Kamis, 11 Februari 2010

REFLEKSI SUMPAH PEMUDA : MENCARI IDEALISME YANG HILANG

REFLEKSI SUMPAH PEMUDA :

MENCARI IDEALISME YANG HILANG

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn

(Ketua Forum Kerja Budaya Batam dan Anggota Forum Kecil Batam)

Berdirinya Budi utomo (BU) 20 Mei 1908 menandai babak baru faham kebangsaan yang di dalam perkembangannya disebut sebagai awal kebangkitan nasional I. Keberadaan Perkumpulan BU telah menjadi stimulus bagi lahir dan berkembangnya partai politik maupun organisasi-organisasi pergerakan di kemudian hari. Organisasi itu bergerak di bidang pendidikan, politik, ekonomi, keagamaan dan kepemudaan; meskipun di dalam prakteknya sebagian besar di dasarkan atas rasa kedaerahan. Organiasi-organisasi kepemudaan itu antara lain : Jong Java, 1918 yang semula bernama Tri koro Dharmo, 1915; Jong Sumatranen Bond, 1917; Jong Minahasa, 1918; Jong Ambon, 1923; Jong Bataks Bond, 1925; Jong Kalimantan, 1929; Jong Celebes, Sekar Rukun, Wanita Katolik, Jong Islamieten, Pemuda Kaum Betawi, Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia, Pemuda Katolik. Di dalam perkembangannya organisasi tersebut menjadi sarana bagi pergerakan kebangsaan ketingkat yang luas. Perkembangan faham kebangsaan mengalami fase sejarah yang tediri dari :

1. 1908: BU didirikan oleh Sutomo, dan diketuai oleh Wahidin Soedirohoesodo. Gerakan ini memusatkan perhatiannya pada bidang budaya, khususnya pendidikan.

2. 1928: Kongres Pemuda-Pemudi Indonsia II yang mengeluarkan ikrar Sumpah Pemuda (SP) yang berisikan : (1) Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia; (2) Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; (3) Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Disamping itu kongres mengeluarkan keyakinan tentang dasar-dasar persatuan Indonesia seperti kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat serta pendidikan dan kepanduan. Kongres juga menyetujui berbendera satu, bendera Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

3. 1939: Gabungan Politik Indonesia (GAPI) bertujuan mempersatukan semua partai politik di Indonesia yang didasarkan atas : (1) hak penentuan nasib sendiri; (2) perstuan Nasional; (3) demokrasi dalam urusan-urusan politik, ekonomi dan sosial; (4) kesatuan aksi. Aksi Indonesia Berparlemen menyusul kemudian Kongres Rakyat Indonesia dalam rangka menuntut peningkatan ikut sertanya bangsa Indonesia dalam pemerintahan.

4. 1945: BPUKI dibentuk untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi kemerdekaan Indonesia, termasuk rancangan dasar negara dan UUD negara Indonesia yang bakal merdeka. Dalam sidang BPUKI dan PPKI, ide-ide mengenai Pancasila dilontarkan.

Garis linear (tidak mencakup secara keseluruhan) perkembangan faham kebangsaan tersebut diatas menunjukkan bahwa Sumpah Pemuda (SP) tidak terlepas dari proses sejarah kebangsaan yang mendahului dan juga sekaligus mempengaruhi proses perkembanagan sejarah ke masa berikutnya.

Secara historis, kita melihat bahwa SP yang di ikrarkan 76 tahun yang lampau itu, disamping merupakan salah satu faktor penentu gerakan pemuda di dalam sejarah Indonesia juga menjadi landasan strategis yang berhubungan dengan pengembangan dan pembangunan dunia kepemudaan di seluruh Indonesia.

Peristiwa bersejarah tersebut tidak saja memperkokoh semangat kebangsaan yang memang sangat diperlukan untuk mencapai kemerdekaan, namun juga menjadi sebuah babak baru bagi gerakan pemuda di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Idealisme adalah sesuatu yang inheren di dalam jiwa kepemudaan kala itu. Idealisme tidak dipandang sebagai mantra dan tidak pula dianggap sebagai sebuah kemewahan. Idealisme menjadi praksis keseharian yang merupakan sikap kepemudaan untuk menghadapi tantangan kesejarahannya. Membayangkan idealisme pemuda ditahun 20-an dan membandingkannya dengan kondisi kepemudaan dilingkup lokal (baca; Batam) dewasa ini, maka kita seperti menemukan adanya lubang hitam sejarah yaitu, mata rantai idealisme yang terputus. Dunia kepemudaan Indonesia saat ini seperti tidak memiliki kaitan kesejarahan dengan semangat kebangsaan serta idealisme perjuangan para pemuda di masa lalu. Padahal situasi dan kondisi kepemudaan di tahun 20-an sangat jauh berbeda dengan kondisi yang ada saat ini, setidaknya dilihat dari latar belakang pendidikannya. Sebagai perbandingan dapat kita lihat bahwa pendidikan kaum muda di tahun 20-an sangat terbatas jumlahnya, tidak hanya dari segi kesempatan belajar tetapi juga dari sisi pencapaian hasil pendidikannya. Contoh dibawah ini menjadi gambaran tentang keterbatasan-keterbatasan pendidikan tersebut:

