermutu dibandingkan dengan sistem presidensial dalam era kepemimpinan presiden mana pun di Indonesia. ”Pada periode parlementer Hatta, elite yang ada bermutu bagus”. Sedangkan jaman Orde Baru dan sekarang sistem parlementer memiliki citra buruk.”

Setelah mundur dari pemerintah, Hatta semakin mengembangkan gagasan-gagasan ekonomi-politiknya. Dia berkembang menjadi seorang pemikir Indonesia yang berusaha bergulat menemukan visi ekonomi yang kontekstual. Ekonom Anne Both pernah mengatakan bahwa sejarah perekonomian Hindia Belanda belum pernah dikaji secara seriusm oleh para pemikir kita. Akibatnya, hingga kini para pemikir Indonesia tidak melahirkan sebuah paradigma ekonomi yang mengakar. Ini bebeda sekali dengan keadaan di asia Selatan. Banyak pakar sejarah dan ekonomi India dan Pakistan yang telah melakukan penilitian sejarah ekonomi colonial anak benua Asia Selatan hingga berhasil melahirkan sebuah kanon pemikiran ekonomi yang ingin membebaskan diri dari permainan kekuatan pasar bebasa. Tradisi ini kemudian sangat mempengaruhi pemikiran para nasionalis India. Corak pemikiran demikian, misalnya, bergaung pada ekonom seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi 1988. Sama seperti Sen, komitmen Hatta terhadap hak asasi manusia kuat sekali,” kata Chatib Bisri.

Hatta mungkin belum menghasilkan “kanon pemikiran” semacam itu. Tapi obsesinya adalah ingin melumerkan struktur ekonomi yang dipatrikan para administrator Belanda. :Ide koperasi Hatta itu sesungguhnya untuk melemahkan konsep pamong praja, karena pamong praja adalah warisan kolonial,” kata Daniel Lev. Banyak pendapat bahwa gagasan koperasi Hatta masih relevan sampai kini, meski harus di interpretasikan ulang menurut perubahan-perubahan yang ada.

Tak lama setelah mundur dari pemerintahan, 1957, Hatta mulai merasakan sulitnya hidup orang biasa. Ia bukan cuma keteter membayar tagihan listrik, gas, dan air minum, juga tak mampu melunasi pajak mobil yang dibelinya dengan subsidi pemerintah. Hatta bahkan tak sanggup mengangsur tagihan jaminan telepon untuk villanya di Megamendung karenah jumlahnya berkali-kali lipat dari uang pensiunnya. “terserahlah kalau (telepon) mau dicabut,” kata Hatta melalui surat kepada Dirjen Pos, Telegraf, dan Telepon.

Sebagai pensiunan, Hatta menerima “sumbangan lauk-pauk” Rp 1.000 sebulan. “Apakah ini bukan suatu penghinaan kepada RI?” katanya kepada Menteri urusan Anggaran Negara. “Makanan kucing saya saja tidak akan kurang dari sebegitu sebulan.” Hatta punya contoh: nasibnya sendiri kepada Frans Seda, Menteri keuangan tentang tagihan listrik dan gas-tidak termasuk rekening air-yang jumlahnya sudah melebihi uang pensiunnya. “Permulaankah ini dari kolonial ekonomi?” tanyanya dengan waswas.

Agaknya akan sukar untuk percaya bahwa Hatta pun bisa kekurangan uang. Tetapi gajinya pada awal tahun 1950 hanya Rp 3.000. Beberapa tahun kemudian , naik menjadi Rp 5.000. Kenaikan ini semulanya ditolaknya, tetapi akhirnya ia menerima juga. Sebab, jika ia tetap menolak, akibatnya gaji pejabat lain, termasuk gaji perdana menteri, akan ikut mandek.

Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada Desember 1956, Hatta mulai menghadapi kenyataan pahit dalah hidupnya. Pada saat itu Hatta memerintahkan I.Wangsawijaya, sekretaris pribadinya, untuk mengembalikan dana taktis. Padahal, dana taktis tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan. Dengan segala kekurangan, Hatta menolak tawaran beberapa perusahaan, termasuk perusahaan asing, untuk menjadi komisaris perusahaan. Mengapa? Alasannya, “ Apa kata rakyat nanti?” Ia khawatir bahwa perjuangannya membela rakyat tidak akan murni lagi, dan ia mudah dituduh meninggalkan rakyat bila ia menjabat komisaris sebuah perusahaan. Dalam otobiografinya, Hatta menulis bahwa memang ia memperoleh honorarium dari bebebrapa buku yang ditulisnya. Ia juga mengaku bahwa beberapa kawannya membantu dia dalam menjalani hidup sekeluarga dan ia menerimanya karena kawan-kawannya memberi bantuan itu dengan ikhlas.

Pada saat keterpurukan negeri kita saat ini, sosok Hatta menjadi satu dari sedikit tokoh yang bercahaya. Indonesia, tentu saja, apalagi Minangkabau khususnya, memerlukan banyak Hatta. Bukan hanya pemikiran dan sikap politiknya, tetapi juga integritas moral dan kwalitas intelektualnya akan menjadi monumen teladan di hati rakyat Indonesia.

Dalam akhir risalah Demokrasi Kita, Hatta mengutip kalimat penyair Jerman, Schiller: “Suatu abad besar telah lahir. Namun ia menemukan generasi kerdil”. Itu adalah kritik Hatta terhadap para pemimpin (baca: pejabat daerah dan anggota DPRD) karena gagal menerjemahkan amanat penderitaan rakyat. Perilaku kebodohan “generasi kerdil”, sebagaimana dimaksudkan Schiller, mendapat pembenaran sebagaimana yang dipertontonkan oleh pejabat daerah dan anggota DPRD kita; merampok rayat atas nama konstitusi.

* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Sijori Mandiri,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar