Kamis, 11 Februari 2010

BUNG HATTA, PEJABAT DAERAH DAN DPRD KITA

BUNG HATTA, PEJABAT DAERAH DAN DPRD KITA

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua LSM Gerakan Bersama Rakyat (GEBRAK)*

Belakangan ini namyak pemberitaan media-cetak tentang dugaan penyalahgunaan hingga pemborosan dana APBD untuk belanja kemewahan pejabat dan anggota DPRD. Sebut saja misalnya, Penyimpangan dana APBD Provinsi Kepri tahun 2005 yang tak jelas bagaimana kelanjutan ceritanya. Pembelian kenderaan roda empat dana APBD untuk Angota DPRD Provinsi Kepri senilai Rp 5.922.891.270,00 yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Provinsi Kepri. Pembelian laptop untuk seluruh anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sewa Gedung Day Club (yang tak masuk akal) untuk kantor DPRD Provinsi Kepri. “Setoran” Dispenda Batam untuk anggota dewan dari Komisi II yang dianggap berjasa kepada “Negara dan bangsa”. Kucuran dana APBD sebesar Rp 31 miliar untuk Asuransi pegawai Pemko Batam, dan penyalahgunaan Dana Bantuan Ormas dan Profesi kota Batam sebesar Rp 1,032 milyar.

Cerita tentang penyalahgunaan dan pemborosan dana APBD serta lemahnya kinerja pemerintah daerah dan DPRD bukan saja memprihatinkan dari sisi moralitas politik, namun juga telah menghancurkan kepercayaan publik atas eksistensi pemerintah daerah dan DPRD. APBD “seakan-akan” menjadi warisan keluarga yang dapat diguanakan setiap saat sesuai dengan selera masing-masing. Tidak ada lagi persoalan transparansi dan akuntabilitas publik. Pun, tidak ada cerita tentang azas kepatutan. Slogan “bertindak cepat untuk rakyat” berganti menjadi,“bertindak cepat merampok rakyat”!

Jika dicermati secara serius tentang perilaku dan lagak-lagu pejabat daerah dan anggota DPRD serta membandingkannya dengan kehidupan Mohammad Hatta atau lebih dikenal dengan sebutan Bung Hatta, baik ketika menjadi Wakil Presiden RI maupun sesudahnya, maka kita akan sangat kecewa, baik itu kwalitas intelektual maupun dari sisi moralitas politiknya. Bagi Bung Hatta jabatan adalah alat perjuangan sementara bagi pejabat daerah dan anggota DPRD kita jabatan adalah tujuan. Tidak berlebihan jika perdebatan intelektuan yang menyangkut gagasan, ide dan prinsip-prinsip demokrasi mewarnai kehidupan politik Bung Hatta. Dialektika pemikiran Bung Hatta mencakup dari mulai pemberdayaan masyarakat hingga kedaulatan bangsa dan Negara. Sementara pejabat daerah dan kebanyakan anggota DPRD bukan saja miskin gagasan tetapi tidak memiliki kreativitas berfikir utamanya dalam hal pengembangan masyarakat, kecuali mempertontonkan kepentingan-kepetingan sesaat bagi diri sendiri dan kelompoknya. Lihat saja misalnya, bagaimana gampangnya Panitia Anggaran DPRD Batam menyetujui anggaran asuransi Rp 31 miliar bagi seluruh pegawai Pemko sementara rakyat yang menjadi tulang-punggung pemerintahan merangkak tertatih-tatih memikirkan makan untuk hari ini! Bagaimana mungkin seluruh pegawai Pemko dan Anggota DPRD yang dibelanjai oleh rakyat jika sakit berobat ke RS Awal Bros sementara rakyat yang terserang deman berdarah akhirnya meninggal karena tak mampu membeli obat? Sebuah pertunjukan arogansi kekuasaan yang memuakkan!

Bung Hatta, Kepemimpinan Yang Hilang

Sebagai proklamator kemerdekaan RI serta Wakil Presiden, Bung Hatta memiliki integritas moral dan kwalitas intelektual yang mengagumkan. Kemampuannya dalam menyampaikan pikiran dan menerjemahkan semangat jamannya menjadi warisan sejarah yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. Disamping kejujurannya, Bung Hatta adalah sosok yang terkenal dengan kesederhanaan, memiliki kedisiplinan dan moralitas yang sangat dihormati oleh semua kalangan. Tidak berlebihan jika Bung Hatta menjadi negarawan yang keteladannya menjadi acuan penting bagi seluruh rakyat Indonesia dan khususnya bagi pejabat pemerintah dan politisi di dalam rangka berbangsa dan bernegara. Dengan kekuatan intelektual serta integritas moral yang tak diragukan, ia berani berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno ketika itu. Perbedaan pendapat dalam hal prinsip-prinsip demokrasi politik berakhir dengan mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956.

Bung Hatta, seperti yang ditulis oleh Majalah Tempo, Edisi Kemerdekaan RI, 12-19 Agustus 2001, dikenal sebagai seorang penganut sosialis. Saat menjadi mahasiswa di Belanda, dasar-dasar pemikirannya dibentuk dikalangan sosialis. Ia banyak menulis di bulletin sosialis macam De Vlaam, De Sosialist, Recht in Vrijheid. Tapi, yang mencolok dari sikapnya politiknya itu, ia tumbuh menjadi seorang sosialis yang rasional. Para pengamat bahkan menganggap bahwa sesungguhnya sikap rasional Hatta “secara tak sadar” memberikan sumbangan pembentukan awal republik ini.

Tonggak politik Hatta setelah proklamasi adalah perannya dalam mengubah Demokrasi Presidensial ke Demokrasi Parlementer. Melalui Maklumat X tanggal 16 Oktober 1945, Hatta meneken pergantian itu. Di dalam buku Indonesia Free : a Political Biography of Mahammad Hatta, peneliti dari Universitas Cornell, Mavis Rose, menyatakan bahwa memang dalam pemikiran Hatta yang ideal, kekuasaan yang dibagi (secara) luas adalah yang paling mendekati cita-citanya tentang demokrasi. Pakar hukum Daniel Lev menganggap bahwa kabinet parlementer di masa lalu memang jauh lebih bermutu dibandingkan dengan sistem presidensial dalam era kepemimpinan presiden mana pun di Indonesia. ”Pada periode parlementer Hatta, elite yang ada bermutu bagus”. Sedangkan jaman Orde Baru dan sekarang sistem parlementer memiliki citra buruk.”