Jumalah Orang Indonesia yang memperoleh Pendidikan Barat 1900-1928:

Tahun Jumlah rata-rata orang Jumlah rata-rata orang

Indonesia belajar di sekolah Indonesia belajar di sekolah

Dasar Barat menengah Barat (termasuk

Mulo (kelas 7-9)

1900-1904 2.987 25

1905-1909 5.175 45

1910-1914 23.910 135

1915-1919 33.516 675

1920-1924 51.308 2.602

1925 61.425 4.431

1926 64.721 4.799

1927 66.824 5.692

1928 74.697 6.468

(Hollandsh-Inlandsch Onderwijs Commissie, no.12, Resume, Batavia, 1931: 24-25. Baca; George Mc Turnan Kahin,” Nasionalisme Dan Revolusi Di Indonesia, UNS Press, 1995).

Di sisi lain, perbandingan kelulusan siswa sekolah menengah atas menurut kebangsaannya dapat kita lihat pada table berikut :

Tahun Orang Orang Orang Timur Asing

(Rata-rata) Eropa Indonesia (kebanyakan turunan Cina)

1920/14 49 4 3

1920/21 141 11 17

1924/1925 161 32 32

1929/1930 252 157 53

1934/1935 374 204 124

1938/1939 457 204 116

(Brugmans dan Soenario, Enkele Gegevens van Socialen Aard, Ibid. hal.41).

Jumlah orang Indonesia yang belajar di tahun 20-an hanya terbatas pada pendidikan dasar dan menengah. Adapun jenjang pendidikan tinggi masih sangat sedikit jumlahnya, yang mana hal ini tidak terlepas dari keterbatasan sarana dan prasarana pendidikan tinggi pada masa itu. Perguruan tinggi teknik di Indonesia yang berdiri pada tahun 1916, hukum pada tahun 1926. Menjelang tahun 1940, ada 637 orang Indonesia belajar di pelbagai perguruan tinggi dan 37 diantaranya lulus pada tahun itu (Indisch Verslag 1941, II:103,107. Ibid.).

Banyaknya jumlah kelulusan peserta sekolah dan mahasiswa di perguruan tinggi dewasa ini ternyata tidak menjamin tingginya semangat dan idealisme di dalam menyikapi persoalan-persoalan dan tantangan bangsanya. Mungkin kenyamanan hidup sebagian besar pemuda Indonesia pada umunya membuat pola fikir dan sikapnya menjadi sangat pragmatis. Tidak mengherankan jika kenyataannya para pemuda sering diperlakukan sebagai objek kekuasaan para elit politik dan ekonomi. Para pemuda saat ini cenderung teralienasi dari dunia gagasan dan ide-ide kreatif tentang perjuangan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini tentu saja berbeda dengan generasi sebelumnya yang mampu melahirkan gagasan atau pun ide-ide besar tentang kebangsaan dan kebudayaannya. Dalam situasi seperti ini tentulah diperlukan adanya keberanian untuk membongkar keterbatasan-keterbatasan yang bersifat historis dan strukturalnya ditengah-tengah persaingan global dewasa ini. Mengkaji ulang tentang eksistensi pemuda menjadi agenda penting khususnya yang berkaitan dengan semangat dan idealisme kepemudaannya.