Setelah mundur dari pemerintah, Hatta semakin mengembangkan gagasan-gagasan ekonomi-politiknya. Dia berkembang menjadi seorang pemikir Indonesia yang berusaha bergulat menemukan visi ekonomi yang kontekstual. Ekonom Anne Both pernah mengatakan bahwa sejarah perekonomian Hindia Belanda belum pernah dikaji secara seriusm oleh para pemikir kita. Akibatnya, hingga kini para pemikir Indonesia tidak melahirkan sebuah paradigma ekonomi yang mengakar. Ini bebeda sekali dengan keadaan di asia Selatan. Banyak pakar sejarah dan ekonomi India dan Pakistan yang telah melakukan penilitian sejarah ekonomi colonial anak benua Asia Selatan hingga berhasil melahirkan sebuah kanon pemikiran ekonomi yang ingin membebaskan diri dari permainan kekuatan pasar bebasa. Tradisi ini kemudian sangat mempengaruhi pemikiran para nasionalis India. Corak pemikiran demikian, misalnya, bergaung pada ekonom seperti Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi 1988. Sama seperti Sen, komitmen Hatta terhadap hak asasi manusia kuat sekali,” kata Chatib Bisri.

Hatta mungkin belum menghasilkan “kanon pemikiran” semacam itu. Tapi obsesinya adalah ingin melumerkan struktur ekonomi yang dipatrikan para administrator Belanda. :Ide koperasi Hatta itu sesungguhnya untuk melemahkan konsep pamong praja, karena pamong praja adalah warisan kolonial,” kata Daniel Lev. Banyak pendapat bahwa gagasan koperasi Hatta masih relevan sampai kini, meski harus di interpretasikan ulang menurut perubahan-perubahan yang ada.

Tak lama setelah mundur dari pemerintahan, 1957, Hatta mulai merasakan sulitnya hidup orang biasa. Ia bukan cuma keteter membayar tagihan listrik, gas, dan air minum, juga tak mampu melunasi pajak mobil yang dibelinya dengan subsidi pemerintah. Hatta bahkan tak sanggup mengangsur tagihan jaminan telepon untuk villanya di Megamendung karenah jumlahnya berkali-kali lipat dari uang pensiunnya. “terserahlah kalau (telepon) mau dicabut,” kata Hatta melalui surat kepada Dirjen Pos, Telegraf, dan Telepon.

Sebagai pensiunan, Hatta menerima “sumbangan lauk-pauk” Rp 1.000 sebulan. “Apakah ini bukan suatu penghinaan kepada RI?” katanya kepada Menteri urusan Anggaran Negara. “Makanan kucing saya saja tidak akan kurang dari sebegitu sebulan.” Hatta punya contoh: nasibnya sendiri kepada Frans Seda, Menteri keuangan tentang tagihan listrik dan gas-tidak termasuk rekening air-yang jumlahnya sudah melebihi uang pensiunnya. “Permulaankah ini dari kolonial ekonomi?” tanyanya dengan waswas.

Agaknya akan sukar untuk percaya bahwa Hatta pun bisa kekurangan uang. Tetapi gajinya pada awal tahun 1950 hanya Rp 3.000. Beberapa tahun kemudian , naik menjadi Rp 5.000. Kenaikan ini semulanya ditolaknya, tetapi akhirnya ia menerima juga. Sebab, jika ia tetap menolak, akibatnya gaji pejabat lain, termasuk gaji perdana menteri, akan ikut mandek.

Setelah mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada Desember 1956, Hatta mulai menghadapi kenyataan pahit dalah hidupnya. Pada saat itu Hatta memerintahkan I.Wangsawijaya, sekretaris pribadinya, untuk mengembalikan dana taktis. Padahal, dana taktis tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan. Dengan segala kekurangan, Hatta menolak tawaran beberapa perusahaan, termasuk perusahaan asing, untuk menjadi komisaris perusahaan. Mengapa? Alasannya, “ Apa kata rakyat nanti?” Ia khawatir bahwa perjuangannya membela rakyat tidak akan murni lagi, dan ia mudah dituduh meninggalkan rakyat bila ia menjabat komisaris sebuah perusahaan. Dalam otobiografinya, Hatta menulis bahwa memang ia memperoleh honorarium dari bebebrapa buku yang ditulisnya. Ia juga mengaku bahwa beberapa kawannya membantu dia dalam menjalani hidup sekeluarga dan ia menerimanya karena kawan-kawannya memberi bantuan itu dengan ikhlas.

Pada saat keterpurukan negeri kita saat ini, sosok Hatta menjadi satu dari sedikit tokoh yang bercahaya. Indonesia, tentu saja, apalagi Minangkabau khususnya, memerlukan banyak Hatta. Bukan hanya pemikiran dan sikap politiknya, tetapi juga integritas moral dan kwalitas intelektualnya akan menjadi monumen teladan di hati rakyat Indonesia.

Dalam akhir risalah Demokrasi Kita, Hatta mengutip kalimat penyair Jerman, Schiller: “Suatu abad besar telah lahir. Namun ia menemukan generasi kerdil”. Itu adalah kritik Hatta terhadap para pemimpin (baca: pejabat daerah dan anggota DPRD) karena gagal menerjemahkan amanat penderitaan rakyat. Perilaku kebodohan “generasi kerdil”, sebagaimana dimaksudkan Schiller, mendapat pembenaran sebagaimana yang dipertontonkan oleh pejabat daerah dan anggota DPRD kita; merampok rayat atas nama konstitusi.

* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Sijori Mandiri,

ISMETH ABDULLAH “MENARI DI PERSIMPANGAN JALAN”

ISMETH ABDULLAH “MENARI DI PERSIMPANGAN JALAN”

Antara Kompromi dan Legitimasi Kultural

Oleh : Uba Ingan Sigalingging, S.Sn.

(Ketua Forum Kerja Budaya Batam)

Sebuah dongeng tentang “Maharaja” berdasarkan karya dari Hans Christian Andersen diceritakan oleh Goenawan Mohamad melalui tulisan “Catatan Pinggir” di majalah Tempo. Goenawan Mohamad menulisnya dengan sangat bagus, dan tentunya puitis. Penulis menempatkannya di awal tulisan ini karena relevan dengan kehidupan sosial, budaya dan politik kita dewasa ini.

Begini ceritanya :

“Syahdan, dua orang penipu datang menawari sang maharaja seperangkat busana yang lain dari lain : terbuat dari kain yang ditenun dari serat ajaib, begitu halus, hingga hanya dapat dilihat oleh mereka yang pintar dan layak berkedudukan. Baginda pun terkesima. Ia berfikir, “Bila kukenakan pakaian seperti itu, aku akan tahu siapa saja bawahanku yang tak cocok menjabat, dan akan dapat kuketahui mana yang pintar dan mana yang dungu.” Kedua penipu itu pun mendapat order. Dengan cekatan mereka memasang alat tenun, dengan giat mereka bekerja. Dana berlimpah, tapi tentu saja alat tenun di sanggar itu kosong, dan kesibukan mereka cuma pura-pura.

Sang maharaja sebetulnya ingin datang untuk melihat bagimana rupa bahan yang sedang disiapkan itu. Tapi ia gentar. Bagaimana kalau ternyata tekstil ajaib itu tak tampak di matanya? Ia akan mengetahui dirinya bodoh dan bukan orang yang layak bertakhta.

Maka dikirimnya perdana menterinya ke sanggar itu untuk mengecek, sambil menguji bagaimana sebenarnya mutu pejabat ini. Sang PM pun datang. Kedua penipu itu menyambutnya, dan dengan petah-lidah menjelaskan betapa cemerlangnya warna nila di tepi sana dan betapa masih kurang rapinya tenunan di bagian sini. Sang PM tentu saja tidak melihat apa-apa, tapi ia menyatakan kagum. Ia tak mau ketahuan bahwa dirinya bodoh. Hal yang sama terjadi tiap kali Maharaja mengirim utusan. Syahdan, akhirnya baginda sendiri bertamu ke sanggar itu. Tentu saja ia tidak melihat apa-apa. Tapi ia bimbang: jangan-jangan hanya ia sendiri yang tak bisa menikmati kain yang konon indah tersebut. Maka, seperti yang lain-lain, ia tak mau mengaku.

Akhirnya, kabar tersiar ke seluruh negeri tentang kain yang luar biasa itu. Baginda pun bersiap berpawai, dan kedua penipu itu dengan khidmat memasangkan busana yang tak ada itu ke tubuh maharaja. Dengan semarak parade berlangsung. Sang maharaja telanjang bulat, tentu, tapi dengan anggunnya tegak di atas kereta, dan seluruh khalayak kagum,”Alangkah cemerlangnya busana beliau kali ini!” Mereka bertepuk. Hanya seorang anak kecil yang dengan polos mengatakan, “Hai, Baginda telanjang!”

“Baginda telanjang!” Sang raja dan para pembesarnya mendengar: Tapi ia dengan cepat memutuskan agar pura-pura besar itu tak batal. Pawai terus. Baginda tetap tegak, anggun…. (Goenawan Mohamad, “Catatan Pinggir”, Tempo, 22 Agustus 2004).

Dunia politik selalu ditandai dengan rivalitas dan pertarungan kepentingan, karena tujuan politik biasanya di arahkan untuk mencapai kekuasaan. Ada dua kemungkinan yang selalu muncul dari hasil pertarungan kepentingan tersebut, yaitu yang menang dan yang kalah. Kemenangan politik biasanya menjadi perhatian banyak kalangan karena hal tersebut berhubungan dengan kekuasaan yang akan membuka jalan atau akses ke dunia ekonomi dan politik. Di tingkat sosial, kemenangan politik dimaknai sebagai sebuah kesempatan untuk menentukan arah dan kebijakan pembangunan. Berpijak dari pengalaman yang pernah terjadi, tujuan dan arah kebijakan pembangunan adalah untuk membebaskan manusia dari penderitaan, atau apa yang disebut Berger dengan istilah : memperhitungkan “biaya-biaya manusia”. Dengan kata lain disebutkan bahwa segala tindakan politik dan upaya pembangunan seharusnya bertujuan mengatasi atau paling tidak membatasi penderitaan manusiawi dalam semua bentuk dan dimensinya (Lihat Peter L.Berger, “Pyramids Of Sacrifice” atau Piramida Kurban Manusia, 1982). Sementara ditingkat budaya, kemenangan politik dipandang sebagai sebuah upaya untuk mengembangkan sistem nilai. Dalam konteks ini kemenangan politik dimaknai sebagai pembebasan manusia dari beban kulturalnya. Itu berarti kekuasaan politik harus memperhitungkan “biaya-biaya kultural”. Namun sering terjadi bahwa para penguasa atau pemegang otoritas politik menjadikan aspek ekonomi dan politik sebagai dogma pembagunannya. Sehingga “biaya-biaya kultural” yang muncul akibat dari pemberhalaan dogma pembangunan tersebut harus di bayar mahal oleh masyarakat. Padahal kita semua mengetahui bahwa persoalan pembangunan memiliki dimensi yang sangat luas. Apa yang dikatakan oleh Langdon Winner, ahli ilmu politik dan tekhnologi dan kwalitas hidup dari Massachusset of Technologies sangat menarik untuk disimak, bahwa Simples homiles about progress no longer suffice” (khotbah-khotbah gampang tentang kemajuan atau penggunaan efisiensi ekonomi selaku tolok-ukur satu-satunya sudah tidak memadai lagi).