Menafsir Ulang Sejarah

Sebagian besar dari generasi muda saat ini menganggap bahwa sejarah masa lalu yang berhubungan dengan dunia kepemudaan sudah final. Tidak ada upaya menafsir ulang sejarah. Apa yang melatarbelakangi sebuah peristiwa sejarah kepemudaan dan bagaimana idealisme kepemudaan sehingga mampu menggerakkan sejarah perjuangan, nyaris tak pernah dipersoalkan. Padahal saat ini kita menyaksikan begitu banyaknya jumlah organisasi kepemudaan. Jika dibandingkan dengan organisasi kepemudaan di awal abad ke 20 maka organisasi kepmudaan dewasa ini jauh lebih besar dan memiliki latarbelakang pendidikan serta di dukung oleh infrastruktur sosial-politik yang lebih maju. Persoalannya adalah bahwa kebanyakan organisasi kepemudaan kita saat ini terjebak di dalam kerangka berfikir sektoral. Tidak mengherankan apabila dunia kepemudaan kita saat ini terkooptasi kedalam sebuah sistem politik dan selalu menjadi alat atau perpanjangan tangan elit-elit politik. Disini kita tidak berbicara tentang tokoh-tokoh perorangan melainkan berbicara tentang ide atau gagasan-gagasan di dalam menghadapi persoalan-persoalan negara dan bangsa. Memang tidak akan ada sejarah yang sama di waktu yang berbeda, namun semangat serta idealisme kepemudaan seharusnya tetap sama khususnya di dalam menyikapi persoalan-persoalan kemanusiaan dan tugas-tugas kesejarahannya. Mungkin semangat dan idealisme tersebut terdapat pada sosok perorangan, tetapi kita memerlukan semangat dan idealisme kepemudaan secara menyeluruh. Pendapat J.P.Sartre relevan dengan penjelasan tesebut diatas yang mengatakan bahwa “dunia akan berubah menjadi baik di dalam tindakan bersama manusia, bukan dari tindakan individual yang merumuskan lebih dulu mana yang baik dan yang tidak di dalam dirinya” (Goenawan Mohamad, pengantar dalam buku Albert Camus,” Krisis Kebebasan”). Diperlukan sebuah daya dorong yang sangat kuat untuk dapat membantu bangsa Indonesia keluar dari krisis multi-dimensinya. Dengan kata lain, eksistensi kaum muda di seluruh dunia memiliki kesamaan yaitu sebagai pendobrak kebobrokan yang realitasnya selalu berada di depan sebagai ujung tombak perubahan.

Pragmatisme Semu

Pergeseran nilai yang menyangkut tentang prinsip-prinsip kemasyarakatan tidak terlepas dari globaliasi informasi dan teknologi dewasa ini. Akselerasi (percepatan) pembangunan di semua bidang dan persinggungan dengan globalisasi tersebut memaksa kita untuk mengkaji ulang sistem nilai yang berlaku. Karena pada prinsipnya tidak ada sistem nilai kemasyarakatan yang berlaku abadi kecuali secara terus-menerus diperbaharui sesuai dengan semangat jamannya. Celakanya, kemampuan adaptif kita selalu tidak seimbang dan cenderung tertinggal dengan akselerasi yang terjadi di ruang globalisasi itu. Sementara “pergantian nilai sekarang lebih cepat daripada kapan pun dalam sejarah. Kalau di masa lampau seorang yang menjadi dewasa dalam suatu masyarakat dapat mengharapkan bahwa sistem nilai masyarakat itu sebagian besar tidak akan berubah seumur hidupnya, kini asumsi demikian sama sekali tidak ada jaminannya, kecuali barangkali dalam beberapa masyarakat pratekhnologi yang paling terisolasi”, demikian pandangan Alvin Toffler tentang ‘akselerasi’ dalam bukunya yang terkenal “Future Shock” atau Kejutan Masa Depan).