Pada prinsipnya, kedua jenis kemenangan tersebut di atas adalah bagian dari sebuah proses demokrasi yang merefleksikan kehidupan sosial masyarakat. Sebagaimana Giddens pernah bilang, “tak ada otoritas kalau tidak ada demokrasi”. Setidaknya inilah yang menjadi perhatian penulis, yaitu persoalan legitimasi kultural yang berkaitan dengan kebijakan politik caretaker Gubernur Kepri saat ini. Tulisan ini tidak memiliki pretensi politis, kalaupun bersinggungan dengan persoalan politik itu disebabkan oleh kedudukan Ismeth sebagai Gubernur Kepri yang merupakan bagian dari wilayah kerja politik. Tujuannya jelas, yaitu mencoba membongkar persepsi yang salah tentang legitimasi kultural yang terdapat di lingkaran kekuasaan.

Mempertimbangkan Sebuah Keputusan

Kalau, dengan kesalapahaman tertentu, orang memahami satu sama lain, mereka tak akan pernah dapat mencapai persetujuan” (Baudelair).

Pelantikan Ismeth Abdullah sebagai Caretaker atau pelaksana tugas Gubernur Kepri dinilai oleh sebagian besar masyarakat sebagai sebuah keputusan politik yang tepat. Karena disamping sosoknya yang relatif terkenal luas di Provinsi Kepri, ia juga dikenal sebagai Ketua Otorita Batam yang diakui memiliki kemampuan manajerial di dalam pengembangan industri, khususnya di Pulau Batam. Sebagai provinsi yang baru tentulah memerlukan penanganan yang serius karena kompleksitas permasalahannya begitu luas. Dibalik harapan tersebut, kita menyadari bahwa rivalitas politik dan konflik kepentingan (untuk mendapatkan kekuasaan di lembaga eksekutif tersebut) sangat mempengaruhi kebijakan-kebijakan Gubernur Kepri, terutama dalam hal penentuan program dan penyusunan kabinetnya. Kemampuan adaptif sangat diperlukan karena pada dasarnya institusi Otorita Batam sangat berbeda dengan pemerintah provinsi Kepri, baik dalam hal sarana maupun tujuan strategisnya. Sebagai Ketua Otorita Batam, Ismeth boleh tidak transparan di dalam menjalankan kebijakan publiknya, namun sebagai gubernir Kepri, ia adalah abdi masyarakat.

Sebagaimana lazim terjadi bahwa jabatan gubernur sangat terkait dengan proses tawar-menawar politik, baik di tingkat lokal maupun ke tingkat pusat. Proses tersebut dapat dipandang sebagai sebuah bentuk komunikasi politik timbal- balik, yaitu antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Proses tawar-menawar adalah hal yang lazim yang biasanya diwarnao oleh adanya tarik-menarik kepentingan, baik antara pemerintah pusat dengan provinsi, juga antara daerah tingkat II dengan provinsi. Tarik-menarik kepentingan di tingkat pusat terhadap pemilihan Gubernur Kepri tentu tidak terlepas dari posisi Provinsi Kepri baik dari sisi letak geografisnya yang strategis maupun dari segi kekayaan Sumber Daya Alamnya. Sementara tarik-menarik kepentingan di tingkat lokal sangat diwarnai oleh akses politik melalui pembagian jabatan di lingkungan pemerintahan Provinsi Kepri. Tawar-menawar kekuasaaan tersebut biasanya melahirkan kompromi politik, yang jika tidak disikapi secara bijak dapat menimbulkan kecurigaan ditengah-tengah masyarakat. Gubernur Kepri harus mampu menciptakan perimbangan antara berbagai kepentingan yang melingkupinya. Keseimbangan itu sendiri berkaitan dengan salah satu isu penting di era modern saat ini, yaitu mengenai persoalan Etno-Komunal; karena “keragaman etnis cenderung meningkatkan polarisasi yang berdampak pada keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap etnis tertentu. Secara teoritis polarisasi etnis akan mendorong kompetisi dalam memperebutkan sumber daya politik dan publik. Pada saat bersamaan untuk menciptakan tekanan politik yang efisien dan kuat terhadap kebijakan birokrasi, tiap-tiap etinis cenderung akan mengeliminir “penumpang bebas” (free-rider) diantara anggotanya atau meminta loyalitas lebih dari anggotanya (Becker 1983; Esteban dan Ray 1994}. Sehingga ketika etnis tertentu memiliki pengaruh besar dalam kebijakan publik, yang diperoleh tidak saja sumber daya publik, tetapi juga keeratan ikatan sosial antara-individu dalam etnis yang sama. Ini cukup menjelaskan mengapa konflik etnis umumnya membutuhkan penyelesaian yang cukup lama” ( Teguh Yudo Wicaksono, “Etno-Komunal dan Harga Kediktatoran”, Kompas, 6 September 2004).

Secara politis, kebijakan yang ditempuh di dalam hal penyusunan kabinet tersebut tidak ada yang salah karena menyangkut kewenangan atau hak prerogatif Gubernur Kepri. Namun jika di lihat dari sisi realitas masyarakat majemuk, tentulah kabinet ini tidak legitimated karena tidak mencerminkan semangat pluralisme. Kebijakan Ismeth sama sekali tidak mempertimbangkan keseimbangan budaya sehingga menimbulkan paradoks kultural di tengah-tengah masyarakat kita yang heterogen. Dilihat dari perspektif sosiologisnya, kebijakan tersebut telah melahirkan prasangka-prasangka sosial yang bersifat kedaerahan dan tentunya menimbulkan ketidaknyamanan kultural di tengah-tengah masyarakat luas. Kini kita dihadapkan pada sebuah fakta paradoksal, bahwa masalah sosial dan budaya menjadi salah satu kendala utama bagi usaha mencapai kesetaraan dan keseimbangan.

Jika kita perhatikan secara seksama, maka sesungguhnya ada tiga prinsip dasar (di dalam konteks heterogenitas masyarakat Provinsi Kepri) yang diabaikan oleh Ismeth Abdullah dalam penyusunan kabinetnya yaitu 1. Plurality (pluralitas), 2. Diversity (keragaman) dan 3. Multicultural (multikultural). Ketiga unsur itu sesungguhnya tidak mempresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya ‘ketidaktunggalan’. Konsep pluralitas mengandaikan adanya ‘hal-hal yang lebih dari satu’, keragaman menunjukan bahwa keberadaan yang ‘lebih dari satu’ itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan. Pada abad ke-20, kemajemukan menjadi syarat demokrasi. Serba tunggal, misalnya, satu partai politik, satu calon pemimpin, dianggap sebagai bentuk pemaksaan dari negara. Apabila pluralitas sekedar mepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan dan diperlukan sama oleh negara.

Pengingkaran terhadap ketiga prinsip dasar itu dapat menimbulkan tanda tanya dari masyarakat, baik secara etis maupun kultural. Kebijakan Ismeth menjadi kontradiktif dengan upayanya membangun dan mengembangkan Provinsi Kepri, yang notabene membutuhkan tenaga-tenaga profesioanal dan berkwalitas. Ismeth ‘seolah-olah’ mengenyampingkan pendapat umum yang mengatakan bahwa kwalitas dan sikap profesionalitas sesungguhnya tidak berkaitan dengan persoalan kedaerahan, tetapi di ukur oleh kemampuan profesional dan integritas seseorang. Sepertinya Ismeth sengaja memetakomflikan masyarakat melalui kebijakannya yang diskriminatif itu. Untuk kepentingan pembangunan provinsi Kepri, ia seharusnya tahu bahwa kebijakan diskriminatif tersebut sangat penting untuk diabaikan.

Di dalam konteks inilah penulis berpandangan bahwa semangat multikulturalisme harus mendasari kebijkan politik karena multikulturalisme memberikan kontribusi nyata terhadap agenda demokratisasi dan nondiskriminasi. “Perhatian yang besar terhadap equalitas (persamaan) dan nondiskriminasi kaum minoritas telah menghubungkan multikulturalisme dengan demokrasi. Bukankah sisi terpenting dari nilai demokrasi adalah keharusan memperlakukan berbagai kelompok atau individu yang berbeda tanpa diskriminasi? (Mun’im A Sirry, Kompas 1 Mei 2003). Disini terlihat secara terang-benderang bahwa Ismeth menafikan faktor pluralisme demi kepentingan politik praktisnya. Sebuah fakta yang menunjukan bahwa kebijakan politik Ismeth tidak memiliki landasan demokrasi yang kuat. Hal ini mengingatkan penulis tentang apa yang pernah diucapkan oleh Sidney Hook (1967) bahwa, “ Saya tegas-tegas mempercayai demokrasi, tapi bukan demokrasi dalam keluarga yang penuh dengan anak-anak kecil, di mana masing-masing mendapatkan satu suara, dan tak lebih dari itu; bukan demokrasi di panti penyandang cacat mental; tidak pula demokrasi di penjara”. Pertanyaanya adalah : Agenda tersembunyi (hidden agenda) apa yang ada dibalik kepentingan politiknya tersebut?

Harga Sebuah Kompromi Politik

Seharusnya kompromi politik dilakukan untuk mencari titik temu di tengah-tengah kebuntuan komunikasi politik. Bukan sebaliknya, malah menciptakan kebuntuan baru yang justru mempersempit atau bahkan menutup ruang komunikasi politik secara luas. Kondisi ini penting disikapi secara rasional karena keberadaan pemerintah, sebagaimana Giddens menjabarkannya di dalam bukunya yang terkenal “The Third Way”, beberapa diantaranya adalah untuk :

- menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan-kepentingan yang beragam;

- menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing ini;

- menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;

- menjaga keamanan sosial melalui kontrol sasaran kekerasan dan melalui penetapan kebijakan;

- mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam sistem pendidikan;

- memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi makro maupun mikro ekonomi, plus penyediaan infrastuktur;

- membudayakan masyarakat-pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya’” (Anthony Giddens, The Third Way atau Jalan Ketiga, PT.Garmedia 1999).

Langkah taktis untuk mengatasi kebuntuan politik dapat difahami karena menyangkut hubungan antar manusia, namun tidak bisa diterapkan untuk hal-hal yang bersifat strategis. Tantangan pembangunan yang begitu kompleks menuntut adanya kesepahaman, baik dalam hal informasi maupun bentuk komunikasi. Jika kompromi politik dilakukan, ia harus ditempatkan di dalam konteks mencapai kesepahaman. Sebagaimana diungkapkan Habermas (pewaris sah pemikiran Mazhab Frankfurt), “bahwa tujuan mencapai pemahaman adalah menghasilkan sebuah persetujuan yang berakhir pada tingkat pemahaman timbal-balik yang besifat inter-subjektif, pengetahuan bersama, kepercayaan timbal-balik, dan kesesuaian satu sama lain”. Situasi inilah yang mengharuskan pemimpin publik untuk bersikap akomodatif terhadap potensi-potensi masyarakat, agar tantangan pembangunan yang serba kompleks tersebut dapat teratasi. Dewasa ini kita dihadapkan pada persoalan kemiskinan, pendidikan, industrialisasi, seni dan budaya, kwalitas hidup, lingkungan hidup, kependudukan, ketenagakerjaan, peningkatan kwalitas sumber daya manusia serta pengelolaan sumber daya alam, dan banyak persoalan lainnya. Semua persoalan tersebut dapat diatasi jika pemerintah provinsi memiliki konsep pembangunan serta komitmen terhadap pembangunan provinsi Kepri itu sendiri. Hal ini tidak terlepas dari pengertian-pengertian bahwa, pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yang dalam pandangan Robert Chamber dikatakan, yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable”. Oleh karena itu, persoalan yang menyangkut pembangunan di Provinsi Kepri ini tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan sosok Ismeth semata. Diperlukan adanya aparat pemerintah lainnya yang bersikap profesional dan mampu menerjemahkan semangat pembangunan sampai ke tingkat yang paling luas. Ini artinya bahwa saat ini kita memerlukan orang-orang yang dalam istilah Naisbit (Global Paradox) disebut dengan “think global act local” (berfikir global bertindak lokal).

Mencari Legitimasi Politik(?)

Esensi politik adalah perjuangan pandangan dan kebijakan yang bertentangan (Norberto Bobbio, ahli politik Italia masa kini).

Ismeth melakukan sebuah langkah taktis, yaitu dengan melakukan kompromi politik guna mengatasi persoalan legitimasi politik. Namun masalahnya adalah bahwa langkah taktis tersebut memiliki implikasi kultural jika dipaksakan untuk melaksanakan kebijakan strategis. Implikasi kultural yang timbul dari kompromi-kompromi politik- yang cenderung tidak rasional ini- adalah terbukanya ruang konflik baru yang berkaitan dengan persoalan pluralitas, keragaman dan multikultural. Persoalannya adalah : siapa yang bisa menjamin bahwa skenario politik Ismeth akan berjalan dengan mulus tanpa hambatan-hambatan sehingga tidak menimbulkan masalah budaya di masa yang akan datang?

Legitimasi politis hanyalah salah satu bagian dari sekian banyak legitimasi yang harus dipenuhi seorang pemimpin masyarakat. Bahwa kompromi politik dilakukan untuk mencari jalan tengah, itu dapat dibenarkan. Namun kompromi tersebut tentunya tidak mengeyampingkan preferensi etis dan kultural. Karena kalau itu yang terjadi maka legitimasi politik itu akan kehilangan makna demokrasinya. Disengaja atau tidak, Ismeth telah menstimulus terciptanya ‘bahaya latent’ di tengah-tengah masyarakat berupa ‘prasangka-prasangka politik’ yang bersifat kedaerahan.. Padahal kita mengetahui bahwa baru-baru ini ada sebuah kegiatan budaya di Tanjung Pinang, yaitu “Revitalisasi Budaya Melayu” yang mengusung tema tentang Pluralisme. Peristiwa budaya yang baru saja berlalu itu sangat penting artinya karena ia menjadi sebuah dasar atau tonggak atas pemaknaan pluralisme di tengah-tengah masyarakat Provinsi Kepri umumnya dan di Tanjung Pinang khususnya. Revitalisasi Budaya Melayu menjadi sebuah contoh yang sangat bagus bagi Pemerintah Kota dan Kabupaten serta Pemerintah Provinsi di seluruh Indonesia tentang penyelenggaraan sebuah peristiwa budaya. Rasa hormat terhadap pluralisme yang diaktualisasikan melalui bentuk tampilan seni dan budaya serta pemaparan gagasan-gagasan intelektual di dalam sebuah forum kebudayaan. Melalui peristiwa budaya tersebut, masyarakat diajak untuk bersama-sama masuk ke ruang tanpa batas; di mana gagasan-gagasan kreatif yang disemangati oleh prinsip-prinsip pluralisme budaya tersebut telah menembus batasan-batasan kultural di tengah-tengah masyarakat yang pluralistik. Revitalisasi Budaya Melayu adalah bagian dari upaya mewarnai serta memaknai semangat jaman dan sekaligus menjadi sebuah wadah yang memayungi gagasan-gagasan besar tentang kebudayaan. Kegiatan ini menjadi area pertarungan wacana kebudayaan (bukan melalui statemen politik pengurus partai ataupun pidato kebudayaan para pejabat negara yang korup, tetapi melalui dialog kebudayaan yang dihadiri oleh pembicara tingkat dunia!) yang memberikan pemahaman tentang rasa hormat terhadap perbedaan. Sebuah langkah yang berani dan patut dipuji. Yang menjadi persoalan ialah : mengapa Ismeth justru mengkerdilkan makna pluralisme itu, bukankah sebagai gubernur Kepri, ia hadir bersama pejabat pemerintah pusat di acara yang penting itu? Seharusnya peristiwa budaya tersebut dapat menjadi momentum bagi Gubernur Kepri dalam menentukan kebijakan politik, terutama di dalam penyususnan kabinetnya. Namun sangat disayangkan, Ismeth justru menafikan faktor pluralisme tesebut. Sebuah langkah kontradiktif di dalam upaya memajukan provinsi Kepri. Sikap seperti ini mengingatkan kita atas tabiat buruk politik kebudayaan di masa diktator Soeharto berkuasa di Republik ini, yang menganggap budaya sebagai beban negara sehingga tidak perlu disikapi secara serius. Kalaupun dianggap serius, itu disebabkan oleh rasa takut karena kegiatan budaya di nilai dapat mengancam stabilitas kekuasaan sehingga dikategorikan sebagai bahaya “subversif”! Dan Soeharto memang benar, bahwa untuk membunuh lawan politik tidak perlu aturan budaya, dan tidak pula diperlukan adanya sikap hormat terhadap prinsip-prinsip kebudayaan. Tidak mengherankan jika saat ini bangsa Indonesia harus menanggung beban budaya (prasangka budaya yang bersifat SARA) yang diakibatkan oleh permainan politik Soeharto di masa lalu. Kini Ismeth sepertinya mengulangi kesalahan tersebut. Kenyataan ini memaksa kita untuk mundur 100 tahun ke masa lalu, dimana faktor primordialisme sangat mewarnai setiap keputusan politik. Hal inilah yang penulis sebut sebagai langkah taktis yang tidak rasional dan sekaligus sebagai sebuah ‘pengingkaran’ terhadap realitas kehidupan masyarakat yang plural (plural society). Jika ketiga prinsip dasar tersebut di atas diabaikan maka dengan sendirinya kebijakan Ismeth (tentang susunan kabinet pemerintahan dan kebijakan pembangunannya) kehilangan legitimasi etis dan kulturalnya. Kondisi ini mengingatkan penulis akan sebuah cerita pendek karya Edgar Alan Poe (1809-1849), judulnya “A Descent into the Maelstorm”. Disana ia bercerita tentang pengalaman seorang yang terjerat di tengah-tengah guntur dan gelombang pasang, diisap oleh angin puyuh raksasa yang mengaduk sebuah danau di Norwegia, daya isap yang merangkulnya erat-erat dan mengajaknya tenggelam ke dasar danau. Orang itu selamat secara ajaib, tapi ia menjadi tunarungu, rambutnya memutih, ia selalu gemetaran, dan di segenap serabut ingatannya hanya mengalir jeritan, pergulatan, dan pukulan dahsyat. Sangat disayangkan, cerita tersebut justru banyak dialami oleh mantan pejabat negara di jaman diktator Soeharto. Mereka adalah para penguasa yang pongah dan arogan yang membuang catatan-catatan tentang legitimasi etis dan legitimasi kultural ke keranjang sampah, di pinggir jalan! Maka, pepatah Latin benar adanya ketika berkata “ Nihil potest ordinary in adequem ad finem. Misi pra-exist in ipso qua dam proportio ad finem” (tak ada yang dapat diarahkan kepada suatu tujuan kalau di dalam dirinya sudah tidak terdapat keselarasan dengan tujuan tersebut).

MENCARI RUMAH BUDAYA DI BATAM

MENCARI RUMAH BUDAYA DI BATAM

Oleh Uba Ingan Sigalingging. S.Sn

(Ketua Forum Kerja Budaya Batam)

Rumah Budaya ( berikutnya disebut Gedung Kesenian) adalah salah satu bagian dari apa yang disebut sebagai ruang publik (public space). Sebagaimana kita ketahui bahwa keberadaan ruang publik di Kota Batam menjadi tuntutan tersendiri, karena hingga saat ini kita belum melihat adanya ruang publik untuk kepentingan masyarakat luas yang dibangun oleh Pemerintah Kota Batam maupun Badan Otorita Batam (BOB). Kita tidak melihat adanya taman kota bagi kepentingan masyarakat umum. Kita juga tidak pernah melihat ruang publik yang diperuntukan bagi para pelajar sehingga setiap kali mereka liburan sekolah selalu bertanya-tanya, “saya/kita pergi kemana”? Akibatnya, Pusat-pusat perbelanjaan menjadi tujuan bagi siswa atau pelajar, baik itu untuk rekreasi ataupun sekedar jalan-jalan guna menghabiskan waktu liburannya. Demikian juga halnya dengan sarana rekreasi lainnya, seperti taman hiburan bagi para keluarga yang ingin mengisi waktu senggang ataupun liburannya. Situasi dan kondisi yang minus ruang publik tersebut seolah-olah menggambarkan seolah-olah kita hidup di ruang mesin. Mungkin Pemkot Batam atau pun BOB merasa bahwa di Batam sudah ada banyak taman, seperti Taman Sari di Tiban, Taman Seruni Indah dan Taman Kurnia Djaya di Batam Center, Taman Nagoya Indah dan, atau Taman Kanak-Kanak serta banyak lagi taman lainnya, sehingga tidak perlu lagi membangun fasilitas ruang publik tersebut? Namun dalam kesempatan ini, penulis membatasi pokok persoalan gedung kesenian. Adapun masalah ruang publik yang disebut terdahulu akan menjadi pembahasan tersendiri mengingat dimensi ekonomi, dan sosial-budayanya lebih luas.

Lebih kurang 2 tahun yang lalu, Samson Rambah Pasir pernah mengutarakan keinginanya (melalui harian Batam Pos) tentang perlunya Gedung Kesenaian di kota Batam. Kenyataannya hingga saat ini, kita belum mendengar rencana pembangunan gedung kesenian tersebut, baik dari BOB maupun Pemkot Batam. Harus diakui bahwa BOB sebagai pemegang otoritas pembangunan di Pulau Batam telah gagal memainkan peran kebudayaannya, yaitu sebagai fasilitator pembangunan ruang publik seperti gedung kesenian dan taman hiburan nagi masyarakat luas. Terlepas dari konsep awal pembangunan di Pulau Batam yang diperuntukan untuk kepentingan industri, saat ini pulau Batam telah dihuni lebih-kurang 1 juta jiwa. Faktanya, BOB tidak memiliki konsep yang jelas tentang pembangunan yang berhubungan dengan ruang publik tersebut. Sementara Pemkot Batam terlalu disibukkan oleh persoalan bagaimana mendapatkan kewenangan secara luas di dalam menjalankan pembangunan di Batam. Apa yang akan dibangun dan bagaimana kwalitas bangunannya sering tidak dipersoalkan, Disisi lainnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kota Batam yang seharusnya berbicara tentang kepentinganmasyarakat luas, lebih disibukkan oleh urusan tunjangan Purna Bakti dan urusan kenaikan gaji yang semuanya untuk kepentingan mereka sendiri. Kita tidak mendengar adanya perdebatan di lembaga legislatif tersebut tentang persoalan ruang publik. Mungkin nasehat seorang teman ada benarnya ketika mengatakan, “ Anda akan merasa berdosa jika mengharapkan DPRD kota Batam dapat mengerti tentang persoalan-persoalan ruang publik, apalagi berfikir tentang persoalan gedung kesenian”.

Suatu Perbandingan

Persoalan gedung kesenian tidak hanya terdapat di Kota Batam tetapi terjadi di seluruh kota-kota besar lainnya di Indonesia. Gedung kesenian yang representatif secara akustik dan artistik hanya dimiliki beberapa kota, seperti Gedung Kesenian Jakarta (GKJ); di Yogyakarta terdapat Auditorium Seni Pertunjukan yang terdapat di Institut Seni Inidonesia (ISI); di Medan ada Auditorium Pertunjukan Musik yang dikelola Sekolah Menengah Musik (SMM); di Sumatera Barat ada Gedung Pertunjukan yang terdapat di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang. Minimnya jumlah gedung kesenian di Indonesia disebabkan oleh tidak adanya agenda kebudayaan di dalam hal pengembangan infrastruktur kesenian di Indonesia.. Secara umum, pemerintah daerah atau pemegang otoritas pemerintahan di suatu daerah belum menjadikan pembangunan seni dan budaya serta infrastuktur pendukung seni-budaynya sebagai agenda pembagunannya. Kondisi yang sangat memprihatinkan ini memaksa kita untuk merubah paradigma pembangunan secara mendasar. Perubahan paradigma pembangunan itu sendiri diharapkan mampu menempatkan manusia sebagai subjek kebudayaannya. Sesuai dengan konsep pemberdayaan yang salah satu tujuannya adalah agar masyarakat mampu mentranformasikan nilai-nilai kebudayaannya di dalam proses pembangunan. Oleh karena pemberdayaan menyangkut perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap, maka pemberdayaan adalah sebuah konsep kebudayaan. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat menjadi suatu proses emansipatif di dalam kerangka transformasi budaya.

Berangkat dari kondisi objektif Kota Batam sebagai daerah industri, sudah sepantasnya kota ini memiliki gedung kesenian. Umumnya dunia industri berperan penting di dalam hal kemajuan seni dan budaya, baik dalam bentuk dukungan dana bagi penyelenggaraan pertunjukan, maupun didalam hal pembangunan infrastruktur keseniannya. Setidaknya hal ini terjadi di negara-negara industri, dimana para industriawannya yang berperan besar sebagai penyumbang bagi terciptanya keseimbangan antara dunia industri dan kebudayaan (baca; kesenian). Sebagai contoh, Industriawan Inggris menyumbang tak kurang dari $ 46,8 juta per tahun untuk keagungan seni bangsanya. Untuk hal kesenian, pemerintah Australia mengeluarkan $ 167,7 juta, plus $ 268,3 juta dari pemerintah negara bagian, pada tahun fiscal 1974. Hampir 90% dari biaya pembangunan kesenian di tanggung oleh pemerintahannya di Negara Jerman. Sekitar 70% sampai 85% ongkos produksi opera-opera bergengsi di biayai oleh pemerintah di Negara Perancis, Skandinavia, dan Austria (Suka Hardjana, “Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia”, 1995).

Pentingkah Gedung Kesenian?

Dua orang teman, yang satu tinggal di Jepang dan satunya lagi tinggal di Austria, bertanya apakah mereka bisa mengadakan resital (konser musik) di Batam? Apakah di Batam ada gedung keseniaanya? Teman ini adalah seorang Cellist dan seorang Violinist yang telah melakukan pergelaran musik (resital) di banyak negara, baik itu sebagai solis maupun di dalam orkestra. Kemudian penulis menjawab pertanyaan teman tersebut, “ Tidak ada gedung kesenian di Batam!” Kemudian teman saya bertanya lagi,” lho, bukankah Batam kota Industri? Penulis menjawab, “ Benar bahwa Batam sebagai kota Industri, tetapi berbeda dengan apa yang kalian fahami tentang dunia industri di negara-negara maju dimana kalian pernah tinggal. Disana, Industri berperan besar didalam memajukan seni dan budaya, karena industri dipandang sebagai bagian dari kebudayaan bukan persoalan alat produksi semata. Sementara industri di Batam tidak mengenal apa itu yang disebut dengan seni dan budaya. Industri menjadi sebuah “wilayah kerja” yang terpisah dari realitas sosial-budayanya. Keberadaan industri beserta seluruh faktor pendukunya masih dipandang sebagai alat produksi semata.” Di banyak negara maju, pemerintahnya memandang kebudayaan sebagai sarana pembebasan yang memerdekakan manusia dari belenggu-belenggu kulturalnya. Sementara pemerintah kita justru menjadikan kebudayaan sebagai “terdakwa” yang justru di belenggu dan diasingkan dari realitas kehidupan masyarakatnya. Lagipula Pemerintah kita tidak mau ambil pusing apakah industri berperan terhadap kemajuan kebudayaan atau sebaliknya; karena bagi pemerintah, kebudayaan adalah masalah nasib atau takdir sehingga tidak perlu disikapi secara rasional. Itulah perbedaannya.

Pertanyaan teman tesebut mengingatkan penulis bahwa beberapa tahun yang lalu Tarmizi (Rumah Hitam) pernah mendatangkan Orkes Symphony dari Padang Panjang, Sumatera Barat ke Batam. Orkestra tersebut tampil di Gedung Beringan Sekupang. Tarmizi memang ”gila” waktu itu karena berani mendatangkan orkes besar tersebut ke Batam walaupun disini tak ada gedung kesenian yang representatif, baik secara akustik ruang maupun dari segi artistik gedungnya. Terlepas dari persoalan kwalitas pertunjukan, penulis melihat bahwa apa yang dilakukan oleh Tarmizi tersebut sangat penting artinya bagi kita terutama dalam hal mewarnai bentuk-bentuk kesenian yang ada di Batam. Upaya Tarmizi menampilkan pertunjukan Orkestra membuka pemahaman kita tentang arti pentingnya sebuah gedung kesenian bagi masyarakat. Sayangnya, Pemkot Batam maupun BOB tidak mampu merespon sinyal-sinyal kebudayaan tersebut.

Dilihat dari segi fungsinya, gedung kesenian adalah ruang bagi proses kreatif seniman dan juga sebagai sarana apresiasi seni bagi masyarakat luas pada umumnya. Di samping itu, ia dapat pula menjadi jembatan agar tercipta interaksi sosial-budaya bagi masyarakat Batam yang pluralistik ini. Kita tahu bahwa saat ini ada banyak Paguyuban yang bersifat kedaerahan yang muncul di kota Batam, tetapi kita tidak pernah tahu apa peran kebudayaannya. Di dalam konteks seni dan budaya, setiap paguyuban seharusnya mampu memainkan peran kebudayaannya di dalam mewarnai kehidupan masyarakat luas, yaitu melalui aktivitas seni dan budayanya. Persoalannya sekarang adalah, bagaimana masing-masing paguyuban mampu mengaktualisasikan potensi seni dan budayanya sehingga bermamfaat bagi masyarakat. Disinilah kita melihat bahwa keberadan gedung kesenian, disamping memiliki fungsi sosial-budaya juga mengandung makna simbolik yang menggambarkan adanya sikap hormat terhadap kebudayaan. Upaya bagi terciptanya komunikasi kultural adalah tanggungjawab kita bersama. Pemerintah bertanggungjawab memfasilitasi terciptanya sarana publik tersebut. Dengan demikian seni akan menjadi sebuah keniscayaan di dalam mengatasi kebuntuan-kebuntuan komunikasi yang muncul dari kesalahpahaman budaya. Kita tidak menginginkan, sebagaimana Albert Camus katakan, bahwa “seni menjadi sebuah kemewahan yang terselubung.”

.