Menguatnya sikap pragmatis kaum muda di tegah-tengah realitas kehidupan adalah cerminan dari gagalnya mereka memahami perubahan sistem nilai yang terjadi dewasa ini. Idealisme menjadi sebuah kosa kata asing dan terkesan mewah bagi kebanyakan kaum muda. Prinsip ikut arus menjadi suatu kewajaran. Hal ini setidaknya dapat kita lihat dari kebanyakan organisasi yang dikelola oleh kaum muda yang ada di kota Batam, baik yang berbentuk LSM, Organisasi Profesi, organiasi kepemudaan di bidang sosial-masyarakat, organisasi pemuda underbow partai politik, maupun organisai kemahasiswaannya. Kita tidak menemukan adanya pembicaraan tentang arah dan tujuan pembangunan. Tidak ada perdebatan intelektual tentang agenda kebudayaannya. Tidak memiliki independensi intelektual dan material karena memang kecenderungannya selalu merapat ke “pemilik modal”. Kelihatannya Organisasi kepemudaan kelihatan miskin gagasan dan tidak ada kreativitas berfikir di dalam menyikapi realitas konkritnya. Yang sering muncul ke masyarakat adalah, pameran ‘statemen’ di media-massa dalam hal dukung-mendukung atau sebaliknya tolak-menolak yang kesemuanya bermuara di balik kepentingan elit politik maupun pejabat pemerintahan Kenyataan ini tentu sangat bertolak belakang (jika kita membandingkannya) dengan semangat dan idealisme pemuda Indonesia di awal hingga pertengahan abad 20 yang kaya akan gagasan-gagasan intelektual dan disertai idealisme di dalam menyikapi persoalan dan tantangan kesejarahannya. Organisasi kepemudaan kita dewasa ini terjebak di dalam lingkaran kepentingan elit-elit politik yang cenderung menggunakan sistem politik “belah bambu”. Pemuda tidak lagi memposisikan dirinya sebagai ‘motor’ pembangunan melainkan sebagai ‘sekrup’ pembangunan bangsanya. Berbeda dengan generasi pemuda terdahulu, mereka dengan segala kesadarannya memposisikan diri sebagai “sekrup” untuk dapat menggerakkan mesin sejarah bangsanya. Dengan kata lain, sebagan besar pemuda yang berada dilingkaran sejarah bangsa Indonesia terpaksa harus “melacurkan diri” untuk sebuah cita-cita yang besar dan bermartabat. Sementara kebanyakan pemuda kita dewasa ini terlebih dahulu membuat cita-cita besar nan agung tetapi kemudian “melacurkan diri” untuk kepentingan sesaatnya. Perbedaan ini setidaknya dapat kita ketahui dari sejarah kehidupan nama-nama besar seperti, W.R. Supratman, Chairil Anwar,Cornel Simanjuntak, dan banyak sosok pelaku sejarah di berbagai bidang lainnya. Tentunya kita memiliki perbandingan, idealnya adalah tidak “melacurkan diri” apa pun bentuk dan sifatnya tetapi tetap mampu memposisikan diri sebagai sebuah gerakan yang tidak saja mewarnai proses pembangunan tetapi juga mampu mempengaruhi perjalanan sejarah bangsanya. Cerita tentang Munir sebagai tokoh terdepan Hak Asasi manusia (HAM) menjadi suatu cerita pembanding yang sangat menarik tentang semangat dan idealisme kepemudaan. Kita semua sepakat bahwa kebesaran nama dan kesederhanaan semasa hidupnya menjadi contoh yang sangat bagus dan patut dihormati. Namun apakah kita juga sepakat untuk meneruskan “semangat dan idealisme” yang diwariskan oleh Munir dengan segala bentuk konsekuensi kesederhanaan hidupnya?

Kegagalan kaum muda memposisikan dirinya ditengah-tengah arus besar sejarah tidak saja membuat mereka kehilangan momentum kesejarahannya melainkan juga akan memberikan peluang berkembangannya budaya “politik bambu” yang dimainkan oleh para elit politik yang berwatak korup. Pemuda dituntut untuk mampu menjaga proses kesinambungan sejarah sehingga mata rantai tentang semangat dan idealisme kepemudaan tetap terjaga. Refleksi tentang Sumpah Pemuda adalah juga suatu momentum untuk mngembalikan semangat dan idealisme pemuda ke garis lurusnya. Hal ini dapat kita lakukan dengan mulai mengkritisi diri sendiri maupun organisasi-organisasi kepemudaannya. Kita dituntut untuk mempertanyakan eksistensi kepemudaan di dalam ruang kebudayaannya. Bahwa sejarah mencatat ada banyak organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan maupun yang bersifat sosial-budaya sejak tahun 20-an hingga tahun 40-an. Namun kita mengetahui bahwa mereka memiliki peran sejarah yang jelas dan tegas yaitu sebagai motor kebanggsaan menuju Indonesia merdeka. Sebuah pertanyaan yang tentunya relevan dengan cerita tentang semangat dan idealisme pemuda kita terdahulu adalah: peran sejarah apa yang akan dimainkan oleh organisasi kepemudaan kita yang banyak terdapat dikota Batam ini? Apakah peran dan keberadaan organisasi kepemudaan kita saat ini –menurut istilah orang Medan, hanya untuk mendapatkan “jatah preman atau pun pajak reman”? Atau memang hendak menawarkan agenda kebudayaannya ditengah-tengah arus globlisasi dewasa ini? Pertanyaan-pertanyaan sederhana dan praktis ini sengaja penulis sampaikan sebagai bagian dari upaya merefleksikan nilai-nilai kesejarahan yang terdapat di dalam semangat dan idealisme SP. Kita tentunya sependapat bahwa kehadiran perkumpulan kepemudaan memiliki arti strategis di dalam ruang kebudayaan dan bukan justru sebaliknya untuk menciptakan “polusi organisasi” yang bersifat kepemudaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar